Kamis, 16 September 2021

Kaki Baru Pak Jai

 




 Hari yang cerah. Aisyah bercermin merapikan jilbab. Memakai jilbab segi empat senada dengan warna baju yang ia kenakan. Mematut diri, tanpa mengoles lipstik pada bibirnya. Hanya bedak bayi ditepuk-tepuk dan diratakan pada wajahnya. "Tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu", gumam Aisyah mengingat makna surat Al Ahzab ayat 33. Aisyah fokus pada 9 kata terakhir makna surat tersebut.

" Mak, aku berangkat."

“Iya, Sah. Hati hati.”

Aisyah mencium tangan emaknya. Ridho ibu adalah ridho Illahi. Segera mengayuh sepeda. Netranya nanar melihat sekeliling, mencari Zam Zam. Entah kemana anak itu.  Biasanya, pada hari Selasa Zam Zam berangkat bersama Aisyah. Aisyah mempercepat laju sepedanya, mungkin bisa segera menyusul Zam Zam. Mungkin anak itu telah sampai di madrasah. Bersamanya merasa dunia penuh warna, penuh candaan, debat, kadang suka saling mengolok. Meskipun hanya sekedar kelakar semata.

Aisyah menyandarkan sepedanya. Ia terkejut, seperti ada yang memanggilnya. Diputarnya kepala untuk mencari arah suara. Oh, ternyata dari lantai atas. Azam, memanggilnya. Ia sedang menyapu teras lantai  dua bersama Izza dan Azmi.

“Bu Aisyah!,”panggil mereka.

Aisyah melambaikan tangan. Terdengar Zam Zam kembali berteriak.

“Bu Aisyah! Ke atas dong!,” permintaan Zam Zam

Aisyah segera menurunkan lambaian tangannya. Karena terlihat Pak Mumtaz baru keluar dari ruang kelas 6. Karena itu Aisyah tidak menghiraukan permintaan bocah bandel itu. Hanya membalas dengan senyuman saja. Terdengar mereka tertawa riang. Izza dan Azmi melongok sambil memegang pagar besi lantai atas. Memandang Aisyah yang keluarga gerbang MI. Ia mengabaikannya hanya mengerling sejenak. Dasar anak puber, gumamnya.

Begitulah anak-anak kelas 4, 5 dan 6. Mereka mulai memasuki masa pubertas. Sehingga mereka peka dengan lawan jenis. Mengamati hal-hal yang menurutnya pantas dikategorikan percintaan. Dirinya dan Pak Mumtaz yang masih berstatus jomblo dijadikan trending topik imajinasi mereka. Kedewasaan mereka dikarbit dengan tontonan di media elektronik. Belum selesai Aisyah bergumam dalam hati, dikejutkan langkah kaki Zam Zam. Masuk halaman RA.

“Bu Aisyah, tadi aku berangkat awal,” jelasnya.

“Piket Zam?,” tanya Asiyah

“Nggak, di WA Pak Mum agar berangkat pagi, “lanjut Zam Zam. “Membersihkan kelas, nanti ada Pak Pengawas masuk kelas 6, melihat pembelajaran di kelas 6.”

“Hemm, gitu ya, “ jawab Aisyah sekenanya.

“Mbak tadi Pak Mum menjatuhkan tong sampah lho,”bisik Zam Zam. Takut didengar anak-anak RA.

“Itu terlalu banyak isinya, Zam,”sergah Aisyah

“Emang isinya satu kuintal, apa?,”sangkalnya sewot.

“Bisa juga karena teriakanmu yang cetar, Zam. Pak Mumtaz kaget. Atau disebabkan tong sampahnya licin, kan terbuat dari plastik.

Nggak, lah,”bantah Zam Zam. “karena grogi dengan lambaian Bu Aisyah.

“Kamu, Zam! Suka menghayal, deh,”kata Aisyah sambil memencet hidung bocah itu. “Makanya tadi, terdengar kamu dan teman-teman tertawa ngakak.”

Aisyah mengaitkan kejadian beberapa jam yang lalu.

“Aku, Izza, dan Azmi, sependapat,” kilahnya

“Memang tadi kamu rapat, Zam,”godanya. “ Membahas tong sampah yang jatuh? Zam, Zam! Mending kamu belajar. Sebentar lagi PTS, lho,” nasehat Aisyah.

Bocah itu bersungut-sungut dan berlalu menuju gedung MI. Lonceng berbunyi, semua siswa masuk kelasnya masing-masing. Begitu pula anak RA. Setelah berbaris rapi, masuk kelas satu persatu dengan tertib. Hari ini, Bu Rahma dan Aisyah akan mengajak anak-anak belajar di luar ruangan. Melatih kemampuan motorik kasar anak-anak RA. Mereka akan berlatih gerakan melempar, menangkap dan menendang bola.

“Bu Aisyah, aku berharap perkembangan motorik anak-anak ini bisa dioptimalkan,” tutur Bu Rahma. “Jangan sampai kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan fisik tidak berkembang dengan baik.”

“Adakah pengaruhnya terhadap psikis mereka, Bu Rahma,”tanya Aisyah ingin tahu.  

“ Ada, berdasarkan pengamatanku, salah satu dampak jika kemampuan motorik kasar tidak dikembangkan sejak dini. Maka akan mempengaruhi rasa percaya diri mereka,” kata Bu Rahma.

“Berarti pendidik di jenjang taman kanak-kanak baik itu RA dan BA harus mampu membantu mereka mengembangkan kemampuan motorik kasar, ya Bu,” tanya Aisyah. 

Karena selama ini, mayoritas  pendidik  lebih  mengoptimalkan kemampuan motorik halus saja. 

“Betul, Bu Aisyah. Tugas kita sebagai pendidik RA, mengawali mengembangkan kemampuan motorik kasar. Jika kemampuan ini dikembangkan, maka besar peluang mereka untuk tumbuh optimal dan percaya diri.”

Anak-anak diajak ke lapangan MI. Mereka berlatih melempar bola  melebihi 3,5 m. Setelah itu mereka berlari dan langsung menendang bola. Mereka juga dilatih menangkap bola pada tangan dengan siku menekuk. Anak-anak sangat menikmati permainan tersebut. Wajah mereka cerah, secerah mentari yang mulai menanjak. Bu Rahma berencana, lain waktu akan mengembangkan kemampuan motorik kasar yang lain seperti berjalan pada titian, berguling dan lain-lain.

Setelah anak-anak RA pulang. Aisyah dan Bu Rahma menuju kantor MI. Para guru hendak menjenguk Pak Sujai. Beliau wali kelas 4 yang baru pulang berobat dari kota Solo. Beberapa bulan yang lalu kaki Pak Sujai diamputasi sebatas pertengahan betis. Beliau mengidap diabetes mellitus. Menurut penuturan Pak Yanu, penyakit kencing manis Pak Jai sudah kronis. Sehingga mempersempit pembuluh arteri, akibatnya mengurangi aliran darah ke kaki Pak Jai. Dengan kurangnya darah yang akan memberi nutrisi pada jaringan kaki, maka luka kakinya sulit disembuhkan. Semula hanya luka kecil di bawah kaki, hingga akhirnya menjadi luka besar yang parah dan infeksi. Itulah yang dialami Pak Jai sehingga tugasnya digantikan Aisyah.

Dengan mengendarai sepeda motor para guru menuju rumah Pak Jai. Beliau nampak tawakal. Senyum mengembang menunjukkan kaki barunya. Kaki palsu yang sangat dibutuhkan setelah lukanya mengering. Agar dapat mengajar di MI kembali. Karena masa pensiunnya masih lama. Di depan para guru, Pak Jai menunjukkan kemampuan menggunakan kaki barunya. Semua guru merasa lega. Bisa berkumpul kembali dengan Pak Jai.

“Bu Aisyah, dua atau tiga hari lagi, aku masuk sekolah.”

“Alhamdulillah, Pak Jai,” jawab Aisyah sambil tersenyum.

“ Aku akan memberi hadiah khusus untuk panjenengan,” kelakar Pak Jai

“Wah, apa Pak?,” para guru bertanya kompak. Kecuali Pak Mumtaz yang hanya tersenyum datar.

“Hadiahnya … mengajak Pak Mumtaz ke rumah panjenengan untuk melamar, hhh!”

Itulah Pak Jai yang gemar bercanda. Sontak membuat Aisyah dan Pak Mumtaz tersipu malu. Meskipun mereka sadar hal itu cuma candaan Pak Jai. Aisyah tetap berpegang pada petuah bijak Ali bin Abi Thalib: jangan terlalu dikejar, jika memang jalannya pasti Allah memperlancar karena yang menjadi takdirmu akan mencari jalannya untuk menemukanmu.

“Kapan, Pak?,” tambah Bu Aina. Kedua orang ini memang gemar bercanda.

Aisyah mengingat kembali sebuah petuah bijak: ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, Yusuf menjauhinya. Tapi saat Zulaikha mengejar cinta Allah, maka Allah datangkan Yusuf untuknya. 

“Secepatnya, Bu Aina,”jawab Pak Jai.

Karena waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, para guru segera pamit. Agar Pak Jai segera bisa beristirahat.

Bersambung

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar