Anak-anak kelas 4 bersuka cita menyambut kedatangan Pak
Jai. Begitu pula Asiyah, ia bisa lebih fokus membimbing anak-anak RA. Pak Jai
sangat dirindukan oleh anak-anak, sebab gaya mengajarnya penuh dengan canda. Meskipun demikian materi tetap disampaikan dengan baik. Dalam WhatsApp Group Beliau selalu menjawab
setiap pertanyaan anak dengan sabar. Apapun keluhan anak dan orang tua baik
tentang akademik maupun kegiatan lain selalu dijawab dengan baik.
Para guru merasa tidak tega, melihat Beliau
sangat kesulitan. Apalagi Beliau dalam proses adaptasi menggunakan kaki baru.
Dengan tertatih-tatih naik tangga menuju kelas 4, sesekali bernapas
terengah-engah. Gampang lelah, mungkin bawaan dari penyakitnya. Pak Yanu
memiliki inisiatif untuk memindahkan kelas 4 ke ruang bawah. Kebijakan ini
membuat Pak Jai lebih nyaman. Mereka melakukan interaksi pembelajaran dengan senang hati.
Pukul 10.40, Aisyah telah selesai merapikan
ruang kelas RA. Ia menuju tempat sepeda. Kala hendak melajukan sepedanya, Pak
Yanu menghentikannya. Beliau meminta Aisyah masuk ruang kelas 4. Beberapa guru
laki-laki mengantar Pak Jai ke Puskesmas Durenan. Pandangan mata Pak Jai kabur.
“Bu Aisyah, Pak Jai tadi ketika mau keluar kelas
menabrak pintu,”tutur Ikmal. “Benturan keras pak Jai jatuh.”
“ Masak sih,” tanya Aisyah tidak percaya.
“Iya, kakinya lepas,”kata Ikrima. “Pak Jai dibopong Pak Yanu dan Pak Syamsu.
“Anak-anak kita doakan Beliau segera sehat,
pulih seperti sediakala,”kata Aisyah. “Sekarang kita lanjutkan pembelajaran
hari ini, ya.”
“Baik, bu,”jawab anak-anak kelas 4.
Kelas 4 ini tergolong rajin. Mereka menyimak
pembelajaran dengan baik, tidak gaduh. Apalagi mereka baru saja melihat
kejadian yang menyedihkan. Guru yang dirindukan kondisinya tidak semakin
membaik. Setiap langkah pembelajaran dilaksanakan dengan runtut, hingga akhir
pembelajaran. Pada tahap ini Aisyah meminta peserta didik
untuk menuliskan/mengutarakan tentang pengalaman belajar yang baru saja di
dapatkan. Setelah itu mereka dibimbing membuatkan kesimpulan. Aisyah memberi
penguatan terhadap hasil kesimpulan siswa dan memberikan apresiasi atas partisipasi semua peserta didik. Ketua kelas memimpin doa
akhir majelis dan diakhiri salam.
Setelah kelas
lengang, Aisyah merapikan meja guru. Ia terkejut menemukan kunci motor.
Mungkinkah ini kuncinya Pak Jai. Niatnya mau ia bawa ke kantor untuk diserahkan
pada kepala madrasah. Bergegas ia berdiri, namun Pak Mumtaz baru masuk ke ruang kelas 4. Keduanya terpana,
saling tatap! Nampak canggung dan mematung. Pak Mumtaz mundur ke luar pintu. Ia
guru yang menerapkan tuntunan agama. Bukan muhrim tidak elok jika berdua di
ruangan. Apakah sikap Pak Mumtaz berlebihan? Ini zaman milenial. Bukankah semua
tergantung pada niatnya. Mereka kini berada di luar ruang kelas 4.
Aisyah mencoba
meredakan kecanggungan itu. Berinisiatif membuka percakapan.
“Maaf Pak. Ada
yang bisa dibantu?,”tanya Aisyah.
“Mencari kunci
motor Pak Jai, Bu,”jawabnya terbata-bata.
“Ini, Pak,”sela
Aisyah. “ Sebenarnya mau aku antar ke kantor,”
Aisyah
menyerahkan pada Pak Mumtaz. Betapa terkejut Aisyah ketika tangan Beliau
memberi isyarat meminta. Bukan mengambil dari tangan Aisyah. Paham dengan
isyarat itu Aisyah menjatuhkan kunci ke tangan Pak Mumtaz. Sikap yang tawadu,
sangat patuh pada norma agama. Mungkin pada zaman sekarang, sikapnya tergolong
langka. Hampir punah, malah. Aisyah justru menghargainya. Dalam hatinya tulus
berdoa. Semoga Allah mendatangkan jodoh perempuan yang salihah dan patuh
padanya.
Pak Mumtaz
berlalu, maka Aisyah segera menuju ke kantor. Untuk mengembalikan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ke meja Pak Sujai.
“Bu Aisyah,
monggo kita bincang-bincang sebentar. Terkait kondisi Pak Sujai,”kata Pak Yanu.
“Inggih, Pak,”jawab
Aisyah.
“Begini Bu
Aisyah,”tutur Pak Yanu. “Kadar gula Pak Jai ternyata masih tinggi. Menurut diagnosa
dokter yang bekerja di Puskesmas Durenan. Kondisi itu menyebabkan lensa
matanya membengkak dan menganggu kemampuan mata untuk melihat.”
“Nanti Bu
Aisyah, bisa minta penjelasan detailnya pada Pak Mumtaz,”seloroh Pak Syamsu
menyela pembicaraan.
Aisyah mencoba
melihat seklias ekspresi Pak Mumtaz. Ia nampak jengah, semakin menunduk membaca
buku.
“Artinya
panjenengan akan mengajar lagi di kelas 4, sampai kondisi Pak Jai membaik,”lanjut
Pak Yanu.
“Siap, Pak,”jawab
Aisyah.
“Apakah masih
dirawat di Puskesmas Durenan?,”tanya Bu Aini.
“Sudah di rujuk
ke Rumah Sakit Umum Tulungagung,”jawab Pak Yanu.
Suasana kantor
hening sejenak. Para guru termangu, menyiratkan kesedihan yang mendalam. Bagaimanapun
Pak Sujai guru senior sekaligus keluarga.
“Silahkan bapak
ibu pulang dan istirahat. Kita harus lebih fokus mempersiapkan anak-anak
menjelang kegiatan PTS.”
Setelah
mendengarkan penuturan Pak Yanu, para guru meninggalkan sekolah.
Aisyah segera
mengayuh sepeda menelusuri jalan desa. Setelah belok kiri, nampak Zam Zam
menunggunya di toko Pak Saudi. Aisyah pura-pura tidak melihatnya. Justru anak
itu yang mengekor Aisyah.
“Mbak, cie cie, “goda
Zam Zam. “Jangan berduaan yang ketiga adalah setan.”
Zam Zam
menirukan logat Ustadz Maulana. Melihat gaya kocak Zam Zam, sontak Aisyah
tertawa.
“Maksud anda apa
Ustadz Maulana?,”tanya Aisyah.
“Tidaklah
seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali pihak ketiganya adalah
setan,”ceramah Zam Zam. “ini hadis sahih, diriwayatkan Tirmidzi. Namun jika
memang sudah sehati, silahkan menikah. Alhamduu … lillah, hem hem.”
Anak ini membuat
Aisyah terpingkal-pingkal. Bukan karena membenarkan dirinya telah berduaan
dengan Pak Mumtaz. Tapi gaya dan suara mirip dengan suara Ustadz Maulana
yang membuat Aisyah sulit menahan tawa.
“Mbak Aisy
senang, nih!,”tutur Zam Zam.
“Bukan karena
itu. Cuma kamu mirip Gilang Dirga memiliki kemampuan impersonate,”kilah Aisyah.
“Jangan
mengalihkan pembicaraan,“ sanggah Zam Zam. Sambil menggerak-gerakkan jari
telunjuk kiri, benar-benar gaya Ustadz Maulana. Tangan kanannya tetap memegang setir sepeda.
“Kamu tadi
ngintip, Zam,”kata Asiyah mulai meninggi.
“Nggak, Allah
menunjukkan kebenaran pada hambanya yang salih,”jawabnya, terkekeh pula.
“Zam Zam, mbak
serius, nih!,” teriak Aisyah.
“Tadi pagi ibuk
pesan, minta agar ngajak Mbak mampir ke rumah,” sanggahnya. “Tak tunggu di belokan nggak
muncul-muncul. Tak samperin, eh
pacaran.”
Zam Zam melirik
nakal. Aduh, anak ini mesti salah paham. Aisyah kewalahan, harus dari mana
memulai menjelaskannya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar