Minggu, 12 September 2021

CERIS PART II. Sepucuk Surat

 


Aisyah bergegas meninggal rumah. Setelah sarapan nasi goreng jawa, nasi kemarin yang dibumbui cabe, bawang merah, bawang putih dan di tambah telur ceplok. Ia kayuh sepedanya, sesekali terdengar bunyi derit. Maklum sepeda tua. Sampai di MI Ar Rahmah segera disandarkan sepedanya. Masih nampak lengang. Ketika hendak membalik badan, betapa terkejutnya…di depannya berdiri Pak Mumtaz. Menyodorkan surat kepadanya.

“Assalamuaikum, ada surat untuk Bu Aisyah, “katanya datar.

Baru kali ini Aisyah dalam posisi dekat dengan Pak Mumtaz. Keduanya nampak kikuk, sangat kaku. Keduanya berpandangan sebentar, dan segera membuang pandangan.

“Waalaikum salam, terimakasih Pak,” balasnya dengan tergagap. Aisyah menerima surat dengan tenang dan hormat.

“ Bu Aisyah! Assalamualaikum, “ sapa Zam Zam Arafat dari kejauhan mengagetkan keduanya.

Pak Mumtaz berlalu meninggalkan Bu Aisyah. Nampak Zam Zam masuk gerbang sekolah salim dengan Bu Aisyah. Wajah Zam Zam tersenyum penuh selidik. Zam Zam siswa kelas 6, ia murid les privat Aisyah. Beberapa menit kemudian Bu Aini juga memarkirkan motornya sambil tersenyum ramah.

“Assalamualaikum Bu. Pagi-pagi begini sudah dapat surat cinta, “sapanya menggoda Aisyah.

“Waalaikum salam. Maaf  Bu, saya segera ke RA belum menyapu halaman,” pamit Aisyah meninggalkan tempat parkir.

Aisyah menyapu halaman RA sambil menunggu kedatangan anak-anak. Terkadang ia meletakkan sapunya, menyambut anak-anak yang baru turun dari motor orang tuanya. Aisyah sigap untuk menggendong siswa yang menangis. Anak kecil yang enggan ditinggal ibunya. Digendongnya Damla yang menangis sesenggukan. Ibunya segera meninggalkan halaman RA.

“Tumben Damla menangis, biasanya ceria, cantik, imut,” kata Aisyah merayu Damla.

“Damla mau ikut Bunda ke pasar,” Damla merengek, menggerak-gerakkan tubuhnya. Hampir jatuh dari gendongan Aisyah, untung ia waspada mempererat rengkuhannya.

“Okey, Bu Aisy, juga mau ke pasar. Nanti kita ke pasar berdua ya. Tapi kita masuk kelas dulu. Menunggu Bu Rahma datang,”bujuk Aisyah sambil menghapus air mata Damla. “Ntar kalau kita tinggal ke pasar, kasihan teman-teman Damla. Tidak ada yang mengasuh”

Nanti kalau sudah berbaur dengan temannya, ia akan lupa dengan keinginannya  pergi ke pasar. Diturunkan Damla dari gendongannya. Dituntun masuk kelas sambil memberi aba-aba pada siswanya untuk berbaris. Pembiasaan disiplin masuk kelas. Galang memimpin teman-temannya berbaris, mereka rapi masuk kelas dan salim pada Bu Aisyah.

Hari ini Ibu Kepala RA agak terlambat karena harus mengambil buku siswa di sekolah ketua Ikatan Guru Roudhotul Athfal (AGRA). Seperti biasanya pembelajaran dimulai dengan adab berdoa memulai pelajaran. Menghafal Juz amma, hadits, dan doa-doa sehari-hari. Aisyah terkejut, mendengar suara tangisan dari bangku belakang. Yasmin berebut bunga dengan Aurelia. Aurel menangis ingin mengambil kembali bunganya. Yasmin membawa lari bunganya ke depan kelas. Aurel digendongnya dipangku sambil duduk dikursi guru.

“Yasmin, benar atau tidak mengambil milik orang lain?,”tanya Aisyah. “Mohon kembalikan bunga Aurel.”

Yasmin segera menghentikan langkahnya yang hendak berlari menuju bangkunya.

“Maaf Bu Guru,” jawab Yasmin. Dengan enggan mengembalikan bunga Aurel.

“Terimakasih. Yasmin, kamu memang anak yang baik dan cerdas,“balas Aisyah sambil tersenyum. “Segera minta maaf pada Aurel, dan melafalkan istighfar tiga kali. 

Yasmin segera melaksanakan perintah Aisyah. Meminta maaf pada Aurel yang telah turun dari pangkuan Aisyah. Dengan lantang Yasmin mengucapkan lafadz istighfar sebagai tanda memohon ampun atas kesalahan yang ia lakukan. Itulah pembiasaan anak-anak di RA ini.

“Anak-anak! Yang sholeh sholehah coba lihat bunga yang dibawa Aurel. Bunga apa namanya?,”tanya Aisyah.

“Melati, Bu,”jawab mereka serempak.

“Warnanya apa,” Tanya Aisyah

“Putih Bu, “jawab anak-anak

Suasana hati Aurel mulai membaik, ia menggenggam bunganya dengan erat sambil tersenyum. Ia suka bunga miliknya menjadi topik pembicaraan.

“Selain putih, apa saja warna bunga?,”Tanya Aisyah.

Ada yang menjawab merah, kuning, hijau, oranye, pink, dan lain-lain. Ditengah kemeriahan mereka menjawab. Kelas menjadi senyap, mereka terkesiap. Setelah Ganjar melontar jawaban, yang menurut teman-temannya agak menyimpang dari kenyataan. Warna bunga yang pernah mereka lihat.

“Hijau, Bu Guru,”jawab Ganjar. Ganjar adalah kembaran Galih. Bapaknya seorang anggota kepolisian yang dinas di Polda Surabaya. Keduanya tinggal di Trenggalek bersama ibunya.

“Bunga kok hijau,” kata Aurel. Ia sudah mulai mau bergabung dengan teman-temannya. Aurel pencinta bunga. Ia hafal warna-warna bunga.

“Ganjar, adakah bunga berwarna hijau?,”tanya Aisyah.

“Ada Bu Guru! Bunga di baju Bu Aisy,” jawab Ganjar lugu.

“Iya, betul. Bunga dibaju Bu Guru berwarna hijau,” sorak beberapa siswa.

“Oh, ya!,” jawab Aisyah sambil melihat bajunya yang memang bergambar bung- bunga hijau. Aisyah tergelak melihat kelucuan dan keluguan mereka.

Setelah anak-anak RA selesai istirahat pembelajaran dibimbing Bu Rahma. Aisyah mempersiapkan diri untuk melaksanakan pembelajaran di MI. Aisyah membaca RPP milik Pak Sujai, RPP tematik integratif. Setelah memahami langkah-langkah pembelajaran hari ini, Aisyah segera menuju ruang kantor MI. Ia meletakkan tasnya, dibangku guru milik Pak Sujai. Beberapa guru yang sedang free class menyapa ramah Aisyah. Para guru di MI sangat mengutamakan sikap kekeluargaan dan keramahan. Meskipun terkadang mereka julit suka menggodanya. Begitulah nasib jomblo akut. Aisyah tersenyum dalam hati, memahami ulah bapak ibu guru MI. Candaan mereka hanya untuk memeriahkan suasana.

“ Bu Aisy. Selamat ya, dapat surat dari Pak Mumtaz,” kata Bu Aini.

“Diterima Bu Aisy. Kalian cocok lho. Sama-sama semampai,” Bu Nanda menimpali.

Sanes kok Bu, itu tadi, surat izin dari orang tua Airin. Sekaligus permintaan orang tua Airin agar saya menjenguk Airin,”Asyiyah mencoba menjelaskan. ” Karena tadi yang datang awal Pak Mumtaz maka dititipkan Beliau.”

Para ibu guru nampak mulai serius, wajah mereka menunjukkan empati terhadap kondisi Airin. Karena bagi kami semua siswa di madrasah ini, adalah anak. Sehingga jika ada yang sakit seperti Arin (panggilan sayang untuk Airin) maka semua ikut bersedih.

“Sakit apa Arin Bu?,” Bu Aini bersimpati.

“Belum tahu Bu, posisinya sekarang opname di Klinik Anisa Panggungsari,”jawab Aisyah. “Ini Bu saya titipkan suratnya pada panjenengan mohon dikasihkan Bu Rahma. Karena tadi belum sempat saya sampaikan pada Beliau. Setelah dapat ijin, saya segera ke klinik.”

Aisyah keluar kantor, menuju lantai 2 madrasah. Di tangga madrasah berpapasan dengan Pak Mumtaz. Aisyah mengangguk sebagai isyarat untuk menyapa dan menghormatinya. Pak Mumtazpun mengangguk kaku. Aisyah lulusan perguruan tinggi agama, jadi etika keguruannya sangat melekat kental pada dirinya. Ia juga sangat memahami kompetensi sosial sebagai guru. Meskipun ia hanya Guru Tetap Yayasan (GTY) kompetensi sosial tetap harus diterapkan. Terutama sikap bergaul dengan teman sejawat. Maka, ketika ia sering dijodohkan dengan Pak Mumtaz, Aisyah berusaha untuk membawa diri dengan santun. Tidak ada niatan untuk menggoda Pak Mumtaz, meskipun hanya dengan isyarat ataupun bahasa tubuh.

Sejatinya tidak ada yang kurang dari Pak Mumtaz, Belaiau ASN muda yang sholeh dan rajin. Guru teladan, sering datang paling pagi, memantau anak yang piket pagi. Namun Aisyah cukup tahu diri, ia dilahirkan dari keluarga tidak mampu. Kuliahpun karena program bidik misi. Saudaranya banyak, orang tuanya pedagang kecil. Ia satu-satunya anggota keluarga yang mampu menempuh jenjang perguruan tinggi.

“Ah, mengapa aku menggantang asap tentang Pak Mumtaz,”jeritnya dalam hati. Ia segera menepis bayangan itu.

Segera masuk kelas 4 menyiapkan buku tematik dan mengucapkan salam. Ketika Aisyah sudah di depan kelas ia mencoba untuk membersihkan khayalannya, menghilang semua problema. Sehingga dapat mengajar dengan baik. Ketika sedang membimbing salah satu siswa yang kesulitan menentukan simpulan sebuah teks. Terdengar ucapan salam dari depan pintu kelas 4. Terlihat Zam Zam sedang berdiri di dekat pintu.

“Waalaikum salam,” jawab semua siswa kelas 4.

“Zam Zam silahkan masuk,” sapa Aisyah.

Dalam hati Aisyah memuji anak ini. Meskipun agak njulit  Zam Zam pandai membawa diri. Ia bersikap sopan saat masuk di kelas 4. Beda ketika ia mendampingi Zam Zam les privat. Mending mau berbicara pakai basa krama alus dengan Aisyah. Biasanya Zam Zam memakai basa ngoko lugu, kalau toh menggunakan ngoko alus. Itupun ketika suasana hatinya baik atau ditegur Bundanya.

“Ada keperluan apa Zam Zam?,” tanya Aisyah

“Ibu dipanggil Pak Yanu, sekarang,” jawab Zam Zam Arafat.

Setelah selesai membimbing Azmi yang kesulitan menentukan simpulan bacaan dan berpesan kepada anak-anak agar tidak gaduh. Aisyah segera turun ke ruang kantor. Para guru di kantor sedang membicarakan kondisi Airin. Semua guru menatap Aisyah. Hanya Pak Mumtaz yang terlihat sibuk membaca buku teks.

“Bu Aisyah, panjenengan ditunggu Airin di klinik Anisa. Kondisinya sangat lemah,” pak Yanu mengawali pembicaraan.

Kodisi kantor sangat hening.

“Airin, semoga cepat sembuh, Nak,”gumam Aisyah dalam hati.

“Arin menderita jantung lemah,” tandas Pak Yanu

Seketika bak petir menyambar Aisyah. Ia mendongak seakan kurang yakin dengan apa ia dengar. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Besok ia akan di rujuk ke Surabaya. Ia ingin Bu Aisyah menjenguknya. Hari ini juga!,” perintah Pak Yanu.

Bu Rahma hari ini akan membersamai saya ke KKG MI untuk rapat persiapan pelaksanaan Diseminasi hasil diklat dari balai diklat Surabaya.

“Sebaiknya Bu Aisyah diantar Pak Mumtaz, heheh,”seloroh Pak Syamsu.

Seisi kantor yang semula senyap, penuh haru. Pecah oleh candaan Pak Syamsu yang mampu mencairkan suasana.

“Masak sejauh itu Bu Aisyah mau naik sepedah pancal,” Bu Aini menimpalinya

Bersambung

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar