Senin, 13 September 2021

CERIS. PART 3. Gadis Bermata Sayu, Tergolek Layu

 



Aisyah hanya tersenyum hambar, diledek para guru. Dilihatnya Pak Mumtaz kelihatan tenang membaca buku, sesekali tersenyum. Sangat datar, tidak bisa ditebak makna senyumnya. Aisyah merasa bapak ibu guru senior mengujinya. Guru madrasah tentunya tidak elok jika berboncengan, padahal bukan muhrim. Di tengah riuhnya candaan mereka, terdengar Bu Rahma berbicara dengan bijak.

“Sebaiknya dengan Bu Aini saja. Beliau bisa memberi petuah manis, agar Aisyah lebih terbuka hatinya.”

Terlihat Pak Mumtaz tersenyum lebar, menandakan hatinya lega dengan solusi jitu Bu Rahma.

“Bu Aini, Bu Aisyah! Sekarang bisa berangkat. Kasihan Arin. Biar anak itu lebih tegar menjelang keberangkatannya menuju Surabaya,”perintah Pak Yanu.

Tanpa komando semua guru dengan sukarela urunan seikhlasnya untuk disampaikan kepada keluarga Airin. Bendahara jimpitan menambah sedikit dana dari kas jimpitan MI. Begitu pula Bu Rahma juga menambahkan dari kas RA. Setelah diamplop rapi keduanya berangkat. Bu Aini masih sempat menggoda Pak Mumtaz.

“Pak Mum, sepeda Bu Aisy bisa lho diantar ke rumah camer (calon mertua).

Mboten, mboten Pak. Ntar saya ke sini lagi,”jawab Aisyah gelagapan.

Aisyah terpancing candaan Bu Aini. Tawa riuh memecah keheningan ruangan itu. Meskipun dalam kondisi berduka, mereka selalu menyelingi dengan berbagai candaan. Keduanya segera melaju menuju klinik Anisa, Panggungsari. Waktu menunjukkan dentang 11.00, untung di klinik itu belum ada pembatasan jadwal bezoek. Hanya pembatasan jumlah pembezoek. Melihat Bu Aisyah, Bunda Airin segera menyambutnya. Air mata memenuhi sudut matanya. Segera ia menyusutnya, seakan tidak rela orang lain mengetahui betapa Bunda ini sangat terpukul. Selama berjalan menuju kamar rawat inap Bunda Airin tidak pernah menceritakan sakit yang diderita anaknya pada kedua guru tersebut. Melihat wajah Bunda Airin yang pucat, kantung mata yang menghitam. Sudah mampu menjelaskan betapa parahnya sakit putri bungsunya ini.

Sementara itu Bunda Airin juga heran. Putrinya begitu menyayangi gurunya ini. Memiliki permintaan sebelum berobat ke Surabaya, ingin bertemu Bu Aisyah. Setelah berada dekat dengan Bu Aisyah, Bunda Airin merasakan guru muda ini memiliki jiwa ramah, baik dan tatapan mata yang teduh. Banyak wali murid  RA yang merasakan ketulusan Bu Aisyah dalam menyayangi anak-anaknya. Tanpa pilih kasih. Akhir mereka sampai di kamar Airin. Klinik ini memang tidak banyak kamar rawat inap. Hanya sekitar 10 kamar rawat inap. Ketika Bu Aisyah mendekati ke ranjang Airin. Anak ini terlelap tidur, napasnya sangat lirih. Gerakan dadanya sangat lemah. Aisyah mengenggam tangan Airin yang tidak  terhubung selang infus. Mencium pipinya sambil berurai air mata. Aisyah mencoba membendung air matanya, namun tidak berhasil. Airin bergeming. Merasakan ada tetesan hangat pada punggung tangannya. Matanya perlahan terbuka. 

“Bu Aisyah, Arin kangen,”katanya pelan, manja.

Begitulah suara khas Airin yang memang kalem dan lembut.

“Boleh Bu Aisy memeluk Arin?”

“Boleh….”jawab Arin lemah.

Aisyah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bungkusan bersampul kertas pink.

“Terimakasih Bu Aisy.”

“Sebenarnya Ibu mau menjenguk Arin di rumah untuk ngasih gambar dan pewarna. Ibu tahu Arin suka mewarnai,”kata Aisyah sambil mencium kening Airin.

Ruangan rawat itu hening sekali. Bu Aini yang periang, wajahnya berubah sendu. Sesekali menyeka air matanya. Tidak menyangka jika Airin dan Bu Aisyah memiliki ikatan kasih sayang yang kuat. Ia menjadi guru ASN MI, telah mutasi dari madrasah ke madrasah. Namun belum pernah mengalami kisah seperti Aisyah. Dicintai, dirindui siswa-siswanya. Anak-anak RA memiliki kedekatan emosional yang erat. Kadang ketika Aisyah masuk kantor MI, anak-anak masih mengejarnya. Beberapa anak memegangi bajunya. Bersembunyi dalam jilbabnya yang lebar. Bahkan Aisyah harus sering merapikan jilbab yang hampir terlepas. Anehnya guru RA ini tidak merasa bengah, marah atau risih. Digelayuti anak-anak RA. Sepertinya ia memang calon ibu yang baik.

“Assalamualaikum. Wah, ini Bu Aisyah ya,”sapa dokter ganteng sambil tersenyum lebar. “Ibu guru yang mampu membuat Arin mengigau sepanjang malam.”

Airin tersipu malu. Dokter tampan itu memberi isyarat pada Bunda Airin agar masuk ke ruangan dokter. Entah apa yang dibicarakan. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang konsultasi. Waktu telah menunjukkan pukul 12.00 tepat. Setelah Bunda Airin selesai diskusi dengan dokter jaga, Bu Aini dan Aisyah pamit. Agar Airin dapat beristirahat dengan cukup. Airin melepaskan genggaman Aisyah.

“Arin, kamu harus kuat. Besok sepulang dari Surabaya, Bu Aisyah akan memberi hadiah yang lebih indah. Kami akan pamit biar Arin bisa istirahat dengan nyaman, oke.”

Asiyah mencium pipi gadis cantik ini. Mengusap air mata dipipi Arin. Bu Aini memberikan amplop tali asih. Keduanya meninggalkan klinik dengan kesedihan yang mendalam. Semoga Arin mampu bertahan, bisa beranjak menjadi gadis remaja yang cantik dan lembut. Begitulah doa yang dilangitkan Aisyah

Bersambung

 

 

 

2 komentar: