Lonceng
ditabuh 3 kali, petanda seluruh warga sekolah akan menunaikan salat zuhur
berjamaah. Siswa yang menjadi muazin segera menuju Masjid Al Fajar. Azan
berkumandang merdu. Anak-anak segera mengambil air wudu. Mereka berebut saf
terdepan. Para guru berada pada saf belakang untuk mengamati sikap anak di
masjid. Untuk catatan sikap spiritual siswa. Mereka menjawab bacaan azan dan
mengangkat tangan menundukkan kepala untuk melafalkan doa setelah azan. Beberapa
saat kemudian iqomah dikumandangkan semua jamaah berdiri untuk segera
menunaikan salat zuhur berjamaah. Pak Yanu menjadi imam salat zuhur. Sebelum salat
dimulai Beliau mengingatkan makmum untuk merapatkan safnya. Salat zuhur usai,
segera berzikir dan berdoa bersama-sama. Semua makmum dihimbau melaksanakan
salat rawatib bakda zuhur. Arbain, siswa kelas 4 terlihat mengambil mikrofon, ia bertugas melaksanakan
kultum. Semua jamaah menyimak kultum dengan baik. Para siswa dimohon mematuhi adab berada di masjid. Mereka tidak
diperkenankan berhamburan keluar masjid. Namun melangkah pelan tanpa berisik.
Setelah
kegiatan salat zuhur usai, Aisyah mengayuh sepedanya pelan, lega rasanya telah
menunaikan salat zuhur. Sampai rumah tinggal membantu kedua orang tuanya.
Anak-anak MI telah kembali ke rumah masing-masing. Di pertigaan desa Aisyah
belok kiri. Subhanallah! Aisyah hampir terpental dari sepedanya. Terkejut!
Tiba-tiba Zam Zam Arafat telah berada di sampingnya! Padahal semua temannya sudah sampai rumah.
“Hhhh,
Mbak Aisyah pasti terkejut ya,” celetuk Zam Zam. Di luar jam sekolah Zam Zam
lebih suka memanggil Aisyah dengan sebutan mbak.
“Kok
masih di sini. Tidak cepat pulang. Ntar kamu terlambat sekolah diniyah, lho.”
“Cuma
mau ngasih info sama Mbak Aisy,” kata Zam Zam sambil mengerlingkan matanya yang
bulat lucu.
“
Mbak tidak tertarik. Paling juga jurus jitu kamu ngeprank saiya,” Aisyah
menebak arah pembicaraan Zam Zam, sambil tersenyum.
“Ya udah, kalau nggak percaya,”tangkis Zam-Zam.
Ia berlalu mengayuh sepedanya dengan
kecepatan tinggi. Berharap Aisyah kepo. Mengejar Azam atau memanggilnya. Tapi tidak dilakukan Aisyah.
Sampai
di perempatan dekat warung pecel Pak Munir, Zam Zam berputar kembali menyusul
Aisyah yang bersepada dengan santainya. Datar tanpa ekspresi kepo. Aisyah mencoba tidak menghiraukan
keberadaan Zam Zam. Meskipun bocah itu telah kembali bersepeda di sampingnya.
“Tadi
Pak Mumtaz menanyakan Mbak.”
Zam
Zam menunjukkan ekspresi serius. Aisyah hanya terdiam. Ia tidak akan terbawa, ulah Azam.
“Mau
tahu banget, atau mau tahu aja,” kata Zam Zam menjulurkan lidahnya.
Aisyah
tetap konsentrasi bersepeda. Tidak sepatah katapun terucap untuk menjawab perkataan Zam
Zam.
“Mbak
bikin jengkel,”ia nampak bersungut-sungut.
Zam-zam
meninggal Aisyah. Tidak menoleh sampai hilang ditelan tikungan jalan. Aisyah
tidak mau menaggapi ulah Zam Zam. Meskipun ia tahu anak cerdik itu, tadi berdua
dengan Pak Mumtaz di ruang Multimedia. Entah apa yang dibicarakan. Aisyah tidak
ingin mengorek keterangan dari Zam Zam. Agar dirinya dengan Pak Mumtaz tidak
menjadi bahan ghibah warga madrasah. Lingkungan akademik yang islami tidak
perlu dikotori dengan isu yang tidak baik. Aisyah menginginkan hidupnya
mengalir alami. Menjalani harinya dengan lurus. Ia berprinsip air jernih akan mengalir
dari hulu ke hilir, kelak akan sampai jua ke muara. Ia tidak akan merekayasa
langkahnya dengan trik yang tidak baik. Agar bisa dekat dengan Pak Mumtaz.
Apalagi
ia terlahir dari keluarga bersahaja. Asanya bersahaja pula, yakni menjadi guru
yang menyayangi anak-anak RA tanpa tendensi apa-apa. Bagaimana nasib membawanya
ke masa depan. Aisyah berserah, pasrah. Ia yakin Allah telah menuliskan garis
nasibnya. Ia tidak pernah menaruh harap terhadap cinta Pak Mumtaz. Bahkan ia
selalu menjaga jangan sampai tindakannya mencerminkan prilaku guru muslimah yang
tidak bisa diteladani anak-anak RA maupun MI. Dirinya selalu risih, jika dalam
satu ruang, satu majelis, atau berpapasan dengan Pak Mumtaz menjadi bahan pembicaraan
warga sekolah. Ah, Aisyah mengibaskan kepalanya. Ia mencoba menghapus bayangan
Pak Mumtaz dari benaknya. Asiyah selalu mampu melakukan instrospeksi. Antara
dirinya dan Pak Mumtaz ada jurang menganga yang membatasinya. Mungkin bak langit
dan bumi dari strata hidupnya. Itulah menurut sudut pandang Aisyah. Bukannya
minder. Tak ingin diri bagaikan pungguk merindukan bulan.
****
“Sah, Aisyah! dicari Zam Zam,” Emaknya memanggil dengan suara lantang.
“Sebentar
mak, tinggal jemur baju.”
“Le, kok sudah pulang sekolah diniyah,” sapa
ibu Aisyah pada Zam Zam.
“ Udah, Budhe,”jawab Zam Zam, santai.
Zam
Zam berjongkok menunggu Aisyah menjemur
baju.
“Zam
ntar sarungmu kotor lho,” kata Aisyah.
Kondisi
sekeliling kamar mandi Aisyah belum berubin, dari tanah yang bercampur kerakal.
“Kok,
awal banget Zam lesnya.”
“Banyak
PR, mbak.”
“Banyak
PR kok cuma bawa buku dua, Zam.”
Aisyah
tergelak melihat ekspresi Azam.
“Kamu
tunggu di depan ya, Zam. Aku mau salat asar dulu.”
Azam
melangkah. Menunggu Aisyah dengan santainya. Dilihatnya tumpukan buku milik
Aisyah. Azam dan Aisyah memiliki hobi yang sama membaca buku. Azam mengambil buku kecil berwarna putih. Buku berjudul
Geramm. Ia timang buku itu.
“Judul
buku “Geramm di Madrasahku”, aneh judulnya.
Kenapa harus geram? Karangan Muslikah,” Azam bergumam. “Wow, guru Trenggalek. Dari
kecamatan Durenan. Satu kecamatan denganku.”
Azam
telah membaca sinopsis dari pengarang buku itu. Aisyah menggelar tikar.
“Mbak
Aisyah, tadi Pak Mumtaz tanya. Apa aku adik mbak.”
“Maklum
Zam, kita kan akrab. Jangan dianggap aneh. Jawab aja jujur, tetangga.”
“
Ada lho yang lain, Mbak.”
“Itu
basa basi Zam.”
“Males
aku ngomong sama, mbak.
Azam
sewot. Bibirnya manyun.
“Jangan
sampai karena itu, mood lesmu hari ini turun,” Aisyah menetralisir keadaan.
Anak
ini memang bawaannya santai tapi serius. Ia tidak mau repot bawa banyak buku ke
tempat les. Semua soal telah disalin ke buku PR. Kreatif sekali. Cerdas suka
baca buku. Kelemahannya, suka mencampuri urusan orang tua. Suka menyelidik, pandai
berkilah, dan tentunya sok tahu. Setelah dibimbing Aisyah ia dengan cepat mampu
mengerjakan PR dengan baik.
“Mbak,
tadi ada pertanyaanku yang tidak bisa dijawab Pak Mumtaz.”
“Masak,
sih Zam.”
“Pak
Mum, masih mau mencarikan jawabannya,”jelas Azam.
“Guru
yang baik begitu, Zam.”
“Cie,
cie. Ada kemajuan Mbak Aisy, memuji Pak Mumtaz. Wah, jadi berita viral lambe
turah, nih.’
“Zam,
itulah kelemahanmu. Suka menebak, menyimpulkan tanpa data yang akurat.
Berbicara tidak sesuai usia, hemm, “ Aisyah mengelengkan kepalanya. “Tindakan
itu tidak terpuji bisa muncul berita hoax.”
Azam
melotot. Namun bocah cerdik ini mulai menyusun ide, jebakan batman. Mengubah ekspresinya
menjadi senyum manis. Ia harus tahu lebih jauh, penilaian Aisyah terhadap Pak
Mumtaz.
“Alasanya?,”
tanya Azam penasaran.
Aisyah berfikir keras untuk memberi jawaban yang diplomatis pada anak cerdas ini.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar