Aisyah
hanya tersenyum hambar, diledek para guru. Dilihatnya Pak Mumtaz kelihatan
tenang membaca buku, sesekali tersenyum. Sangat datar, tidak bisa ditebak makna
senyumnya. Aisyah merasa bapak ibu guru senior mengujinya. Guru madrasah tentunya
tidak elok jika berboncengan, padahal bukan muhrim. Di tengah
riuhnya candaan mereka, terdengar Bu Rahma berbicara dengan bijak.
“Sebaiknya
dengan Bu Aini saja. Beliau bisa memberi petuah manis, agar Aisyah lebih
terbuka hatinya.”
Terlihat
Pak Mumtaz tersenyum lebar, menandakan hatinya lega dengan solusi jitu Bu
Rahma.
“Bu
Aini, Bu Aisyah! Sekarang bisa berangkat. Kasihan Arin. Biar anak itu lebih
tegar menjelang keberangkatannya menuju Surabaya,”perintah Pak Yanu.
Tanpa
komando semua guru dengan sukarela urunan seikhlasnya untuk disampaikan kepada
keluarga Airin. Bendahara jimpitan menambah sedikit dana dari kas jimpitan MI.
Begitu pula Bu Rahma juga menambahkan dari kas RA. Setelah diamplop rapi
keduanya berangkat. Bu Aini masih sempat menggoda Pak Mumtaz.
“Pak Mum, sepeda Bu Aisy bisa lho diantar ke rumah camer (calon mertua).
“Mboten,
mboten Pak. Ntar saya ke sini lagi,”jawab Aisyah gelagapan.
Aisyah
terpancing candaan Bu Aini. Tawa riuh memecah keheningan ruangan itu. Meskipun
dalam kondisi berduka, mereka selalu menyelingi dengan berbagai candaan. Keduanya
segera melaju menuju klinik Anisa, Panggungsari. Waktu menunjukkan dentang 11.00, untung di
klinik itu belum ada pembatasan jadwal bezoek. Hanya pembatasan jumlah
pembezoek. Melihat Bu Aisyah, Bunda Airin segera menyambutnya. Air mata
memenuhi sudut matanya. Segera ia menyusutnya, seakan tidak rela orang lain
mengetahui betapa Bunda ini sangat terpukul. Selama berjalan menuju kamar rawat inap Bunda Airin tidak pernah
menceritakan sakit yang diderita anaknya pada kedua guru tersebut. Melihat
wajah Bunda Airin yang pucat, kantung mata yang menghitam. Sudah mampu menjelaskan
betapa parahnya sakit putri bungsunya ini.
Sementara itu Bunda
Airin juga heran. Putrinya begitu menyayangi gurunya ini. Memiliki permintaan
sebelum berobat ke Surabaya, ingin bertemu Bu Aisyah. Setelah berada dekat
dengan Bu Aisyah, Bunda Airin merasakan guru muda ini memiliki jiwa ramah, baik
dan tatapan mata yang teduh. Banyak wali murid RA yang merasakan ketulusan Bu
Aisyah dalam menyayangi anak-anaknya. Tanpa pilih kasih. Akhir mereka sampai di
kamar Airin. Klinik ini memang tidak banyak kamar rawat inap. Hanya sekitar 10
kamar rawat inap. Ketika Bu Aisyah mendekati ke ranjang Airin. Anak ini
terlelap tidur, napasnya sangat lirih. Gerakan dadanya sangat lemah. Aisyah
mengenggam tangan Airin yang tidak
terhubung selang infus. Mencium pipinya sambil berurai air mata. Aisyah
mencoba membendung air matanya, namun tidak berhasil. Airin bergeming. Merasakan ada tetesan hangat pada punggung tangannya. Matanya perlahan terbuka.
“Bu
Aisyah, Arin kangen,”katanya pelan, manja.
Begitulah
suara khas Airin yang memang kalem dan lembut.
“Boleh
Bu Aisy memeluk Arin?”
“Boleh….”jawab Arin lemah.
Aisyah
mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bungkusan bersampul kertas pink.
“Terimakasih
Bu Aisy.”
“Sebenarnya
Ibu mau menjenguk Arin di rumah untuk ngasih gambar dan pewarna. Ibu tahu Arin
suka mewarnai,”kata Aisyah sambil mencium kening Airin.
Ruangan
rawat itu hening sekali. Bu Aini yang periang, wajahnya berubah sendu. Sesekali
menyeka air matanya. Tidak menyangka jika Airin dan Bu Aisyah memiliki ikatan kasih sayang yang kuat. Ia menjadi guru ASN MI, telah mutasi dari madrasah ke madrasah. Namun
belum pernah mengalami kisah seperti Aisyah. Dicintai, dirindui siswa-siswanya.
Anak-anak RA memiliki kedekatan emosional yang erat. Kadang ketika Aisyah masuk kantor
MI, anak-anak masih mengejarnya. Beberapa anak memegangi bajunya. Bersembunyi
dalam jilbabnya yang lebar. Bahkan Aisyah harus sering merapikan jilbab yang
hampir terlepas. Anehnya guru RA ini tidak merasa bengah, marah atau risih.
Digelayuti anak-anak RA. Sepertinya ia memang calon ibu yang baik.
“Assalamualaikum.
Wah, ini Bu Aisyah ya,”sapa dokter ganteng sambil tersenyum lebar. “Ibu guru
yang mampu membuat Arin mengigau sepanjang malam.”
Airin
tersipu malu. Dokter tampan itu memberi isyarat pada Bunda Airin agar masuk ke
ruangan dokter. Entah apa yang dibicarakan. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang konsultasi. Waktu telah menunjukkan pukul 12.00
tepat. Setelah Bunda Airin selesai diskusi dengan dokter jaga, Bu Aini dan Aisyah pamit. Agar Airin dapat beristirahat dengan cukup.
Airin melepaskan genggaman Aisyah.
“Arin,
kamu harus kuat. Besok sepulang dari Surabaya, Bu Aisyah akan memberi hadiah
yang lebih indah. Kami akan pamit biar Arin bisa istirahat dengan nyaman, oke.”
Asiyah
mencium pipi gadis cantik ini. Mengusap air mata dipipi Arin. Bu Aini memberikan amplop tali asih. Keduanya meninggalkan
klinik dengan kesedihan yang mendalam. Semoga Arin mampu bertahan, bisa beranjak
menjadi gadis remaja yang cantik dan lembut. Begitulah doa yang dilangitkan
Aisyah
Bersambung
tops....smoga istiqomah
BalasHapusTerimakasih. Salam literasi
BalasHapus