Jumat, 17 September 2021

Kehilangan Penglihatan

 



Anak-anak  kelas 4 bersuka cita menyambut kedatangan Pak Jai. Begitu pula Asiyah, ia bisa lebih fokus membimbing anak-anak RA. Pak Jai sangat dirindukan oleh anak-anak, sebab gaya mengajarnya penuh dengan canda. Meskipun demikian materi tetap disampaikan dengan baik. Dalam WhatsApp Group Beliau selalu menjawab setiap pertanyaan anak dengan sabar. Apapun keluhan anak dan orang tua baik tentang akademik maupun kegiatan lain selalu dijawab dengan baik.

Para guru merasa tidak tega, melihat Beliau sangat kesulitan. Apalagi Beliau dalam proses adaptasi menggunakan kaki baru. Dengan tertatih-tatih naik tangga menuju kelas 4, sesekali bernapas terengah-engah. Gampang lelah, mungkin bawaan dari penyakitnya. Pak Yanu memiliki inisiatif untuk memindahkan kelas 4 ke ruang bawah. Kebijakan ini membuat Pak Jai lebih nyaman. Mereka melakukan interaksi pembelajaran dengan senang hati.

Pukul 10.40, Aisyah telah selesai merapikan ruang kelas RA. Ia menuju tempat sepeda. Kala hendak melajukan sepedanya, Pak Yanu menghentikannya. Beliau meminta Aisyah masuk ruang kelas 4. Beberapa guru laki-laki mengantar Pak Jai ke Puskesmas Durenan. Pandangan mata Pak Jai kabur.

“Bu Aisyah, Pak Jai tadi ketika mau keluar kelas menabrak pintu,”tutur Ikmal. “Benturan keras pak Jai jatuh.”

“ Masak sih,” tanya Aisyah tidak percaya.

“Iya, kakinya lepas,”kata Ikrima. “Pak Jai dibopong Pak Yanu dan Pak Syamsu.

“Anak-anak kita doakan Beliau segera sehat, pulih seperti sediakala,”kata Aisyah. “Sekarang kita lanjutkan pembelajaran hari ini, ya.”

“Baik, bu,”jawab anak-anak kelas 4.

Kelas 4 ini tergolong rajin. Mereka menyimak pembelajaran dengan baik, tidak gaduh. Apalagi mereka baru saja melihat kejadian yang menyedihkan. Guru yang dirindukan kondisinya tidak semakin membaik. Setiap langkah pembelajaran dilaksanakan dengan runtut, hingga akhir pembelajaran. Pada tahap ini Aisyah meminta peserta didik untuk menuliskan/mengutarakan tentang pengalaman belajar yang baru saja di dapatkan. Setelah itu mereka dibimbing membuatkan kesimpulan. Aisyah memberi penguatan terhadap hasil kesimpulan siswa dan memberikan apresiasi  atas partisipasi  semua peserta didik. Ketua kelas memimpin doa akhir majelis dan diakhiri salam.

Setelah kelas lengang, Aisyah merapikan meja guru. Ia terkejut menemukan kunci motor. Mungkinkah ini kuncinya Pak Jai. Niatnya mau ia bawa ke kantor untuk diserahkan pada kepala madrasah. Bergegas ia berdiri, namun Pak Mumtaz  baru masuk ke ruang kelas 4. Keduanya terpana, saling tatap! Nampak canggung dan mematung. Pak Mumtaz mundur ke luar pintu. Ia guru yang menerapkan tuntunan agama. Bukan muhrim tidak elok jika berdua di ruangan. Apakah sikap Pak Mumtaz berlebihan? Ini zaman milenial. Bukankah semua tergantung pada niatnya. Mereka kini berada di luar ruang kelas 4.

Aisyah mencoba meredakan kecanggungan itu. Berinisiatif membuka percakapan.

“Maaf Pak. Ada yang bisa dibantu?,”tanya Aisyah.

“Mencari kunci motor Pak Jai, Bu,”jawabnya terbata-bata.

“Ini, Pak,”sela Aisyah. “ Sebenarnya mau aku antar ke kantor,”

Aisyah menyerahkan pada Pak Mumtaz. Betapa terkejut Aisyah ketika tangan Beliau memberi isyarat meminta. Bukan mengambil dari tangan Aisyah. Paham dengan isyarat itu Aisyah menjatuhkan kunci ke tangan Pak Mumtaz. Sikap yang tawadu, sangat patuh pada norma agama. Mungkin pada zaman sekarang, sikapnya tergolong langka. Hampir punah, malah. Aisyah justru menghargainya. Dalam hatinya tulus berdoa. Semoga Allah mendatangkan jodoh perempuan yang salihah dan patuh padanya.

Pak Mumtaz berlalu, maka Aisyah segera menuju ke kantor. Untuk mengembalikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ke meja Pak Sujai.

“Bu Aisyah, monggo kita bincang-bincang sebentar. Terkait kondisi Pak Sujai,”kata Pak Yanu.

“Inggih, Pak,”jawab Aisyah.

“Begini Bu Aisyah,”tutur Pak Yanu. “Kadar gula Pak Jai ternyata masih tinggi. Menurut diagnosa dokter yang bekerja di Puskesmas Durenan. Kondisi itu menyebabkan lensa matanya membengkak dan menganggu kemampuan mata untuk melihat.”

“Nanti Bu Aisyah, bisa minta penjelasan detailnya pada Pak Mumtaz,”seloroh Pak Syamsu menyela pembicaraan.

Aisyah mencoba melihat seklias ekspresi Pak Mumtaz. Ia nampak jengah, semakin menunduk membaca buku.

“Artinya panjenengan akan mengajar lagi di kelas 4, sampai kondisi Pak Jai membaik,”lanjut Pak Yanu.

“Siap, Pak,”jawab Aisyah.

“Apakah masih dirawat di Puskesmas Durenan?,”tanya Bu Aini.

“Sudah di rujuk ke Rumah Sakit Umum Tulungagung,”jawab Pak Yanu.

Suasana kantor hening sejenak. Para guru termangu, menyiratkan kesedihan yang mendalam. Bagaimanapun Pak Sujai guru senior sekaligus keluarga.

“Silahkan bapak ibu pulang dan istirahat. Kita harus lebih fokus mempersiapkan anak-anak menjelang kegiatan PTS.”

Setelah mendengarkan penuturan Pak Yanu, para guru meninggalkan sekolah.

Aisyah segera mengayuh sepeda menelusuri jalan desa. Setelah belok kiri, nampak Zam Zam menunggunya di toko Pak Saudi. Aisyah pura-pura tidak melihatnya. Justru anak itu yang mengekor Aisyah.

“Mbak, cie cie, “goda Zam Zam. “Jangan berduaan yang ketiga adalah setan.”

Zam Zam menirukan logat Ustadz Maulana. Melihat gaya kocak Zam Zam, sontak Aisyah tertawa.

“Maksud anda apa Ustadz Maulana?,”tanya Aisyah.

“Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali pihak ketiganya adalah setan,”ceramah Zam Zam. “ini hadis sahih, diriwayatkan Tirmidzi. Namun jika memang sudah sehati, silahkan menikah. Alhamduu … lillah, hem hem.”

Anak ini membuat Aisyah terpingkal-pingkal. Bukan karena membenarkan dirinya telah berduaan dengan Pak Mumtaz. Tapi gaya dan suara mirip dengan suara Ustadz Maulana yang membuat Aisyah sulit menahan tawa.

“Mbak Aisy senang, nih!,”tutur Zam Zam.

“Bukan karena itu. Cuma kamu mirip Gilang Dirga memiliki kemampuan impersonate,”kilah Aisyah.

“Jangan mengalihkan pembicaraan,“ sanggah Zam Zam. Sambil menggerak-gerakkan jari telunjuk kiri, benar-benar gaya Ustadz Maulana. Tangan kanannya tetap memegang setir sepeda.

“Kamu tadi ngintip, Zam,”kata Asiyah mulai meninggi.

“Nggak, Allah menunjukkan kebenaran pada hambanya yang salih,”jawabnya, terkekeh pula.

“Zam Zam, mbak serius, nih!,” teriak Aisyah.

“Tadi pagi ibuk pesan, minta agar ngajak Mbak mampir ke rumah,” sanggahnya. “Tak tunggu di belokan nggak muncul-muncul. Tak samperin, eh pacaran.”

Zam Zam melirik nakal. Aduh, anak ini mesti salah paham. Aisyah kewalahan, harus dari mana memulai menjelaskannya.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar