Hari minggu Aisyah bertandang ke rumah Ibunya Zam Zam. Merasa dicueki bocah itu, merasa tak enak hati. Dijauhi siapapun Aisyah sanggup, tapi jika Zam Zam yang bersikap seperti itu, membuatnya kepikiran. Anak ini yang mampu membuatnya tertawa setiap hari.
Sampai di sana masih sepi. Tidak bertemu Zam Zam, padahal biasanya bermainItu sepak bola di halaman rumah.
“Assalamualaikum,”sapa Aisyah
“Waalaikum salam, Aisyah, masuk,”jawab ibu Zam
Zam hafal suaranya.
“Aku di dapur masuk aja.”
“Bikin, apa Bu?”
“Ini lho buat rempeyek.”
“Bu, Zam Zam ada.”
“Nggak ada, potong rambut sama ayahnya.”
Aisyah duduk di kursi, sambil membantu ibunya
Zam Zam membuat rempeyek. Memotong biji kacang tanah menjadi bagian kecil. Rempeyek, lauk kesukaan Zam Zam.
“Bu, Zam Zam kok menjauh ya, denganku.”
“Oh itu to. Gini ceritanya. Ia dengar kamu masih
berhubungan dengan Subkhi. Padahal Zam ngarep kamu berjodoh dengan Pak Mumtaz.”
Ibu Zam Zam tertawa. Mengingat begitu gigihnya Zam
menjodohkan Aisyah dengan wali kelasnya.
“Kok dia tahu Bu gossip itu.”
“Waktu ngaji di rumah Pak Lik Asrom dengar
pembicaraan Emakmu dengan istri Kang Asrom.”
“Emak tahu, Bu.”
“He eh, Apalagi sekarang ada medsos.”
“”Emak gimana, Bu?”
“Sebaiknya kamu cerita sama Emakmu. Cepet nikah.
Mertua Subkhi itu suka nglabrak orang lho. Kasihan Emakmu. Sikap Zam abaikan
aja, ntar juga lupa dengan sendirinya.”
Padahal sejak semula ia bersikukuh tidak
meladeni Subkhi. Supaya tidak terjadi rumor yang tidak sedap. Sebenarnya ia
ingin mengatakan tentang paket itu. Paket pemberian Subkhi. Tapi diurungkan,
takutnya menambah santer rumor itu. Segera pamit untuk menjelaskan pada
Emaknya.
“Aisyah, bawa rempeyek ini, untuk lauk. “
“Emak sudah buat, kok.”
“Bawalah, tadinya mau aku antar. Nanti sore ke
rumahmu. Kebetulan kamu ke sini.
“Terimakasih Bu, aku pulang dulu.”
Ibu Zam Zam iba dengan anak itu. Sopan, baik
tapi nasibnya tidak berfihak padanya. Semoga kelak mendapat jodoh laki-laki
baik.
Sampai di halaman rumahnya Aisyah melihat ada
sepeda gunung. Sepeda yang bagus, pasti mahal harganya. Milik siapa? Ia segera
lewat samping rumah menuju kamar. Di ruang tamu bapak dan Emaknya sedang
menemui tamu. Seperti suara Pak Yanu. Ya, Suara Pak Yanu.
Terdengar langkah kaki emaknya menuju dapur.
Aisyah menyusulnya. Emaknya membuat kopi untuk Pak Yanu.
“Mak, Pak yanu nggak minum kopi. Teh atau air
mineral,”kata Aisyah
“Sah, kamu dari mana? Sembunyi di kamar? Pak
Yanu mencarimu. Ia menanyakan kesedianmu menikah dengan pemuda yang sudah
dipertemukan denganmu, kemarin.”
Emaknya menyampaikan pesan Pak yanu dengan
berbisik. Karena sudah terlanjur bilang Aisyah tidak di rumah.
“Mak, bilang aku tidak di rumah, ya”
“Tadi aku bilang begitu, ternyata kamu di rumah."
Emaknya segera mengantar minuman. Aisyah
mendengarkan pembicaraan mereka.
“Ia pemuda baik Pak. Anak bungsu, seorang janda.
Saya mengenalnya sejak ia kecil.”
“Nanti, kami bicarakan dengan Aisyah, Pak Yanu,”kata Bapak.
“Apa mereka telah bertemu", tanya Emak Aisyah memastikan.
“Sudah di sekolah, Bu. Misalnya hari ini Aisyah ada kan saya tahu jawabannya,"jawab Pak Yanu.
“Bapak/Ibu saya pamit dulu. Namun besar harapan
Aisyah berjodoh dengan Mas Rizal.”
“Kenapa buru-buru Pak.”
“Tadi saya nggowes sekalian mampir, biar nggak
terlalu mencolok. Warga sini, banyak yang menyekolahkan anaknya ke Mi Ar
Rahmah.”
Bapak Aisyah terlihat bahagia, anaknya segera dapat jodoh. Namun Emaknya
tidak terlalu. Ia mengerti kondisi Aisyah yang sedang patah hati.
“Sah, dicari bapakmu,”panggil Emaknya
“Ya, Mak, sebentar.”
“Kamu di rumah, Sah. Nggak sopan. Pak Yan ke
sini tidak kamu temui,”suara bapaknya agak meninggi. “Besok kamu harus punya
jawaban.”
“Pak, gimana jika aku menolak.”
“Sah, kamu jadi gunjingan orang. Merusak rumah
tangga Subkhi.”
“Tapi … aku ..,”kata Aisyah serak.
Ia kehabisan kata-kata, betapa dahsyatnya isu itu. Dirinya telah dituduh jadi pelakor. Di depan Bapaknya ia hanya bisa menangis. Beban yang semula ingin ia tanggung sendiri. Membuncah, akhirnya keluar tak terbendung.
“Hanya cara ini, kamu bisa keluar dari gunjingan itu. Bapak tahu kamu tak meladeni. Tapi posisi kita sebagai orang yang tidak mampu selalu salah,”petuah Bapaknya. “Gunjingan itu sudah lama Bapak dengar. Menunggu kamu cerita kebenaran isu itu.”
“Aku belum siap, Pak.”
“Berarti kamu benar-benar belum bisa melupakan
Subkhi.”
Aisyah ingin menagis, menjerit. Ia menutup
mukanya dengan kedua telapak tangannya.
“Bapak,
waktu semua teman sekelasku memosting moment pernikahan Subkhi pada story WA-nya. Sejak saat itu, aku melupakan Subkhi. Jelas sekali wajah bahagia Subkhi.
Berfoto, selebrasi dengan gembira. Ia sudah menemukan kebahagiannya”
Itulah jeritan hatinya. Yang tak mampu ia
ungkapkan pada Bapaknya.
“Pak, sudah. Aisyah perlu waktu. Tadi Pak Yanu
memberi waktu satu minggu.”
“Sah, kamu harus salat istiharah. Agar menemukan
jalan keluar,”pesan Bapak.
“Iya, Pak,”jawab Aisyah.
Bapaknya nampak murung. Lelaki tua itu perlahan
bangkit menuju kamar tidurnya. Aisyah kasihan melihat Bapaknya. Menaggung malu,
karena dirinya.
“Sah, salat istiharah itu tidak cukup satu kali.
Berkali-kali, sampai kamu yakin. Yakin menerima maupun menolak.”
“Mak, semua kakak-kakakku bahagia dengan pilihan
hatinya.”
“Bukankah Bapakmu juga sudah memberi kebebasan
untuk memilih. Nyatanya takdir berkehendak lain, kan?
“Iya Mak. Aku mengerti."
“Atau kalau mau menolak kamu harus punya calon.
Calon yang sebaik pilihan kepala sekolahmu."
"Entahlah, Mak."
“Perasaan Emak, ia lelaki yang baik. Meskipun
belum ketemu. Istirahatlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar