Sudah hampir seminggu, sejak kedatangan Pak Yanu
ke rumah Aisyah. Ia belum mampu memberi jawaban atas kesanggupannya menikah
dengan pemuda itu. Aisyah mencoba introspeksi diri. Benarkah dirinya masih
mencintai Subkhi? Dengan tegas hatinya menjawab tidak. Namun ia masih sulit
menerima lelaki lain. Semacam trauma dalam dirinya. Suatu ketika, suasana
kantor sepi. Aisyah free class, Pak
Yanu mendekatinya.
“Bu Aisyah, bagaimana? Sudah punya jawaban? Dulu
aku salat istiharah, beberapa kali. Sudah menemukan jawaban, hhhh”
Aisyahpun melakukan seperti halnya yang
dilakukan Pak Yanu. Salat istiharah secara rutin. Kemarin malam ia bermimpi
dikejar banyak ular berbisa. Sampailah ia pada sebuah sungai kecil yang jernih.
Ular-ular tersebut terjebak di sana. Namun ular-ular itu berhasil lolos merayap
keluar dari sungai. Tetap memburu Aisyah, menuju sebuah muara yang cukup dalam.
Kondisi Aisyah kelelahan, napasnya tersengal-sengal. Di situlah ia ditolong oleh
seorang pemuda yang perawakannya mirip dengan tamu Pak Yanu seminggu yang lalu.
Meskipun wajahnya tak terlihat jelas, samar.
“Bu Aisyah, bagimana? Kok melamun?”
“Oh, iya Pak. Gimana kalau saling kenal aja dulu.”
“Oh, ide bagus itu. Terimakasih Bu Aisyah.”
“Iya , mohon maaf, ya pak.”
“Selalu aku doakan, niatan baik selalu berakhir
baik. Allah selalu memberi jalan.”
Hari Minggu, kegiatan Aisyah merapikan rumah dan
mencuci baju. Terdengar Emaknya sedang berbincang-bincang dengan tamu. Belum
pernah mendengar suara itu. Mungkin tamunya bapak, atau orang menanyakan
alamat. Begitulah rumah dekat jalan raya, kadang ada orang yang butuh bantuan
untuk menunjukkan alamat yang hendak dituju.
“Sah, ada tamu, temanmu!” panggil Emaknya.
“Iya Mak sebentar” Jawab Aisyah sambil
mengenakan jilbab.
Aisyah terkejut, Rizaldi datang ke rumah. Aisyah
mempersilahkannya duduk di ruang tamu. Sikap Aisyah nampak kikuk. Tidak
menyangka ia datang. Padahal Aisyah belum memberi jawaban.
“Apa kabar, Mbak Aisyah” katanya memecahkan
kekakuan.
Ia memanggil “Mbak”. Maklum baru kali ini
bertemu berdua, tanpa ada Pak Yanu.
“Baik, Mas Rizal.”
“Terimakasih kamu telah menerima perkenalanku.”
Aisyah tersenyum. Rizal lelaki yang tidak banyak
bicara. Suasana terkesan canggung. Lebih banyak diam dari pada saling bertanya.
Ingin tanya pekerjaan, terasa nggak enak.
“Mas Rizal, masih saudara Pak Yanu.”
“Nggak, cuma tetangga.”
Emak Aisyah datang membawa teh hangat dan
singkong goreng”
“Oh, jadi Nak Rizal ini, tetangga Pak Yanu” kata
Emak Aisyah ikut nimbrung.
“Betul Bu, saya ingin kenal lebih dekat dengan
Mbak Aisyah.”
“Oh, iya. Panggil aja Aisyah biar lebih enak. Silahkan
dicicipi singkongnya.”
Kata Emak Aisyah. Rizal mengangguk. Meninggalkan
keduanya. Keduanya masih terdiam. Akhirnya Rizal mengawali pembicaraan.
“Mengajar kelas berapa di MI?”
“Kelas 4, masih pemula. Belajar mendidik
anak-anak.”
“Apa masih fresh
graduate?”
“Ya, lulus tahun lalu.”
“Dari perguruan tinggi mana?”
“IAIN Tulungagung.”
Perbincangan yang masih kaku. Keduanya masih
enggan berbincang hal yang terlalu pribadi.
“Mas sendiri, kuliah di mana?
“Aku dari UMM?”
“Malang? Ngambil jurusan apa?”
“Iya. Pendidikan.”
“Wah. sama dong, jurusannya.”
“Cuma aku nggak full bekerja di sekolahan.”
“Oh, …” Aisyah heran.
Kaum Adam bisa membagi waktu seperti itu.
Laki-laki nggak mikir dapur. Pagi bisa berangkat tanpa harus berfikir sudah
rapi apa belum pekerjaan di rumah.
Ia tidak mngatakan jenis pekerjaannya. Pak
Yanupun tidak mengatakannya. Keduanya kembali terdiam. Rizal mencipipi singkong.
Aisyah membenarkan insting emaknya, bahwa ia lelaki baik. Rizal bukan tipe
laki-laki yang nggak gampang sok kenal sok dekat. Jadi belum menunjukkan
keakraban. Selang beberapa lama Rizal mohon pamit Aisyah mengantarnya sampai
depan pintu.
“Sah, sikapnya baik ya. Tidak berlebihan.”
“Iya Mak. Emang baru ketemu sekali.”
“Dua kali, Sah. Tapi firasat Emak, ia laki-laki
yang baik.”
“Mungkin Emak merasa gitu, karena yang
mengenalkan kepala sekolahku. Coba kalau orang lain?” kata Aisyah.
“Nggaklah, sikapnya bersahaja. Sopan dan lugu.”
Aisyah mengangguk membenarkan Emaknya. Ia akan
terus berdoa, salat istiharah sampai akhirnya yakin ini jodohnya. Meskipun saat
ini, ia belum ada rasa dengan Rizal, mau menolak tidak ada keberanian.
Setelah kedatangan Rizal pada hari Minggu, selanjutnya
Rizal kerap datang ke rumah Aisyah. Dalam satu minggu, bisa dua atau tiga kali
bertandang. Ketika belajar ngaji di rumah Kang Asrom, ia diledek oleh istrinya Kang
Asrom.
“Akhirnya, kamu move on juga. Lumayan ganteng lho.”
“Wah, Ning Mya ngintip, ya.”
“Nggak kok. Lagi nyiram bunga aja. Kok ada cowok
apel. Bahaya lho kalau nggak cepet ada lamaran. Bisa jadi fitnah.”
“Masih kenalan dulu, Ning.”
“Jangan lama-lama, ntar banyak godaan. Jadinya
gagal. Belajar dari pengalaman yang lalu.”
Aisyah mengangguk. Merenung. Pertama kali ketemu
Rizal tidak ada getar apapun. Biasa. Perkenalan sudah satu bulan terasa masih
bekum ada rasa sedikitpun. Hanya merasa nyaman, ngalir. Banyak mendapat
pengalaman aja. Rizal banyak memberi semangat dan nasihat. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar