Minggu, 03 Oktober 2021

22. Air Mata Menetes di Sudut Netra

 


Malam itu terasa sepi. Hujan rintik-rintik menambah suasana makin dingin. Aisyah masih mengoreksi hasil belajar siswa kelas 4. Terdengar pintu rumahnya di ketuk orang. Siapa ya? Mas Rizal? Tak mungkin! Tadi sore ia sudah bertandang. Mengajak Aisyah menikmati malam minggu. Tapi ditolaknya. Lalu siapa yang datang? Aisyah sibuk menduga-duga. Sejujurnya ia belum bersedia. Hatinya belum siap melangkah sejauh itu. Melihat Aisyah enggan membuka pintu Emaknya bergegas menemui tamu.

Assalamualaikum, Bu.”

Waalaikum salam,  Pak Yanu.”

Aisyah terkejut. Malam-malam Pak Yanu ke sini? Apa ada tugas rapat mendadak? Atau tentang hubungannya dengan Mas Rizal. Pertanyaan berkecamuk dalam hatinya.

“Silahkan duduk, Pak. Sebentar saya panggilkan bapaknya Aisyah.”

“Wah, Pak Yanu. Apa kabar Pak?”

Keduanya bersalaman erat. Ada sesuatu yang dibicarakan sangat pelan. Aisyah tidak mendengarnya. Terdengar suara bapaknya memanggil.

“Aisyah, ada Pak Yanu.”

“Iya Pak, sebentar.”

Aisyah berjalan menuju ruang tamu. Bersalaman dengan Pak Yanu. Pak Yanu begitu perhatian dengan Aisyah. Beliau rela menembus hujan untuk bersilaturahmi ke rumahnya.

“Silahkan, Pak Yan. Langsung bicara pada Aisyah, saja.”

Pak Yanu mengangguk. Dengan pelan ia menyampaikan amanat ibunya Rizal. Yang segera ingin menikahkan putra.

“Aisyah, ibunya Rizal menanyakan kesiapan kamu, menerima perkenalan Rizal ke arah yang lebih serius” kata Pak Yanu.

“Hubungan kalian sudah mendekati dua bulan. Bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal” Bapaknya menimpali pembicaraan Pak Yanu.

“Pak Yanu, aku minta waktu beberapa minggu lagi” kata Aisyah.

“Aisyah, ingat tidak baik berlama-lama melajang. Rizal pemuda baik,” sergah Bapaknya.

“Pak mohon dengan sangat” kata Aisyah menghiba.

Aisyah tak mampu melanjutkan kata-katanya. Jika dilanjutkan bapaknya akan naik pitam. Pak Yanu bersikap bijak. Melihat situasi Pak Jazuli dengan putri akan bersitegang, Beliau segera mohon diri. Tidak tega melihat Aisyah sudah Nampak tertekan.

“Baiklah Aisyah, nanti akan saya sampaikan pada ibunya Rizal. Maklum ia bukan pemuda belia. Usianya sudah 28 tahun, hhh.”

“Pak Jazuli, saya mohon diri” pamit Pak Yanu pada Bapaknya Aisyah

“Wah, kok buru-buru. Emaknya Aisyah masih bikin teh.”

“Terimakasih, Pak. Lain waktu saya ke sini lagi. Aisyah, Bapak pamit dulu. Sampai jumpa besok.”

“Iya, mohon maaf atas kata-kata saya. Terimakasih atas kedatangannya, Pak Yanu.”

Pak Yanu mengangguk ramah. Aisyah, Emak dan Bapaknya mengantar Pak Yanu sampai halaman rumah. Mereka masuk setelah Pak Yanu hilang dari pandangan.

“Aisyah, duduk” perintah Bapaknya. “Kamu nggak peka dengan itikad baik Pak Yanu. Hujan begini masih sempat ke sini. Padahal rumahnya jauh.”

Aisyah melihat kemarahan Bapaknya. Ibunya ikut duduk di samping Aisyah.

“Sabar, Pak. Dibicarakan baik-baik.”

Ibu Aisyah mencoba meredam emosi Bapaknya. Aisyah memandang dinding rumahnya dengan hampa. Sedih hatinya.

“Kedatangan Pak Yanu minta kepastian. Tapi jawabanmu mengambang. Kurang baik apa Pak Yanu. Kurang apa Rizal.”

“Pak, aku minta waktu…”

Bapaknya memotong pembicaraan Aisyah. Dengan tegas ia tekankan, sikap yang harus diambil Aisyah. Agar tidak mengecewakan kebaikan Pak Yanu.

“Sudah, aku tak mau mendengarkan alasanmu. Selalu minta waktu. Besok bilang ke Pak Yan. Siap menerima lamaran Rizal. Titik.”

“Pak, aku belum mencintainya…”

Mendengar alasan Aisyah, ayahnya mengangkat kursi kayu di depannya. Di arahkan pada Aisyah. Ibu menjerit.

“Paaak, sabar! Dengarkan alasan Aisyah.”

“Aku tidak mau mendengar alasannya. Selamanya ini aku cukup malu mendengar gunjingan tetangga tentang hubungannya dengan Subkhi. Ada lelaki yang akhlaknya lebih baik malah diabaikan.”

“Paak sudah. Aisyah masuk kamar.”

Aisyah masuk kamar. Tidak terdengar isak tangisnya. Namun air matanya berderai. Ia tidak menyalahkan bapaknya. Ia meyalahkan dirinya. Yang mencoba untuk tegar, namun justru nampak rapuh. Aisyah ingin menjelma menjadi wanita tangguh, justru sekarang ia luruh. Akhirnya ia ingin bersimpuh kepada Rabb-nya. Segera mengambil air wudhu, untuk menunaikan salat isya. Dengan khusuk dilekatkan dahinya pada sajadah. Setelah sujudnya diakhiri dengan salam. Doa ia sanjungkan kepada Allah, sampai bahunya terguncang karena menangis. Saat itu Emaknya datang. Memeluknya dan menangis bersama.

“Sah, apa yang membuatmu ragu pada Rizaldi?”

“Aku belum mengenal lebih jauh, Mak. Ia sudah punya pacar. Pacarnya itu tetangganya. Menurut temanku siapapun yang mendekati Mas Rizal. Akan didatangi, sampai gagal pernikahan itu. Bukan kali ini saja Mas Rizal dicarikan jodoh oleh ibunya.”

“Pak Yanu kok nggak pernah cerita ? Kamu tahu dari mana?”

“Dari temanku Mak, Pak Yanu cerita namun hanya sekilas.”

“Kalau Rizal serius, coba tanya padanya. Jangan biarkan Subkhi masuk lagi dalam kehidupanmu. Dia akan segera memiliki anak.”

Aisyah mengangguk. Ia menatap Emaknya. Perempuan terkasih yang selalu menjadi tempatnya mengadu segala kesah.

“Ada apa, Sah?”

“Mak, masihkah yakin Mas Rizal orang baik?”

“Ya, Insha Allah. Dia dewasa, sopan. Baik untukmu. Bukankah kamu sudah salat istiharah?”

“Sebenarnya aku mulai bisa menerimanya, mak. Tapi aku melakukan kesalahan.”

Aisyah memandang Emaknya dengan tatapan sedih. Sejatinya ia ingin menerapkan perkenalan dengan Rizal secara islami. Namun kemarin Rizal nampak kecewa ketika ajakannya jalan-jalan ditolak.

“Apa itu, Sah.”

“Aku menolaknya diajak jalan, Mak.”

“Rizal marah?

“Kayaknya. Memberiku cincin belum kupakai.”

Menurut Aisyah, lelaki itu terlalu terburu-buru memberikan cincin. Padahal ia belum menyatakan siap.

“Kenapa, Sah.”

“Aku takut dengan memakai pemberiannya. Ia mengajak jalan. Mas Rizal meminta lebih.”

“Meminta lebih apa?”

“Meminta sesuatu yang belum waktunya.”

Emaknya beringsut. Menengadahkan wajah lugu anaknya. Ia tersenyum bangga pada gadis bungsunya.

“Kamu terlalu berhati-hati. Semoga Rizal tidak seperti dugaanmu.”

Emaknya kembali memeluknya. Anak gadisnya khawatir, masih trauma dengan masa lalunya.

“Apa Subkhi pernah melakukan itu, Sah.”

“Meminta cium pernah, tapi aku tolak Mak. Karena takdir Allah masih samar, kita tidak tahu. Kenyataannya, aku dan Subkhi berpisah, kan.”

“Kamu memang cerdas. Nyatanya Subkhi seperti itu. Sekarang tidurlah. Besok bangun kesiangan.”

Aisyah segera berbaring. Mencoba memejamkan mata. Namun tidak pernah berhasil terlelap. Ya, allah kenapa belum bisa terpikat dengan kehadiran Rizal. Begitulah rintihnya semalaman. Akhirnya ia terlelap karena kelelahan. Air matanya telah mengering. Pukul 02.30 ia terbangun untuk melakukan salat malam. Doa ia panjatkan pada Allah. Doa yang mendalam. Sampai hatinya tenang. Tubuhnya terasa ringan. Tiada lelah, diulang-ulang doanya. Sampai akhirnya ia menjalan salat subuh. Berdoa….khusuk. Tiba-tiba ia lemas tergeletak.

Emaknya yang mendengarkan suara azan, segera membangunkan Aisyah. Tapi putrinya sudah tergeletak tak sadarkan diri.

“Sah, sadar…bangun! Pak Tolong angkat Aisyah” teriak Emaknya.

Pak Jazuli segera mengangkat putrinya. Ia menyesal terlalu keras dengan Aisyah. Tentu anak ini sangat tertekan dengan sikapnya.

“Makanya, Bapak jangan terlalu keras. Biarkan ia berfikir, yang menurutnya tepat.”

Emaknya mengolesi minyak kayu putih pada hidung, tengkuk dan perutnya. Bapaknya memijat setiap jari kaki Aisyah.

“Mak, jam berapa?” kata Aisyah pelan, ia mulai sadarkan diri dari pingsannya.

“Masih pagi, kamu ditemani bapak, ya. Mak mau masak dulu, tak buatkan teh hangat.

Bapaknya memandangi Aisyah dengan iba. Ia kasihan dengan putrinya yang, mungkin takut melihatnya.

“Maafkan Bapak, Aisyah.”

“Bapak nggak salah. Aisyahlah yang sulit mengambil keputusan.”

“Sudah jangan dipikirkan dulu. Kita jalani aja. Semoga nanti Allah memberikan jalan terbaik”

Kondisi tubuhnya kurang fit, Aisyah izin kepada Pak Yanu bahwa dirinya tidak bisa masuk. Meskipun hanya melalui WhatsApp. Matanya sembab. Ia hanya tiduran saja. Setelah sarapan dan minum obat, ia bisa tidur terlelap. Orang tuanya membiarkan istirahat.

Pukul 12.00 azan zuhur dikumandangkan. Aisyah terbangun untuk melaksanakan salat zuhur. Ketika tengah khusuk berdoa terdengar motor berhenti di pelataran rumahnya. Emaknya menghampiri dan membuka pintu. Disangkanya Pak Yanu. Ternyata Rizal. Ibunya mempersilahkan masuk.

Rizal duduk di ruang tamu. Masih memakai seragam kerja. Ia memainkan ponselnya. Sesekali melirik kamar Aisyah. Menunggu Aisyah segera keluar kamar menemuinya.

“Sah, ada Nak Rizal.”

Aisyah mengangguk. Melepas mukenanya, menggunakan jilbab. Mengoleskan bedak supaya Rizal tidak tahu ia semalaman mengis.  Agar tak terlihat oleh Rizal matanya sembab.

“Sudah sehat Aisyah?”  kata Rizal basa basi. Ia mulai memanggil namanya saja.

“Kok tahu aku sakit, Mas?”

“Pak Yanu ngirim pesan, ngasih kabar kamu sakit.”

“Mas dari sekolah apa tempat kerja?’

“Aku ke sekolah pagi. Hanya sampai pukul 08.30. Selepas itu kerja. Maaf ya masih pake baju kerja. Dan datang pada waktu jam istirahat.”

“Nggak apa-apa Mas. Terimaksih, sudah dijenguk”

“Sakit apa? Kurang tidur?” Rizal menatapnya lekat.

Ia tahu bahwa Aisyah sembab kurang tidur. Dipandanginya gadis itu. Seperti bingung mengambil keputusan.

“Kok tahu, Mas.”

“Ada ikatan batin” seloroh Rizal.

Rizal dan Aisyah tertawa. Lelaki ini memang pandai menghiburnya. Mulai banyak bicara dan pembicaraannya selalu diselingi candaan.

“Aisyah, sejujurnya aku menyukaimu. Tapi jika kamu keberatan, tidak perlu dipaksa. Jangan sampai harus jatuh sakit, hhhh.”

“Nggak kok mas, banyak lemburan.”

“Bibirmu bisa bohong, tapi wajahmu selalu jujur, hhh. Tatapan yang kosong ”

Aisyah benar-benar malu dibuatnya. Rizal bisa menebak isi hatinya.

“Maaf kemarin sempat mengajakmu jalan-jalan. Kalau tidak bisa ya nggak apa-apa.”

Lagi-lagi Aisyah tersipu malu. Sebenarnya ia menaruh iba pada lelaki ini. Yang sudah berjuang keras melakukan pendekatan. Namun selalu ia sia-siakan.

“Tak pikir Mas, marah dan nggak ke sini lagi.”

“Ngapain marah. Hati tak bisa dipaksakan, santai aja. Jangan melakukan sesuatu yang membuatmu bersedih.”

Mak jlebb… Aisyah benar-benar terperanjat. Betapa lelaki ini tidak egois. Pandangan matanya bertemu. Entah mengapa hatinya tersentuh. Inilah kelebihan Rizal. Sabar.

“Mas, boleh nggak nanya?”

“Boleh,” katanya tenang. “Tanya apa, kalau tak bisa untuk PR ya.”

Aisyah tertawa sambil memukul lelaki itu. Rizal senang Aisyah bisa tertawa riang. Meskipun dengan candaan sederhana.

“Benarkah pacar Mas sering menggagalkan setiap wanita yang akan kamu nikahi?”

Ia tidak terkejut dengan pertanyaan Aisyah. Dengan tenang ia meledek Aisyah.

“Kamu memata-matai aku, ya.”

“Nggak, Cuma dikasih tau temanku.”

“Ya, karena calonku satu kampung. Makanya ibuku cari yang agak jauh. Nyatanya ia nggak nglabrak kamu, kan?”

Katanya penuh simpatik. Ia tidak berbohong dengan pernyataannya. Namun Aisyah masih penasaran.

“Hubungan kalian masih jalan?”

“Sudah putus 1 tahun lalu. Aisyah, kalau kamu menolakku nggak apa-apa kita bisa berteman. Atau aku akan menunggumu setahun, dua tahun, hhhh.”

Tumben lelaki ini banyak bercanda. Mungkin ingin menghibur Aisyah yang nampak penat.

“Ihh, ngaco. Mas mau jadi bujang lapuk.”

“Kamu sudah berobat? Aku antar ke dokter.”

Ia menunjukkan simpatinya pada Aisyah. Mungkin Aisyah masih terlihat pucat. Rizal iba dengan gadis itu. Gadis itu seperti pernah mengalami trauma yang berat.

“Sudah sembuh kok,  Mas”

“Oh, ya. Gimana kalau kita jalan-jalan. Oh, maaf….lupa kalau kamu nggak mau jalan sama aku“ katanya menepuk jidat.

Tingg. Bunyi pesam masuk. Rizal membuka chat dan menjawab. Cukup lama Rizal menjawab pesan masuk pada ponselnya.

“Pacarmu, mas.”

“Ihh, kepo” jawab Rizal melucu.

Rizal ternyum meledek Aisyah. Aisyah cemberut.

“Kamu cemburu? Hhh…bukan kok. Aku ini jomblo. Itu tadi pesan dari Pak Yan. Tanya posisiku.”

“Cemburu apaan, pacar bukan…”

‘Bukan pacar, tapi calo misua…hhh.”

Aisyah memukul Rizal dengan buku yang ia pegang. Mereka tertawa agak keras. Emaknya masuk membawa teh dan satu piring buah apel.

“Terimakasih oleh-olehnya, Nak Rizal.”

‘Sama-sama Bu. Bu…boleh nggak. Kami jalan-jalan Bu?”

Emaknya memandang Aisyah. Lalu menjawab dengan santunnya.

“Silahkan tapi tetap jaga Aisyah, jangan terlalu sore, ya.”

“Siap Bu,” janji Rizal pada Emak Aisyah.

Setelah Emaknya masuk. Aisyah bilang pada Rizal.

“Mas di sini saja. Ngapai jalan-jalan?”

“Biar kamu nggak suntuk. Jangan khawatir dekat sini aja. Cepat ganti baju.”

Aisyah masuk ke dalam. Mengganti baju. Ketika menarik baju yang terlipat. Sesuatu jatuh. Kotak cincin pemberian Rizal. Ia buka, dikenakan. Ketika mau dilepas sulit. Tangannya memerah, perih. Ia mengganti jilbab, mematut diri.

“Cantik” Rizal memujinya sambil melirik tangan Aisyah.

Aisyah menyembunyikan tangannya yang menggunakan cincin pemberian Rizal. Entahlah mengapa hari ini, tiba-tiba  seakrab itu. Lelaki ini pintar memperbaiki suasana hati Aisyah.

“Bu, kami pamit sebentar.”

“Silahkan, Nak! hati-hati,”  pesan ibu.

Aisyah masih malu dibonceng Rizal. Masih canggung. Ia duduk agak jauh dari posisi Rizal.

“Jangan terlalu ke belakang ntar, jatuh” kata Rizal meledek Aisyah yang duduk terlalu ke belakang.

Aisyah mencubit pinggang Rizal. Tanpa disadari keduanya. Ning Mya melihat dari balik jendela rumahnya. Ia tersenyum. Berdoa agar keduanya berjodoh.

“Maaf Aisyah, bukan muhrim. Jangan sentuh aku” Rizal meledek lagi, mengulang ucapan yang sering diucapkan Aisyah.

Kesedihan luntur dari hatinya Aisyah. Rizal membonceng Aisyah menuju desa Bangun Jaya mampir warung bakso Favorite.

“Mbak bakso 2” pesan Rizal pada pelayan. Dua orang pelayan muda yang cukup cantik. Berjilbab rapi.

“Kalau mau gorengan sama seblak bisa ambil sendiri” kata Rizal, menunjuk tempat seblak dan gorengan yang boleh diambil sendiri oleh pembeli.

“Sering ke sini, Mas.”

“Jarang, kalau lagi pengin bakso ayam.”

“Pak Yan minta maaf pada Aisyah, mungkin Beliau merasa terlalu memojokanmu. Ketika beliau minta kepastian” kata Rizal terlihat bijak dan dewasa. “Sampai kamu bingung menjawabnya. Akhirnya jatuh sakit.”

“Bukan gitu mas” jawab Aisyah sambil nyubit Rizal.

Rizal mendekatkan kepalanya ke Aisyah. Memperingatkan tingkah Aisyah.

“Jangan cubit lagi, mbak pelayan jadi baper.”

Aisyah melirik dua pelayan warung Favorite. Jadi malu, mereka sesekali melihat ke arah Aisyah dan Rizal. Kedua pelayan itu tersenyum.

Mereka menikmati bakso. Aisyah tidak mau mengambil gorengan. Diambilkan beberapa oleh Rizal, sekalian sambal kacangnya. Rizal juga mengambilkan 2 juz dari almari es yang berada di pojok warung itu.

“Cicipi enak lho. Aku suapi. Sambil menempelkan lengannya pada tubuh Aisyah. Aisyah tersenyum. Aisyah menggeleng.

“Mas Rizal.”

“Hemm,” jawab Rizal sambil mengunyah baksonya. Ditusuknya gelas juz diberikan pada Aisyah.

“Terimaksih, Mas.”

Aisyah melirik Rizal. Sekilas melihat lelaki ini makan. Ia selalu tampil tenang. Sikapnya yang perhatian pada Aisyah, membuatnya mulai luluh.

“Apa Mas kecewa kalau Aisyah menolak lamaranmu.”

“Pasti dong, Mas akan menjadikan hari ini, sebagai hari berkabung nasional.”

Aisyah mencubit Rizal. Rizal memperingatkan lagi, karena sedari tadi pelayan warung itu melihatnya. Sebab kondisi warung lagi sepi hanya ada beberapa orang. Yang menarik perhatian pelayan adalah sikap Rizal yang melayani Aisyah. Mengambilkan makanan dan minuman dengan telaten.

“Jangan cubit-cubit, diliat mbak pelayan itu. Nah, tuh orangnya baper.”

Hari ini Rizal tidak seperti biasanya, sikap lebih manis. Kemarin masih kaku, tampil serius. Aisyah diam, makan sampai baksonya habis. Kenapa hari ini Rizal  bersikap lebih akrab. Jadi bertingkah lucu, kerap mbanyol. Gumam Aisyah.

Ia menuju kasir. Membayar. Terus mengandeng tangan Aisyah. Aisyah tidak menolak diperlakukan seperti itu.

“Mas kita pulang, ya?”

“Ok,” jawabnya. “Aisyah…”

“Ya Mas.”

“Maksud Pak Yanu kemarin. Segera beri keputusan, ya atau tidak. Nggak mau denganku juga tak apa-apa. Kalau jawabanmu ya. Aku terimaksih.”

 Aisyah terdiam. Rizal dengan tenang mengendarai motornya.

“Mas, menduga apa?”

“Aku ini lelaki realistis, jawaban apapun aku terima.”

Aisyah terdiam. Sejak tadi malam ia telah mengambil keputusan. Keputusan yang mampu membahagiakan kedua orang tuanya.

“Mas Rizal.”

“Hemm … .”

“Aku siap menerima perkenalan ini.”

Rizal mengerem mendadak. Untung jalanan sepi. Kemudian Rizal meneruskan perjalanannya. Tidak menyangka Aisyah bersedia.

“Jangan karena terpaksa, ntar kamu tersiksa dan jatuh sakit.”

“Nggak, kok Mas.”

“Kalau nggak terpaksa tersenyum dong, Aisyah! Nah begitu, kan enak” tutur Rizal. Kalau begitu, nanti aku ngomong Pak Yanu.”

“Mas  Rizal.”

“Hemm…,”

“Maafkan sikapku yang ngeselin selama ini.”

“Nggak kok, tak pernah merasa sikapmu ngeselin. Oh ya, keputusanmu ini ada yang memaksakan?’

“Nggak, Mas.”

“Aisyah boleh aku menggenggam tanganmu.”

Aisyah terdiam, membisu. Tidak menjawab.

“Aku ingin merasakan keputusanmu ini, serius apa tidak.”

Sambil mengendarai motor tangan kiri Rizal meraih tangan Aisyah, digenggamnya. Rizal melihat wajah Aisyah dari kaca spion.

“Mas, antar aku pulang ya.”

“Ya, siap.”

“Nanti aku bicara sama bapakmu kalau, sewaktu-waktu Pak Yanu datang ke rumahmu.”

“Ya, mas. Untuk apa?”

“Membicarakan kelangsungan hubungan kita. Nggak baik kalau seperti ini terus.”

Dilepaskan tangan Aisyah. Karena Motor Rizal hendak menuju jalan raya.

Mereka masuk rumah. Bapak dan Emak Aisyah duduk di ruang tamu. Aisyah dan Rizal duduk.

“Bapak, Ibu dalam minggu ini, Pak Yanu akan meminta persetujuan, kapan keluarga sini silaturahmi ke rumah.”

Orang tua Aisyah memandangi anaknya. Tersenyum lega. Bahagia terpancar dari wajah bapak ibu Aisyah.

“Silahkan Nak Rizal, Alhamdulillah.”

“Pak, Bu, sudah sore. Aku pulang dulu.”

“Aisyah antar nak Rizal sampai depan.”

Aisyah mengangguk. Rizal berjalan di samping Aisyah. Menggenggam tangannya.

“Sekali lagi, terima kasih. Aku berjanji untu mencintamu setulus hati.”

Aisyah tersenyum dan mengangguk pelan. Hatinya lega karena telah memenuhi permintaan orang tuanya.

“Jangan lepaskan cincin itu. Aku beli dari keringatku, ketika pertama kali bisa bekerja.”

“Andai rumahmu nggak dekat jalan raya, aku akan mencium keningmu”goda Rizal

Aisyah mencubit lengan Rizal. Rizal mengaduh, meringis.

“Mulai ganjen.”

Rizal menggoda Aisyah dengan menyentuh pipinya. Aisyah menjauh. Sambil meledek Rizal.

“Bukan muhrim.”

“Nanti malam aku ke sini ya, kangen.”

Digoda Rizal. Aisyah meledeknya. Dengan tenang ia menjawab.

“Bisa-bisa anda di tangkep hansip.”

Merekapun tertawa lirih. Rizal menstater motornya. Sambil tersenyum bahagia.

“Kebetulan biar cepat nikah.”

Aisyah termenung di samping pintu. Bersandar. Demi Bapak, aku menerima cinta Mas Rizal. Gumamnya. Rizal mulai bisa mendamaikan suasana. Meledek Aisyah, dan membikinnya tertawa bahagia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar