Kamis, 23 September 2021

13. Rasa yang Tergantung

 



Sepulang dari Simpang Lima Gumul (SGL), para guru singgah di sebuah masjid dekat pabrik gula Ngadirejo, Kediri. Karena sebaik-baik salat wajib, seyogyanya dilakukan di awal waktu. Salat zuhur berjamaah dilakukan dengan khusuk, dengan imam Pak Yanu. Ketika sudah selesai melangitkan doa bersama, Aisyah masih termangu menatap sajadahnya. Teringat kejadian di Simpang Lima Gumul, pembicaraan para guru muda. Ia tidak ingin memaksa masuk dalam kehidupan cinta Pak Mumtaz, prinsipnya kuat. Seorang perempuan itu harus punya harga diri. Jangan mengejar jika sudah tidak dicari, sebab kodratnya perempuan itu bukan mengejar. Kalau di hati sudah tidak ada ruang, jangan berjuang. Perempuan harus kuat jangan rapuh nanti mahkotanya jatuh. 

Bu Aisyah, yuk masuk mobil ditunggu pak Yanu,”sapa Bu Syifa mengagetkannya.

Mereka masuk ke mobil, langsung menuju ke MI Ar Rahmah. Di sanalah motor dan sepeda mereka dititipkan. Aisyah dengan pelan mengayuh sepedanya, tak perlu buru-buru karena sudah melaksanakan ibadah salat zuhur. Sampai di rumah ia disambut oleh Zam Zam.

“Mbak, baru menjenguk Pak Mumtaz, to,”tanya Zam Zam

“Iya, Zam,”jawab Aisyah. “Ntar lesnya agak sore ya. Mbak, istirahat sejenak.”

“Tidur, Mbak?,” tanya Zam Zam.

“Nggak, cuma mau merapikan baju yang tadi subuh, aku cuci.”

“Mbak, boleh nanya?,” tanya Zam Zam.

“Sebentar, tak ambilnya baju di jemuran. Asal nggak aneh-aneh!,”Aisyah memperingatkan sambil tersenyum,.

“ Nggaklah, gimana keadaan Pak Mum?,”tanya Zam Zam.

“Sudah membaik, Zam. Orangnya sakit karena permintaannya ditolak Sang Ibu,”jelas Aisyah. Sambil melipat baju.

“Apa hubungannya orang sakit radang dengan penolakan ibunya?,”tanya Zam Zam penasaran.

“Zam, dari mana kamu tahu Pak Mum sakit paru, hemm,”Aisyah gemes dengan bocah itu.

Chattingan dengan Pak Mumtaz,”jawab Zam Zam.

“Zam, jaga sikapmu dengan Pak Mumtaz, Beliau wali kelasmu lho,”pesan Aisyah.

“Asyiap! Mbak apa hubungannya?,”Zam Zam merengek. Penasaran sekali.

“Orang itu Zam, jikalau tertekan ia akan bersedih. Tekanan batin yang terus menerus akan menurunkan imunitas. Daya tahan tubuh melemah. Menjadi malas makan, mengurus kesehatan, sulit tidur. Pada saat daya tahan pada titik rendah, maka virus dan bakteri mudah masuk.”

“Lalu, … gimana Mbak?,”tanya Zam Zam.

“Dengan mudah bakteri Streptococcus pneumonia, berkembangbiak dalam paru Pak Mumtaz,”lanjut Aisyah.

“Ooo, masuk akal ya, Mbak,” jawab Zam Zam mengangguk-angguk.

“Emang penolakan ibunya tentang apa?,”tanya Zam Zam

“Itu urusan orang tua, anak kecil tak perlu tahu,” jawab Aisyah.

“Sekarang kamu tak perlu menggodaku, dengan bertanya-tanya tentang Pak Mumtaz.”

Aisyah bersungut-sungut. Pandangannya menghujam pada telaga yang jernih di mata Zam Zam.

“Emang kenapa?,”tanya Zam Zam. “Mbak, kok sewot.

“Karena Pak Mumtaz itu gurumu bukan kakakmu. Harus ada etika,”kata Aisyah

“Emang Mbak apanya Pak Mum, sampe ngatur begitu. Pacar?,”tanya Zam Zam. Sengaja membikin jengkel.

“Emang harus jadi pacar Pak Mum, untuk ngajari kamu sikap santun,”jelas Aisyah. “Lagian, Pak Mumtaz sudah punya calon istri.”

“Apa?,”Zam Zam seperti tersengat arus listrik. Mulutnya menganga penuh keheranan.

“Sekarang pulang dulu, ntar setelah salat asar, kita les, ya,”pesan Aisyah.

Aisyah heran, kenapa anak ini murung. Pulang begitu aja tanpa pamit. Ah, Aisyah mendesah mencoba menekan beban yang mendera hari ini. Beban? Untuk apa menganggap itu sebagai beban. Pak Mumtaz bukan kekasihnya. Bukan pula orang yang tepat untuknya menaruh harap. Nggak, ngaruh, hiburnya.

Derrt derrt derrt

Ponselnya bergetar. Panggilan dari Subkhi. Entah berapa kali Subkhi meneleponnya. Dalam satu bulan lebih dari 4 sampai 5 panggilan. Aisyah tak pernah menanggapi panggilan. Aisyah tak mau merusak hubungan manis Subkhi dengan istrinya. Perpisahan itu, yang memutuskan Subkhi, demi kecintaan pada orang tuanya. Aisyah dengan berat hati menerimanya. Mencoba menata hatinya. Tertatih-tatih ia bangun. Semula ia merasa sebagai orang yang terlunta-lunta. Akhirnya mampu bangkit, move on.

Ketika azan asar berkumandang, Aisyah segera menunaikan salat wajib. Selalu salat wajib dilaksanakannya pada awal waktu. Ia tunaikan salat dengan khusuk. Tangannya menengadah. Tubuhnya bertumpu pada sajadah. Setelah kepergian Subkhi, hanya Ibu, Bapak dan pastinya Allah tempat Aisyah menyandarkan asanya. Menangis pada Rabb-ku. Gumamnya sesak. Allah yang mengetahui segala isi hatinya. Sebab hanya pada Allah tempat bermuara sedu sedan yang paling indah. Ia seka air matanya. Rasa yang tergantung, pada umat yang fana adalah percuma. Rasa yang tergantung pada manusia adalah sia-sia. Ia harus bangkit menentukan masa depannya. Mengabdi pada madrasah yang telah membangkitkan semangat hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar