Hari ini Pak Mumtaz telah masuk sekolah,
mengajar siswa kelas VI. Zam Zam anak cerdas, ia sudah tidak julit lagi. Paham
dengan kondisi Pak Mumtaz yang mengalami dilema hidup. Antara cinta, keyakinan
dan harapan orang tuanya. Terlihat Zam Zam menjaga jarak. Aisyah bersikap
sebaliknya dengan Zam Zam. Sikapnya tetap, biasa. Sepertinya ia tak pernah
mendengar informasi apapun tentang Pak Mumtaz dan perjalanan cintanya yang rumit. Aisyah tetap bersikap hormat, agar Pak Mumtaz
tidak canggung. Pak Restu salut dengan sikap Aisyah. Para guru juga tidak
meledek Aisyah lagi. Sebenarnya Pak Mumtaz sedikit curiga dengan perubahan sikap
teman sejawatnya. Namun tetap positif thinking, mungkin karena ia baru sakit.
Sungkan menggodanya. Menjadikan bahan candaan.
Aisyah membawa diary-nya. Untuk mengungkapkan
isi hatinya agar plong tidak membebani hatinya. Gejolak, amarah, luka hatinya
ia tuliskan di bukunya. Itupun ketika menulis akan memilih waktu yang tepat.
Di tulisnya dalam buku harian itu. Sebuah kalimat yang cukup puitis. Mewakili
relung hatinya. Yang datang dengan niat
seriuspun belum tentu menjadi takdirku. Apalagi yang datang hanya membawa
harapan. Maka pastikan aku tidak salah waktu dan tempat ketika menaruh hatiku. Nasihat
Aisyah pada dirinya sendiri. Ia memasukkan buku harian dalam tas. Bergegas
pulang, mengayuh sepedanya.
Untuk menata hatinya, ia mencoba jalan lain. Mencari ketenangan. Sengaja menghindari Zam Zam. Untuk kali ini ia merasa tak ingin diganggu bocah kesayangannya itu. Entahlah. Meskipun semakin jauh jarak antara ia dan Pak Mumtaz. Dengan mengetahui Beliau sudah punya calon istri. Ah, kok tiba-tiba merasa baper. Kecewa … ah tidaklah. Ia selalu mengendalikan jangan sampai jatuh pada jurang sama. Minimal untuk tahun-tahun ini. Hai, hati! Jagalah rasa ini! Teriaknya mengumpat hatinya yang naik turun. Gamang banget. Aisyah bergelut dengan suara-suara hatinya. Akhirnya memohon kepada Allah untuk ditenangkan hatinya. Hatinya mencoba tegar, namun tubuhnya benar-benar tepar.
Sejatinya, Aisyah merasakan lebih tersayat
sembilu. Ketika Subkhi menyatakan ingin menikahi calon istri Hamdan. Kala itu,
ia merasakan kegetiran hidup yang membuncah. Sempat pingsan dan depresi. Ah…
lagi-lagi kenangan getir itu muncul dan muncul lagi. Astaghfirullah, Aisyah
menekan dadanya yang nyeri. Ia mengayuh sepedanya kencang. Sesekali mengusap
wajahnya. Bukankah, sudah merasa move on. Rasa ngilu di hati, akan merebak
kepermukaan jika tersentuh kerikil kehidupan sekecil itu. Sedih menyeruak kembali. Ya Allah,
ampunilah dosaku! Teriak Aisyah dalam hati. Jangan jadikan aku orang yang ingkar
pada takdir-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar