Malam itu terasa sepi. Hujan rintik-rintik
menambah suasana makin dingin. Aisyah masih mengoreksi hasil belajar siswa
kelas 4. Terdengar pintu rumahnya di ketuk orang. Siapa ya? Mas Rizal? Tak
mungkin! Tadi sore ia sudah bertandang. Mengajak Aisyah menikmati malam minggu.
Tapi ditolaknya. Lalu siapa yang datang? Aisyah sibuk menduga-duga. Sejujurnya
ia belum bersedia. Hatinya belum siap melangkah sejauh itu. Melihat Aisyah
enggan membuka pintu Emaknya bergegas menemui tamu.
“Assalamualaikum,
Bu.”
“Waalaikum
salam, Pak Yanu.”
Aisyah terkejut. Malam-malam Pak Yanu ke sini?
Apa ada tugas rapat mendadak? Atau tentang hubungannya dengan Mas Rizal.
Pertanyaan berkecamuk dalam hatinya.
“Silahkan duduk, Pak. Sebentar saya panggilkan
bapaknya Aisyah.”
“Wah, Pak Yanu. Apa kabar Pak?”
Keduanya bersalaman erat. Ada sesuatu yang
dibicarakan sangat pelan. Aisyah tidak mendengarnya. Terdengar suara bapaknya
memanggil.
“Aisyah, ada Pak Yanu.”
“Iya Pak, sebentar.”
Aisyah berjalan menuju ruang tamu. Bersalaman dengan
Pak Yanu. Pak Yanu begitu perhatian dengan Aisyah. Beliau rela menembus hujan
untuk bersilaturahmi ke rumahnya.
“Silahkan, Pak Yan. Langsung bicara pada Aisyah,
saja.”
Pak Yanu mengangguk. Dengan pelan ia
menyampaikan amanat ibunya Rizal. Yang segera ingin menikahkan putra.
“Aisyah, ibunya Rizal menanyakan kesiapan kamu,
menerima perkenalan Rizal ke arah yang lebih serius” kata Pak Yanu.
“Hubungan kalian sudah mendekati dua bulan.
Bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal” Bapaknya menimpali pembicaraan
Pak Yanu.
“Pak Yanu, aku minta waktu beberapa minggu lagi”
kata Aisyah.
“Aisyah, ingat tidak baik berlama-lama melajang.
Rizal pemuda baik,” sergah Bapaknya.
“Pak mohon dengan sangat” kata Aisyah menghiba.
Aisyah tak mampu melanjutkan kata-katanya. Jika
dilanjutkan bapaknya akan naik pitam. Pak Yanu bersikap bijak. Melihat situasi
Pak Jazuli dengan putri akan bersitegang, Beliau segera mohon diri. Tidak tega
melihat Aisyah sudah Nampak tertekan.
“Baiklah Aisyah, nanti akan saya sampaikan pada
ibunya Rizal. Maklum ia bukan pemuda belia. Usianya sudah 28 tahun, hhh.”
“Pak Jazuli, saya mohon diri” pamit Pak Yanu
pada Bapaknya Aisyah
“Wah, kok buru-buru. Emaknya Aisyah masih bikin teh.”
“Terimakasih, Pak. Lain waktu saya ke sini lagi.
Aisyah, Bapak pamit dulu. Sampai jumpa besok.”
“Iya, mohon maaf atas kata-kata saya. Terimakasih
atas kedatangannya, Pak Yanu.”
Pak Yanu mengangguk ramah. Aisyah, Emak dan Bapaknya
mengantar Pak Yanu sampai halaman rumah. Mereka masuk setelah Pak Yanu hilang
dari pandangan.
“Aisyah, duduk” perintah Bapaknya. “Kamu nggak
peka dengan itikad baik Pak Yanu. Hujan begini masih sempat ke sini. Padahal
rumahnya jauh.”
Aisyah melihat kemarahan Bapaknya. Ibunya ikut
duduk di samping Aisyah.
“Sabar, Pak. Dibicarakan baik-baik.”
Ibu Aisyah mencoba meredam emosi Bapaknya.
Aisyah memandang dinding rumahnya dengan hampa. Sedih hatinya.
“Kedatangan Pak Yanu minta kepastian. Tapi
jawabanmu mengambang. Kurang baik apa Pak Yanu. Kurang apa Rizal.”
“Pak, aku minta waktu…”
Bapaknya memotong pembicaraan Aisyah. Dengan
tegas ia tekankan, sikap yang harus diambil Aisyah. Agar tidak mengecewakan
kebaikan Pak Yanu.
“Sudah, aku tak mau mendengarkan alasanmu. Selalu
minta waktu. Besok bilang ke Pak Yan. Siap menerima lamaran Rizal. Titik.”
“Pak, aku belum mencintainya…”
Mendengar alasan Aisyah, ayahnya mengangkat
kursi kayu di depannya. Di arahkan pada Aisyah. Ibu menjerit.
“Paaak, sabar! Dengarkan alasan Aisyah.”
“Aku tidak mau mendengar alasannya. Selamanya
ini aku cukup malu mendengar gunjingan tetangga tentang hubungannya dengan
Subkhi. Ada lelaki yang akhlaknya lebih baik malah diabaikan.”
“Paak sudah. Aisyah masuk kamar.”
Aisyah masuk kamar. Tidak terdengar isak
tangisnya. Namun air matanya berderai. Ia tidak menyalahkan bapaknya. Ia
meyalahkan dirinya. Yang mencoba untuk tegar, namun justru nampak rapuh. Aisyah
ingin menjelma menjadi wanita tangguh, justru sekarang ia luruh. Akhirnya ia
ingin bersimpuh kepada Rabb-nya. Segera mengambil air wudhu, untuk menunaikan
salat isya. Dengan khusuk dilekatkan dahinya pada sajadah. Setelah sujudnya
diakhiri dengan salam. Doa ia sanjungkan kepada Allah, sampai bahunya
terguncang karena menangis. Saat itu Emaknya datang. Memeluknya dan menangis
bersama.
“Sah, apa yang membuatmu ragu pada Rizaldi?”
“Aku belum mengenal lebih jauh, Mak. Ia sudah
punya pacar. Pacarnya itu tetangganya. Menurut temanku siapapun yang mendekati
Mas Rizal. Akan didatangi, sampai gagal pernikahan itu. Bukan kali ini saja Mas
Rizal dicarikan jodoh oleh ibunya.”
“Pak Yanu kok nggak pernah cerita ? Kamu tahu
dari mana?”
“Dari temanku Mak, Pak Yanu cerita namun hanya
sekilas.”
“Kalau Rizal serius, coba tanya padanya. Jangan
biarkan Subkhi masuk lagi dalam kehidupanmu. Dia akan segera memiliki anak.”
Aisyah mengangguk. Ia menatap Emaknya. Perempuan
terkasih yang selalu menjadi tempatnya mengadu segala kesah.
“Ada apa, Sah?”
“Mak, masihkah yakin Mas Rizal orang baik?”
“Ya, Insha Allah. Dia dewasa, sopan. Baik
untukmu. Bukankah kamu sudah salat istiharah?”
“Sebenarnya aku mulai bisa menerimanya, mak.
Tapi aku melakukan kesalahan.”
Aisyah memandang Emaknya dengan tatapan sedih. Sejatinya
ia ingin menerapkan perkenalan dengan Rizal secara islami. Namun kemarin Rizal
nampak kecewa ketika ajakannya jalan-jalan ditolak.
“Apa itu, Sah.”
“Aku menolaknya diajak jalan, Mak.”
“Rizal marah?
“Kayaknya. Memberiku cincin belum kupakai.”
Menurut Aisyah, lelaki itu terlalu terburu-buru
memberikan cincin. Padahal ia belum menyatakan siap.
“Kenapa, Sah.”
“Aku takut dengan memakai pemberiannya. Ia mengajak
jalan. Mas Rizal meminta lebih.”
“Meminta lebih apa?”
“Meminta sesuatu yang belum waktunya.”
Emaknya beringsut. Menengadahkan wajah lugu
anaknya. Ia tersenyum bangga pada gadis bungsunya.
“Kamu terlalu berhati-hati. Semoga Rizal tidak
seperti dugaanmu.”
Emaknya kembali memeluknya. Anak gadisnya
khawatir, masih trauma dengan masa lalunya.
“Apa Subkhi pernah melakukan itu, Sah.”
“Meminta cium pernah, tapi aku tolak Mak. Karena
takdir Allah masih samar, kita tidak tahu. Kenyataannya, aku dan Subkhi berpisah,
kan.”
“Kamu memang cerdas. Nyatanya Subkhi seperti
itu. Sekarang tidurlah. Besok bangun kesiangan.”
Aisyah segera berbaring. Mencoba memejamkan
mata. Namun tidak pernah berhasil terlelap. Ya, allah kenapa belum bisa
terpikat dengan kehadiran Rizal. Begitulah rintihnya semalaman. Akhirnya ia
terlelap karena kelelahan. Air matanya telah mengering. Pukul 02.30 ia
terbangun untuk melakukan salat malam. Doa ia panjatkan pada Allah. Doa yang
mendalam. Sampai hatinya tenang. Tubuhnya terasa ringan. Tiada lelah,
diulang-ulang doanya. Sampai akhirnya ia menjalan salat subuh. Berdoa….khusuk.
Tiba-tiba ia lemas tergeletak.
Emaknya yang mendengarkan suara azan, segera
membangunkan Aisyah. Tapi putrinya sudah tergeletak tak sadarkan diri.
“Sah, sadar…bangun! Pak Tolong angkat Aisyah” teriak
Emaknya.
Pak Jazuli segera mengangkat putrinya. Ia
menyesal terlalu keras dengan Aisyah. Tentu anak ini sangat tertekan dengan
sikapnya.
“Makanya, Bapak jangan terlalu keras. Biarkan ia
berfikir, yang menurutnya tepat.”
Emaknya mengolesi minyak kayu putih pada hidung,
tengkuk dan perutnya. Bapaknya memijat setiap jari kaki Aisyah.
“Mak, jam berapa?” kata Aisyah pelan, ia mulai
sadarkan diri dari pingsannya.
“Masih pagi, kamu ditemani bapak, ya. Mak mau
masak dulu, tak buatkan teh hangat.
Bapaknya memandangi Aisyah dengan iba. Ia
kasihan dengan putrinya yang, mungkin takut melihatnya.
“Maafkan Bapak, Aisyah.”
“Bapak nggak salah. Aisyahlah yang sulit
mengambil keputusan.”
“Sudah jangan dipikirkan dulu. Kita jalani aja.
Semoga nanti Allah memberikan jalan terbaik”
Kondisi tubuhnya kurang fit, Aisyah izin kepada Pak
Yanu bahwa dirinya tidak bisa masuk. Meskipun hanya melalui WhatsApp. Matanya sembab. Ia hanya
tiduran saja. Setelah sarapan dan minum obat, ia bisa tidur terlelap. Orang
tuanya membiarkan istirahat.
Pukul 12.00 azan zuhur dikumandangkan. Aisyah
terbangun untuk melaksanakan salat zuhur. Ketika tengah khusuk berdoa terdengar
motor berhenti di pelataran rumahnya. Emaknya menghampiri dan membuka pintu.
Disangkanya Pak Yanu. Ternyata Rizal. Ibunya mempersilahkan masuk.
Rizal duduk di ruang tamu. Masih memakai seragam
kerja. Ia memainkan ponselnya. Sesekali melirik kamar Aisyah. Menunggu Aisyah
segera keluar kamar menemuinya.
“Sah, ada Nak Rizal.”
Aisyah mengangguk. Melepas mukenanya,
menggunakan jilbab. Mengoleskan bedak supaya Rizal tidak tahu ia semalaman
mengis. Agar tak terlihat oleh Rizal matanya
sembab.
“Sudah sehat Aisyah?” kata Rizal basa basi. Ia mulai memanggil
namanya saja.
“Kok tahu aku sakit, Mas?”
“Pak Yanu ngirim pesan, ngasih kabar kamu
sakit.”
“Mas dari sekolah apa tempat kerja?’
“Aku ke sekolah pagi. Hanya sampai pukul 08.30.
Selepas itu kerja. Maaf ya masih pake baju kerja. Dan datang pada waktu jam
istirahat.”
“Nggak apa-apa Mas. Terimaksih, sudah dijenguk”
“Sakit apa? Kurang tidur?” Rizal menatapnya
lekat.
Ia tahu bahwa Aisyah sembab kurang tidur.
Dipandanginya gadis itu. Seperti bingung mengambil keputusan.
“Kok tahu, Mas.”
“Ada ikatan batin” seloroh Rizal.
Rizal dan Aisyah tertawa. Lelaki ini memang pandai
menghiburnya. Mulai banyak bicara dan pembicaraannya selalu diselingi candaan.
“Aisyah, sejujurnya aku menyukaimu. Tapi jika
kamu keberatan, tidak perlu dipaksa. Jangan sampai harus jatuh sakit, hhhh.”
“Nggak kok mas, banyak lemburan.”
“Bibirmu bisa bohong, tapi wajahmu selalu jujur,
hhh. Tatapan yang kosong ”
Aisyah benar-benar malu dibuatnya. Rizal bisa
menebak isi hatinya.
“Maaf kemarin sempat mengajakmu jalan-jalan.
Kalau tidak bisa ya nggak apa-apa.”
Lagi-lagi Aisyah tersipu malu. Sebenarnya ia
menaruh iba pada lelaki ini. Yang sudah berjuang keras melakukan pendekatan.
Namun selalu ia sia-siakan.
“Tak pikir Mas, marah dan nggak ke sini lagi.”
“Ngapain marah. Hati tak bisa dipaksakan, santai
aja. Jangan melakukan sesuatu yang membuatmu bersedih.”
Mak jlebb… Aisyah benar-benar terperanjat.
Betapa lelaki ini tidak egois. Pandangan matanya bertemu. Entah mengapa hatinya
tersentuh. Inilah kelebihan Rizal. Sabar.
“Mas, boleh nggak nanya?”
“Boleh,” katanya tenang. “Tanya apa, kalau tak
bisa untuk PR ya.”
Aisyah tertawa sambil memukul lelaki itu. Rizal
senang Aisyah bisa tertawa riang. Meskipun dengan candaan sederhana.
“Benarkah pacar Mas sering menggagalkan setiap
wanita yang akan kamu nikahi?”
Ia tidak terkejut dengan pertanyaan Aisyah.
Dengan tenang ia meledek Aisyah.
“Kamu memata-matai aku, ya.”
“Nggak, Cuma dikasih tau temanku.”
“Ya, karena calonku satu kampung. Makanya ibuku
cari yang agak jauh. Nyatanya ia nggak nglabrak kamu, kan?”
Katanya penuh simpatik. Ia tidak berbohong
dengan pernyataannya. Namun Aisyah masih penasaran.
“Hubungan kalian masih jalan?”
“Sudah putus 1 tahun lalu. Aisyah, kalau kamu
menolakku nggak apa-apa kita bisa berteman. Atau aku akan menunggumu setahun,
dua tahun, hhhh.”
Tumben lelaki ini banyak bercanda. Mungkin ingin
menghibur Aisyah yang nampak penat.
“Ihh, ngaco. Mas mau jadi bujang lapuk.”
“Kamu sudah berobat? Aku antar ke dokter.”
Ia menunjukkan simpatinya pada Aisyah. Mungkin
Aisyah masih terlihat pucat. Rizal iba dengan gadis itu. Gadis itu seperti
pernah mengalami trauma yang berat.
“Sudah sembuh kok, Mas”
“Oh, ya. Gimana kalau kita jalan-jalan. Oh,
maaf….lupa kalau kamu nggak mau jalan sama aku“ katanya menepuk jidat.
Tingg. Bunyi pesam masuk. Rizal membuka chat dan
menjawab. Cukup lama Rizal menjawab pesan masuk pada ponselnya.
“Pacarmu, mas.”
“Ihh, kepo” jawab Rizal melucu.
Rizal ternyum meledek Aisyah. Aisyah cemberut.
“Kamu cemburu? Hhh…bukan kok. Aku ini jomblo.
Itu tadi pesan dari Pak Yan. Tanya posisiku.”
“Cemburu apaan, pacar bukan…”
‘Bukan pacar, tapi calo misua…hhh.”
Aisyah memukul Rizal dengan buku yang ia pegang.
Mereka tertawa agak keras. Emaknya masuk membawa teh dan satu piring buah apel.
“Terimakasih oleh-olehnya, Nak Rizal.”
‘Sama-sama Bu. Bu…boleh nggak. Kami jalan-jalan
Bu?”
Emaknya memandang Aisyah. Lalu menjawab dengan
santunnya.
“Silahkan tapi tetap jaga Aisyah, jangan terlalu
sore, ya.”
“Siap Bu,” janji Rizal pada Emak Aisyah.
Setelah Emaknya masuk. Aisyah bilang pada Rizal.
“Mas di sini saja. Ngapai jalan-jalan?”
“Biar kamu nggak suntuk. Jangan khawatir dekat
sini aja. Cepat ganti baju.”
Aisyah masuk ke dalam. Mengganti baju. Ketika
menarik baju yang terlipat. Sesuatu jatuh. Kotak cincin pemberian Rizal. Ia
buka, dikenakan. Ketika mau dilepas sulit. Tangannya memerah, perih. Ia
mengganti jilbab, mematut diri.
“Cantik” Rizal memujinya sambil melirik tangan
Aisyah.
Aisyah menyembunyikan tangannya yang menggunakan
cincin pemberian Rizal. Entahlah mengapa hari ini, tiba-tiba seakrab itu. Lelaki ini pintar memperbaiki
suasana hati Aisyah.
“Bu, kami pamit sebentar.”
“Silahkan, Nak! hati-hati,” pesan ibu.
Aisyah masih malu dibonceng Rizal. Masih
canggung. Ia duduk agak jauh dari posisi Rizal.
“Jangan terlalu ke belakang ntar, jatuh” kata Rizal
meledek Aisyah yang duduk terlalu ke belakang.
Aisyah mencubit pinggang Rizal. Tanpa disadari
keduanya. Ning Mya melihat dari balik jendela rumahnya. Ia tersenyum. Berdoa
agar keduanya berjodoh.
“Maaf Aisyah, bukan muhrim. Jangan sentuh aku”
Rizal meledek lagi, mengulang ucapan yang sering diucapkan Aisyah.
Kesedihan luntur dari hatinya Aisyah. Rizal
membonceng Aisyah menuju desa Bangun Jaya mampir warung bakso Favorite.
“Mbak bakso 2” pesan Rizal pada pelayan. Dua
orang pelayan muda yang cukup cantik. Berjilbab rapi.
“Kalau mau gorengan sama seblak bisa ambil sendiri”
kata Rizal, menunjuk tempat seblak dan gorengan yang boleh diambil sendiri oleh
pembeli.
“Sering ke sini, Mas.”
“Jarang, kalau lagi pengin bakso ayam.”
“Pak Yan minta maaf pada Aisyah, mungkin Beliau
merasa terlalu memojokanmu. Ketika beliau minta kepastian” kata Rizal terlihat
bijak dan dewasa. “Sampai kamu bingung menjawabnya. Akhirnya jatuh sakit.”
“Bukan gitu mas” jawab Aisyah sambil nyubit
Rizal.
Rizal mendekatkan kepalanya ke Aisyah. Memperingatkan
tingkah Aisyah.
“Jangan cubit lagi, mbak pelayan jadi baper.”
Aisyah melirik dua pelayan warung Favorite. Jadi
malu, mereka sesekali melihat ke arah Aisyah dan Rizal. Kedua pelayan itu tersenyum.
Mereka menikmati bakso. Aisyah tidak mau
mengambil gorengan. Diambilkan beberapa oleh Rizal, sekalian sambal kacangnya.
Rizal juga mengambilkan 2 juz dari almari es yang berada di pojok warung itu.
“Cicipi enak lho. Aku suapi. Sambil menempelkan
lengannya pada tubuh Aisyah. Aisyah tersenyum. Aisyah menggeleng.
“Mas Rizal.”
“Hemm,” jawab Rizal sambil mengunyah baksonya.
Ditusuknya gelas juz diberikan pada Aisyah.
“Terimaksih, Mas.”
Aisyah melirik Rizal. Sekilas melihat lelaki ini
makan. Ia selalu tampil tenang. Sikapnya yang perhatian pada Aisyah, membuatnya
mulai luluh.
“Apa Mas kecewa kalau Aisyah menolak lamaranmu.”
“Pasti dong, Mas akan menjadikan hari ini,
sebagai hari berkabung nasional.”
Aisyah mencubit Rizal. Rizal memperingatkan
lagi, karena sedari tadi pelayan warung itu melihatnya. Sebab kondisi warung
lagi sepi hanya ada beberapa orang. Yang menarik perhatian pelayan adalah sikap
Rizal yang melayani Aisyah. Mengambilkan makanan dan minuman dengan telaten.
“Jangan cubit-cubit, diliat mbak pelayan itu. Nah,
tuh orangnya baper.”
Hari ini Rizal tidak seperti biasanya, sikap
lebih manis. Kemarin masih kaku, tampil serius. Aisyah diam, makan sampai
baksonya habis. Kenapa hari ini Rizal bersikap
lebih akrab. Jadi bertingkah lucu, kerap mbanyol. Gumam Aisyah.
Ia menuju kasir. Membayar. Terus mengandeng
tangan Aisyah. Aisyah tidak menolak diperlakukan seperti itu.
“Mas kita pulang, ya?”
“Ok,” jawabnya. “Aisyah…”
“Ya Mas.”
“Maksud Pak Yanu kemarin. Segera beri keputusan,
ya atau tidak. Nggak mau denganku juga tak apa-apa. Kalau jawabanmu ya. Aku
terimaksih.”
Aisyah
terdiam. Rizal dengan tenang mengendarai motornya.
“Mas, menduga apa?”
“Aku ini lelaki realistis, jawaban apapun aku
terima.”
Aisyah terdiam. Sejak tadi malam ia telah
mengambil keputusan. Keputusan yang mampu membahagiakan kedua orang tuanya.
“Mas Rizal.”
“Hemm … .”
“Aku siap menerima perkenalan ini.”
Rizal mengerem mendadak. Untung jalanan sepi.
Kemudian Rizal meneruskan perjalanannya. Tidak menyangka Aisyah bersedia.
“Jangan karena terpaksa, ntar kamu tersiksa dan
jatuh sakit.”
“Nggak, kok Mas.”
“Kalau nggak terpaksa tersenyum dong, Aisyah!
Nah begitu, kan enak” tutur Rizal. Kalau begitu, nanti aku ngomong Pak Yanu.”
“Mas Rizal.”
“Hemm…,”
“Maafkan sikapku yang ngeselin selama ini.”
“Nggak kok, tak pernah merasa sikapmu ngeselin.
Oh ya, keputusanmu ini ada yang memaksakan?’
“Nggak, Mas.”
“Aisyah boleh aku menggenggam tanganmu.”
Aisyah terdiam, membisu. Tidak menjawab.
“Aku ingin merasakan keputusanmu ini, serius apa
tidak.”
Sambil mengendarai motor tangan kiri Rizal
meraih tangan Aisyah, digenggamnya. Rizal melihat wajah Aisyah dari kaca spion.
“Mas, antar aku pulang ya.”
“Ya, siap.”
“Nanti aku bicara sama bapakmu kalau,
sewaktu-waktu Pak Yanu datang ke rumahmu.”
“Ya, mas. Untuk apa?”
“Membicarakan kelangsungan hubungan kita. Nggak
baik kalau seperti ini terus.”
Dilepaskan tangan Aisyah. Karena Motor Rizal hendak
menuju jalan raya.
Mereka masuk rumah. Bapak dan Emak Aisyah duduk
di ruang tamu. Aisyah dan Rizal duduk.
“Bapak, Ibu dalam minggu ini, Pak Yanu akan meminta
persetujuan, kapan keluarga sini silaturahmi ke rumah.”
Orang tua Aisyah memandangi anaknya. Tersenyum
lega. Bahagia terpancar dari wajah bapak ibu Aisyah.
“Silahkan Nak Rizal, Alhamdulillah.”
“Pak, Bu, sudah sore. Aku pulang dulu.”
“Aisyah antar nak Rizal sampai depan.”
Aisyah mengangguk. Rizal berjalan di samping
Aisyah. Menggenggam tangannya.
“Sekali lagi, terima kasih. Aku berjanji untu
mencintamu setulus hati.”
Aisyah tersenyum dan mengangguk pelan. Hatinya
lega karena telah memenuhi permintaan orang tuanya.
“Jangan lepaskan cincin itu. Aku beli dari
keringatku, ketika pertama kali bisa bekerja.”
“Andai rumahmu nggak dekat jalan raya, aku akan
mencium keningmu”goda Rizal
Aisyah mencubit lengan Rizal. Rizal mengaduh,
meringis.
“Mulai ganjen.”
Rizal menggoda Aisyah dengan menyentuh pipinya. Aisyah
menjauh. Sambil meledek Rizal.
“Bukan muhrim.”
“Nanti malam aku ke sini ya, kangen.”
Digoda Rizal. Aisyah meledeknya. Dengan tenang
ia menjawab.
“Bisa-bisa anda di tangkep hansip.”
Merekapun tertawa lirih. Rizal menstater motornya.
Sambil tersenyum bahagia.
“Kebetulan biar cepat nikah.”
Aisyah termenung di samping pintu. Bersandar.
Demi Bapak, aku menerima cinta Mas Rizal. Gumamnya. Rizal mulai bisa
mendamaikan suasana. Meledek Aisyah, dan membikinnya tertawa bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar