Selasa, 14 September 2021

CERIS.PART 4. Mengelola Jurus Jitu Zam Zam Arafat

 



Lonceng ditabuh 3 kali, petanda seluruh warga sekolah akan menunaikan salat zuhur berjamaah. Siswa yang menjadi muazin segera menuju Masjid Al Fajar. Azan berkumandang merdu. Anak-anak segera mengambil air wudu. Mereka berebut saf terdepan. Para guru berada pada saf belakang untuk mengamati sikap anak di masjid. Untuk catatan sikap spiritual siswa. Mereka menjawab bacaan azan dan mengangkat tangan menundukkan kepala untuk melafalkan doa setelah azan. Beberapa saat kemudian iqomah dikumandangkan semua jamaah berdiri untuk segera menunaikan salat zuhur berjamaah. Pak Yanu menjadi imam salat zuhur. Sebelum salat dimulai Beliau mengingatkan makmum untuk merapatkan safnya. Salat zuhur usai, segera berzikir dan berdoa bersama-sama. Semua makmum dihimbau melaksanakan salat rawatib bakda zuhur. Arbain, siswa kelas 4 terlihat mengambil mikrofon, ia bertugas melaksanakan kultum. Semua jamaah menyimak kultum dengan baik. Para siswa dimohon mematuhi adab berada di masjid. Mereka tidak diperkenankan berhamburan keluar masjid. Namun melangkah pelan tanpa berisik.

Setelah kegiatan salat zuhur usai, Aisyah mengayuh sepedanya pelan, lega rasanya telah menunaikan salat zuhur. Sampai rumah tinggal membantu kedua orang tuanya. Anak-anak MI telah kembali ke rumah masing-masing. Di pertigaan desa Aisyah belok kiri. Subhanallah! Aisyah hampir terpental dari sepedanya. Terkejut! Tiba-tiba Zam Zam Arafat telah berada di sampingnya! Padahal semua temannya sudah sampai rumah.

“Hhhh, Mbak Aisyah pasti terkejut ya,” celetuk Zam Zam. Di luar jam sekolah Zam Zam lebih suka memanggil Aisyah dengan sebutan mbak.

“Kok masih di sini. Tidak cepat pulang. Ntar kamu terlambat sekolah diniyah, lho.”

“Cuma mau ngasih info sama Mbak Aisy,” kata Zam Zam sambil mengerlingkan matanya yang bulat lucu.

“ Mbak tidak tertarik. Paling juga jurus jitu kamu ngeprank saiya,” Aisyah menebak arah pembicaraan Zam Zam, sambil tersenyum.

“Ya udah, kalau nggak percaya,”tangkis Zam-Zam.

Ia berlalu mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Berharap Aisyah kepo. Mengejar Azam atau memanggilnya. Tapi tidak dilakukan Aisyah.

Sampai di perempatan dekat warung pecel Pak Munir, Zam Zam berputar kembali menyusul Aisyah yang bersepada dengan santainya. Datar tanpa ekspresi kepo. Aisyah mencoba tidak menghiraukan keberadaan Zam Zam. Meskipun bocah itu telah kembali bersepeda di sampingnya.

“Tadi Pak Mumtaz menanyakan Mbak.”

Zam Zam menunjukkan ekspresi serius. Aisyah hanya terdiam. Ia tidak akan terbawa, ulah Azam.

“Mau tahu banget, atau mau tahu aja,” kata Zam Zam menjulurkan lidahnya.

Aisyah tetap konsentrasi bersepeda. Tidak sepatah katapun terucap untuk menjawab perkataan Zam Zam.

“Mbak bikin jengkel,”ia nampak bersungut-sungut.

Zam-zam meninggal Aisyah. Tidak menoleh sampai hilang ditelan tikungan jalan. Aisyah tidak mau menaggapi ulah Zam Zam. Meskipun ia tahu anak cerdik itu, tadi berdua dengan Pak Mumtaz di ruang Multimedia. Entah apa yang dibicarakan. Aisyah tidak ingin mengorek keterangan dari Zam Zam. Agar dirinya dengan Pak Mumtaz tidak menjadi bahan ghibah warga madrasah. Lingkungan akademik yang islami tidak perlu dikotori dengan isu yang tidak baik. Aisyah menginginkan hidupnya mengalir alami. Menjalani harinya dengan lurus. Ia berprinsip air jernih akan mengalir dari hulu ke hilir, kelak akan sampai jua ke muara. Ia tidak akan merekayasa langkahnya dengan trik yang tidak baik. Agar bisa dekat dengan Pak Mumtaz.

Apalagi ia terlahir dari keluarga bersahaja. Asanya bersahaja pula, yakni menjadi guru yang menyayangi anak-anak RA tanpa tendensi apa-apa. Bagaimana nasib membawanya ke masa depan. Aisyah berserah, pasrah. Ia yakin Allah telah menuliskan garis nasibnya. Ia tidak pernah menaruh harap terhadap cinta Pak Mumtaz. Bahkan ia selalu menjaga jangan sampai tindakannya mencerminkan prilaku guru muslimah yang tidak bisa diteladani anak-anak RA maupun MI. Dirinya selalu risih, jika dalam satu ruang, satu majelis, atau berpapasan dengan Pak Mumtaz menjadi bahan pembicaraan warga sekolah. Ah, Aisyah mengibaskan kepalanya. Ia mencoba menghapus bayangan Pak Mumtaz dari benaknya. Asiyah selalu mampu melakukan instrospeksi. Antara dirinya dan Pak Mumtaz ada jurang menganga yang membatasinya. Mungkin bak langit dan bumi dari strata hidupnya. Itulah menurut sudut pandang Aisyah. Bukannya minder. Tak ingin diri bagaikan pungguk merindukan bulan.

****

“Sah, Aisyah! dicari Zam Zam,” Emaknya memanggil dengan suara lantang.

“Sebentar mak, tinggal jemur baju.”

Le, kok sudah pulang sekolah diniyah,” sapa ibu Aisyah pada Zam Zam.

 “ Udah, Budhe,”jawab Zam Zam, santai.

Zam Zam berjongkok  menunggu Aisyah menjemur baju.

“Zam ntar sarungmu kotor lho,” kata Aisyah.

Kondisi sekeliling kamar mandi Aisyah belum berubin, dari tanah yang bercampur kerakal.

“Kok, awal banget Zam lesnya.”

“Banyak PR, mbak.”

“Banyak PR kok cuma bawa buku dua, Zam.”

Aisyah tergelak melihat ekspresi Azam.

“Kamu tunggu di depan ya, Zam. Aku mau salat asar dulu.”

Azam melangkah. Menunggu Aisyah dengan santainya. Dilihatnya tumpukan buku milik Aisyah. Azam dan Aisyah memiliki hobi yang sama membaca buku. Azam mengambil  buku kecil berwarna putih. Buku berjudul Geramm. Ia timang buku itu.

“Judul buku  “Geramm di Madrasahku”, aneh judulnya. Kenapa harus geram? Karangan Muslikah,” Azam bergumam. “Wow, guru Trenggalek. Dari kecamatan Durenan. Satu kecamatan denganku.”

Azam telah membaca sinopsis dari pengarang buku itu. Aisyah menggelar tikar.

“Mbak Aisyah, tadi Pak Mumtaz tanya. Apa aku adik mbak.”

“Maklum Zam, kita kan akrab. Jangan dianggap aneh. Jawab aja jujur, tetangga.”

“ Ada lho yang lain, Mbak.”

“Itu basa basi Zam.”

“Males aku ngomong sama, mbak.

Azam sewot. Bibirnya manyun.

“Jangan sampai karena itu, mood lesmu hari ini turun,” Aisyah menetralisir keadaan.

Anak ini memang bawaannya santai tapi serius. Ia tidak mau repot bawa banyak buku ke tempat les. Semua soal telah disalin ke buku PR. Kreatif sekali. Cerdas suka baca buku. Kelemahannya, suka mencampuri urusan orang tua. Suka menyelidik, pandai berkilah, dan tentunya sok tahu. Setelah dibimbing Aisyah ia dengan cepat mampu mengerjakan PR dengan baik.

“Mbak, tadi ada pertanyaanku yang tidak bisa dijawab Pak Mumtaz.”

“Masak, sih Zam.”

“Pak Mum, masih mau mencarikan jawabannya,”jelas Azam.

“Guru yang baik begitu, Zam.”

“Cie, cie. Ada kemajuan Mbak Aisy, memuji Pak Mumtaz. Wah, jadi berita viral lambe turah, nih.’

“Zam, itulah kelemahanmu. Suka menebak, menyimpulkan tanpa data yang akurat. Berbicara tidak sesuai usia, hemm, “ Aisyah mengelengkan kepalanya. “Tindakan itu tidak terpuji bisa muncul berita hoax.”

Azam melotot. Namun bocah cerdik ini mulai menyusun ide, jebakan batman. Mengubah ekspresinya menjadi senyum manis. Ia harus tahu lebih jauh, penilaian Aisyah terhadap Pak Mumtaz.

“Alasanya?,” tanya Azam penasaran.

Aisyah berfikir keras untuk memberi jawaban yang diplomatis pada anak cerdas ini.

Bersambung

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar