Sepulang dari Simpang Lima Gumul (SGL), para
guru singgah di sebuah masjid dekat pabrik gula Ngadirejo, Kediri. Karena
sebaik-baik salat wajib, seyogyanya dilakukan di awal waktu. Salat zuhur
berjamaah dilakukan dengan khusuk, dengan imam Pak Yanu. Ketika sudah selesai
melangitkan doa bersama, Aisyah masih termangu menatap sajadahnya. Teringat kejadian di
Simpang Lima Gumul, pembicaraan para guru muda. Ia tidak ingin memaksa masuk
dalam kehidupan cinta Pak Mumtaz, prinsipnya kuat. Seorang perempuan itu harus
punya harga diri. Jangan mengejar jika sudah tidak dicari, sebab kodratnya
perempuan itu bukan mengejar. Kalau di hati sudah tidak ada ruang, jangan berjuang.
Perempuan harus kuat jangan rapuh nanti mahkotanya jatuh.
Bu Aisyah, yuk masuk mobil ditunggu pak
Yanu,”sapa Bu Syifa mengagetkannya.
Mereka masuk ke mobil, langsung menuju ke MI Ar
Rahmah. Di sanalah motor dan sepeda mereka dititipkan. Aisyah dengan pelan
mengayuh sepedanya, tak perlu buru-buru karena sudah melaksanakan ibadah salat
zuhur. Sampai di rumah ia disambut oleh Zam Zam.
“Mbak, baru menjenguk Pak Mumtaz, to,”tanya Zam
Zam
“Iya, Zam,”jawab Aisyah. “Ntar lesnya agak sore
ya. Mbak, istirahat sejenak.”
“Tidur, Mbak?,” tanya Zam Zam.
“Nggak, cuma mau merapikan baju yang tadi subuh,
aku cuci.”
“Mbak, boleh nanya?,” tanya Zam Zam.
“Sebentar, tak ambilnya baju di jemuran. Asal
nggak aneh-aneh!,”Aisyah memperingatkan sambil tersenyum,.
“ Nggaklah, gimana keadaan Pak Mum?,”tanya Zam
Zam.
“Sudah membaik, Zam. Orangnya sakit karena
permintaannya ditolak Sang Ibu,”jelas
Aisyah. Sambil melipat baju.
“Apa hubungannya orang sakit radang dengan
penolakan ibunya?,”tanya Zam Zam penasaran.
“Zam, dari mana kamu tahu Pak Mum sakit paru,
hemm,”Aisyah gemes dengan bocah itu.
“Chattingan dengan Pak Mumtaz,”jawab Zam Zam.
“Zam, jaga sikapmu dengan Pak Mumtaz, Beliau
wali kelasmu lho,”pesan Aisyah.
“Asyiap! Mbak apa hubungannya?,”Zam Zam
merengek. Penasaran sekali.
“Orang itu Zam, jikalau tertekan ia akan
bersedih. Tekanan batin yang terus menerus akan menurunkan imunitas. Daya tahan
tubuh melemah. Menjadi malas makan, mengurus kesehatan, sulit tidur. Pada saat daya
tahan pada titik rendah, maka virus dan bakteri mudah masuk.”
“Lalu, … gimana Mbak?,”tanya Zam Zam.
“Dengan mudah bakteri Streptococcus pneumonia, berkembangbiak dalam paru Pak
Mumtaz,”lanjut Aisyah.
“Ooo, masuk akal ya, Mbak,” jawab Zam Zam
mengangguk-angguk.
“Emang penolakan ibunya tentang apa?,”tanya Zam
Zam
“Itu urusan orang tua, anak kecil tak perlu
tahu,” jawab Aisyah.
“Sekarang kamu tak perlu menggodaku, dengan
bertanya-tanya tentang Pak Mumtaz.”
Aisyah bersungut-sungut. Pandangannya menghujam
pada telaga yang jernih di mata Zam Zam.
“Emang kenapa?,”tanya Zam Zam. “Mbak, kok sewot.
“Karena Pak Mumtaz itu gurumu bukan kakakmu.
Harus ada etika,”kata Aisyah
“Emang Mbak apanya Pak Mum, sampe ngatur begitu.
Pacar?,”tanya Zam Zam. Sengaja membikin jengkel.
“Emang harus jadi pacar Pak Mum, untuk ngajari
kamu sikap santun,”jelas Aisyah. “Lagian, Pak Mumtaz sudah punya calon istri.”
“Apa?,”Zam Zam seperti tersengat arus listrik.
Mulutnya menganga penuh keheranan.
“Sekarang pulang dulu, ntar setelah salat asar,
kita les, ya,”pesan Aisyah.
Aisyah heran, kenapa anak ini murung. Pulang
begitu aja tanpa pamit. Ah, Aisyah mendesah mencoba menekan beban yang mendera
hari ini. Beban? Untuk apa menganggap itu sebagai beban. Pak Mumtaz bukan
kekasihnya. Bukan pula orang yang tepat untuknya menaruh harap. Nggak, ngaruh, hiburnya.
Derrt derrt derrt
Ponselnya bergetar. Panggilan dari Subkhi. Entah
berapa kali Subkhi meneleponnya. Dalam satu bulan lebih dari 4 sampai 5
panggilan. Aisyah tak pernah menanggapi panggilan. Aisyah tak mau merusak
hubungan manis Subkhi dengan istrinya. Perpisahan itu, yang memutuskan Subkhi,
demi kecintaan pada orang tuanya. Aisyah dengan berat hati menerimanya. Mencoba
menata hatinya. Tertatih-tatih ia bangun. Semula ia merasa sebagai orang yang
terlunta-lunta. Akhirnya mampu bangkit, move
on.
Ketika azan asar berkumandang, Aisyah segera menunaikan
salat wajib. Selalu salat wajib dilaksanakannya pada awal waktu. Ia tunaikan salat dengan
khusuk. Tangannya menengadah. Tubuhnya bertumpu pada sajadah. Setelah
kepergian Subkhi, hanya Ibu, Bapak dan pastinya Allah tempat Aisyah
menyandarkan asanya. Menangis pada Rabb-ku. Gumamnya sesak. Allah yang
mengetahui segala isi hatinya. Sebab hanya pada Allah tempat bermuara sedu
sedan yang paling indah. Ia seka air matanya. Rasa yang tergantung, pada umat
yang fana adalah percuma. Rasa yang tergantung pada manusia adalah sia-sia. Ia
harus bangkit menentukan masa depannya. Mengabdi pada madrasah yang telah
membangkitkan semangat hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar