Hari yang cerah. Aisyah bercermin merapikan
jilbab. Memakai jilbab segi empat senada dengan warna baju yang ia
kenakan. Mematut diri, tanpa mengoles lipstik pada bibirnya. Hanya bedak bayi
ditepuk-tepuk dan diratakan pada wajahnya. "Tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu", gumam Aisyah mengingat makna surat Al Ahzab ayat 33. Aisyah fokus pada 9 kata terakhir makna surat tersebut.
" Mak, aku
berangkat."
“Iya, Sah. Hati hati.”
Aisyah mencium tangan
emaknya. Ridho ibu adalah ridho Illahi. Segera mengayuh sepeda. Netranya nanar
melihat sekeliling, mencari Zam Zam. Entah kemana anak itu. Biasanya, pada hari Selasa Zam Zam berangkat
bersama Aisyah. Aisyah mempercepat laju sepedanya, mungkin bisa segera menyusul
Zam Zam. Mungkin anak itu telah sampai di madrasah. Bersamanya merasa dunia penuh warna, penuh candaan, debat, kadang suka saling mengolok. Meskipun hanya sekedar kelakar semata.
Aisyah menyandarkan
sepedanya. Ia terkejut, seperti ada yang memanggilnya. Diputarnya kepala untuk
mencari arah suara. Oh, ternyata dari lantai atas. Azam, memanggilnya. Ia
sedang menyapu teras lantai dua bersama
Izza dan Azmi.
“Bu Aisyah!,”panggil
mereka.
Aisyah melambaikan
tangan. Terdengar Zam Zam kembali berteriak.
“Bu Aisyah! Ke atas
dong!,” permintaan Zam Zam
Aisyah segera
menurunkan lambaian tangannya. Karena terlihat Pak Mumtaz baru keluar dari ruang kelas
6. Karena itu Aisyah tidak menghiraukan permintaan bocah bandel itu. Hanya
membalas dengan senyuman saja. Terdengar mereka tertawa riang. Izza dan Azmi
melongok sambil memegang pagar besi lantai atas. Memandang Aisyah yang keluarga
gerbang MI. Ia mengabaikannya hanya mengerling sejenak. Dasar anak puber, gumamnya.
Begitulah anak-anak
kelas 4, 5 dan 6. Mereka mulai memasuki masa pubertas. Sehingga mereka peka
dengan lawan jenis. Mengamati hal-hal yang menurutnya pantas dikategorikan
percintaan. Dirinya dan Pak Mumtaz yang masih berstatus jomblo dijadikan
trending topik imajinasi mereka. Kedewasaan mereka dikarbit dengan tontonan di media elektronik. Belum selesai Aisyah
bergumam dalam hati, dikejutkan langkah kaki Zam Zam. Masuk halaman RA.
“Bu Aisyah, tadi aku
berangkat awal,” jelasnya.
“Piket Zam?,” tanya
Asiyah
“Nggak, di WA Pak Mum
agar berangkat pagi, “lanjut Zam Zam. “Membersihkan kelas, nanti ada Pak Pengawas
masuk kelas 6, melihat pembelajaran di kelas 6.”
“Hemm, gitu ya, “
jawab Aisyah sekenanya.
“Mbak tadi Pak Mum
menjatuhkan tong sampah lho,”bisik Zam Zam. Takut didengar anak-anak RA.
“Itu terlalu banyak
isinya, Zam,”sergah Aisyah
“Emang isinya satu
kuintal, apa?,”sangkalnya sewot.
“Bisa juga karena
teriakanmu yang cetar, Zam. Pak Mumtaz kaget. Atau disebabkan tong sampahnya licin,
kan terbuat dari plastik.
Nggak, lah,”bantah
Zam Zam. “karena grogi dengan lambaian Bu Aisyah.
“Kamu, Zam! Suka
menghayal, deh,”kata Aisyah sambil memencet hidung bocah itu. “Makanya tadi, terdengar
kamu dan teman-teman tertawa ngakak.”
Aisyah mengaitkan
kejadian beberapa jam yang lalu.
“Aku, Izza, dan Azmi,
sependapat,” kilahnya
“Memang tadi kamu
rapat, Zam,”godanya. “ Membahas tong sampah yang jatuh? Zam, Zam! Mending kamu
belajar. Sebentar lagi PTS, lho,” nasehat Aisyah.
Bocah itu
bersungut-sungut dan berlalu menuju gedung MI. Lonceng berbunyi, semua siswa
masuk kelasnya masing-masing. Begitu pula anak RA. Setelah berbaris rapi, masuk
kelas satu persatu dengan tertib. Hari ini, Bu Rahma dan Aisyah akan mengajak
anak-anak belajar di luar ruangan. Melatih kemampuan motorik kasar anak-anak
RA. Mereka akan berlatih gerakan melempar, menangkap dan menendang bola.
“Bu Aisyah, aku
berharap perkembangan motorik anak-anak ini bisa dioptimalkan,” tutur Bu Rahma. “Jangan
sampai kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan fisik tidak berkembang dengan
baik.”
“Adakah pengaruhnya
terhadap psikis mereka, Bu Rahma,”tanya Aisyah ingin tahu.
“ Ada, berdasarkan
pengamatanku, salah satu dampak jika kemampuan motorik kasar tidak dikembangkan
sejak dini. Maka akan mempengaruhi rasa percaya diri mereka,” kata Bu Rahma.
“Berarti pendidik di jenjang taman kanak-kanak baik itu RA dan BA harus mampu membantu mereka mengembangkan kemampuan motorik kasar, ya Bu,” tanya Aisyah.
Karena selama ini, mayoritas pendidik lebih mengoptimalkan kemampuan motorik halus saja.
“Betul, Bu Aisyah.
Tugas kita sebagai pendidik RA, mengawali mengembangkan kemampuan motorik kasar. Jika kemampuan ini dikembangkan, maka
besar peluang mereka untuk tumbuh optimal dan percaya diri.”
Anak-anak diajak ke
lapangan MI. Mereka berlatih melempar bola melebihi 3,5 m. Setelah itu mereka berlari dan langsung menendang
bola. Mereka juga dilatih menangkap bola pada tangan dengan siku menekuk.
Anak-anak sangat menikmati permainan tersebut. Wajah mereka cerah, secerah
mentari yang mulai menanjak. Bu Rahma berencana, lain waktu akan mengembangkan kemampuan motorik kasar yang lain seperti berjalan pada titian, berguling dan lain-lain.
Setelah anak-anak RA
pulang. Aisyah dan Bu Rahma menuju kantor MI. Para guru hendak menjenguk Pak
Sujai. Beliau wali kelas 4 yang baru pulang berobat dari kota Solo. Beberapa
bulan yang lalu kaki Pak Sujai diamputasi sebatas pertengahan betis. Beliau
mengidap diabetes mellitus. Menurut
penuturan Pak Yanu, penyakit kencing manis Pak Jai sudah kronis. Sehingga
mempersempit pembuluh arteri, akibatnya mengurangi aliran darah ke kaki Pak Jai.
Dengan kurangnya darah yang akan memberi nutrisi pada jaringan kaki, maka luka
kakinya sulit disembuhkan. Semula hanya luka kecil di bawah kaki, hingga akhirnya
menjadi luka besar yang parah dan infeksi. Itulah yang dialami Pak Jai sehingga tugasnya digantikan Aisyah.
Dengan mengendarai
sepeda motor para guru menuju rumah Pak Jai. Beliau nampak tawakal. Senyum
mengembang menunjukkan kaki barunya. Kaki palsu yang sangat dibutuhkan setelah
lukanya mengering. Agar dapat mengajar di MI kembali. Karena masa pensiunnya
masih lama. Di depan para guru, Pak Jai menunjukkan kemampuan menggunakan kaki
barunya. Semua guru merasa lega. Bisa berkumpul kembali dengan Pak Jai.
“Bu Aisyah, dua atau
tiga hari lagi, aku masuk sekolah.”
“Alhamdulillah, Pak
Jai,” jawab Aisyah sambil tersenyum.
“ Aku akan memberi
hadiah khusus untuk panjenengan,”
kelakar Pak Jai
“Wah, apa Pak?,” para
guru bertanya kompak. Kecuali Pak Mumtaz yang hanya tersenyum datar.
“Hadiahnya … mengajak
Pak Mumtaz ke rumah panjenengan untuk melamar, hhh!”
Itulah Pak Jai yang
gemar bercanda. Sontak membuat Aisyah dan Pak Mumtaz tersipu malu. Meskipun mereka
sadar hal itu cuma candaan Pak Jai. Aisyah tetap berpegang pada petuah bijak Ali bin Abi Thalib: jangan terlalu dikejar, jika memang jalannya pasti Allah memperlancar karena yang menjadi takdirmu akan mencari jalannya untuk menemukanmu.
“Kapan, Pak?,” tambah
Bu Aina. Kedua orang ini memang gemar bercanda.
Aisyah mengingat kembali sebuah petuah bijak: ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, Yusuf menjauhinya. Tapi saat Zulaikha mengejar cinta Allah, maka Allah datangkan Yusuf untuknya.
“Secepatnya, Bu Aina,”jawab Pak Jai.
Karena waktu sudah
menunjukkan pukul 13.00, para guru segera pamit. Agar Pak Jai segera bisa
beristirahat.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar