Kamis, 30 September 2021

21. Makna Sebuah Mimpi

 


Sudah hampir seminggu, sejak kedatangan Pak Yanu ke rumah Aisyah. Ia belum mampu memberi jawaban atas kesanggupannya menikah dengan pemuda itu. Aisyah mencoba introspeksi diri. Benarkah dirinya masih mencintai Subkhi? Dengan tegas hatinya menjawab tidak. Namun ia masih sulit menerima lelaki lain. Semacam trauma dalam dirinya. Suatu ketika, suasana kantor sepi. Aisyah free class, Pak Yanu mendekatinya.

“Bu Aisyah, bagaimana? Sudah punya jawaban? Dulu aku salat istiharah, beberapa kali. Sudah menemukan jawaban, hhhh”

Aisyahpun melakukan seperti halnya yang dilakukan Pak Yanu. Salat istiharah secara rutin. Kemarin malam ia bermimpi dikejar banyak ular berbisa. Sampailah ia pada sebuah sungai kecil yang jernih. Ular-ular tersebut terjebak di sana. Namun ular-ular itu berhasil lolos merayap keluar dari sungai. Tetap memburu Aisyah, menuju sebuah muara yang cukup dalam. Kondisi Aisyah kelelahan, napasnya tersengal-sengal. Di situlah ia ditolong oleh seorang pemuda yang perawakannya mirip dengan tamu Pak Yanu seminggu yang lalu. Meskipun wajahnya tak terlihat jelas, samar.

“Bu Aisyah, bagimana? Kok melamun?”

“Oh, iya Pak. Gimana kalau saling kenal aja dulu.”

“Oh, ide bagus itu. Terimakasih Bu Aisyah.”

“Iya , mohon maaf, ya pak.”

“Selalu aku doakan, niatan baik selalu berakhir baik. Allah selalu memberi jalan.”

Hari Minggu, kegiatan Aisyah merapikan rumah dan mencuci baju. Terdengar Emaknya sedang berbincang-bincang dengan tamu. Belum pernah mendengar suara itu. Mungkin tamunya bapak, atau orang menanyakan alamat. Begitulah rumah dekat jalan raya, kadang ada orang yang butuh bantuan untuk menunjukkan alamat yang hendak dituju.

“Sah, ada tamu, temanmu!” panggil Emaknya.

“Iya Mak sebentar” Jawab Aisyah sambil mengenakan jilbab.

Aisyah terkejut, Rizaldi datang ke rumah. Aisyah mempersilahkannya duduk di ruang tamu. Sikap Aisyah nampak kikuk. Tidak menyangka ia datang. Padahal Aisyah belum memberi jawaban.

“Apa kabar, Mbak Aisyah” katanya memecahkan kekakuan.

Ia memanggil “Mbak”. Maklum baru kali ini bertemu berdua, tanpa ada Pak Yanu.

“Baik, Mas Rizal.”

“Terimakasih kamu telah menerima perkenalanku.”

Aisyah tersenyum. Rizal lelaki yang tidak banyak bicara. Suasana terkesan canggung. Lebih banyak diam dari pada saling bertanya. Ingin tanya pekerjaan, terasa nggak enak.

“Mas Rizal, masih saudara Pak Yanu.”

“Nggak, cuma tetangga.”

Emak Aisyah datang membawa teh hangat dan singkong goreng”

“Oh, jadi Nak Rizal ini, tetangga Pak Yanu” kata Emak Aisyah ikut nimbrung.

“Betul Bu, saya ingin kenal lebih dekat dengan Mbak Aisyah.”

“Oh, iya. Panggil aja Aisyah biar lebih enak. Silahkan dicicipi singkongnya.”

Kata Emak Aisyah. Rizal mengangguk. Meninggalkan keduanya. Keduanya masih terdiam. Akhirnya Rizal mengawali pembicaraan.

“Mengajar kelas berapa di MI?”

“Kelas 4, masih pemula. Belajar mendidik anak-anak.”

“Apa masih fresh graduate?”

“Ya, lulus tahun lalu.”

“Dari perguruan tinggi mana?”

“IAIN Tulungagung.”

Perbincangan yang masih kaku. Keduanya masih enggan berbincang hal yang terlalu pribadi.

“Mas sendiri, kuliah di mana?

“Aku dari UMM?”

“Malang? Ngambil jurusan apa?”

“Iya. Pendidikan.”

“Wah. sama dong, jurusannya.”

“Cuma aku nggak full bekerja di sekolahan.”

“Oh, …” Aisyah heran.

Kaum Adam bisa membagi waktu seperti itu. Laki-laki nggak mikir dapur. Pagi bisa berangkat tanpa harus berfikir sudah rapi apa belum pekerjaan di rumah.

Ia tidak mngatakan jenis pekerjaannya. Pak Yanupun tidak mengatakannya. Keduanya kembali terdiam. Rizal mencipipi singkong. Aisyah membenarkan insting emaknya, bahwa ia lelaki baik. Rizal bukan tipe laki-laki yang nggak gampang sok kenal sok dekat. Jadi belum menunjukkan keakraban. Selang beberapa lama Rizal mohon pamit Aisyah mengantarnya sampai depan pintu.

“Sah, sikapnya baik ya. Tidak berlebihan.”

“Iya Mak. Emang baru ketemu sekali.”

“Dua kali, Sah. Tapi firasat Emak, ia laki-laki yang baik.”

“Mungkin Emak merasa gitu, karena yang mengenalkan kepala sekolahku. Coba kalau orang lain?” kata Aisyah.

“Nggaklah, sikapnya bersahaja. Sopan dan lugu.”

Aisyah mengangguk membenarkan Emaknya. Ia akan terus berdoa, salat istiharah sampai akhirnya yakin ini jodohnya. Meskipun saat ini, ia belum ada rasa dengan Rizal, mau menolak tidak ada keberanian.

Setelah kedatangan Rizal pada hari Minggu, selanjutnya Rizal kerap datang ke rumah Aisyah. Dalam satu minggu, bisa dua atau tiga kali bertandang. Ketika belajar ngaji di rumah Kang Asrom, ia diledek oleh istrinya Kang Asrom.

“Akhirnya, kamu move on juga. Lumayan ganteng lho.”

“Wah, Ning Mya ngintip, ya.”

“Nggak kok. Lagi nyiram bunga aja. Kok ada cowok apel. Bahaya lho kalau nggak cepet ada lamaran. Bisa jadi fitnah.”

“Masih kenalan dulu, Ning.”

“Jangan lama-lama, ntar banyak godaan. Jadinya gagal. Belajar dari pengalaman yang lalu.”

Aisyah mengangguk. Merenung. Pertama kali ketemu Rizal tidak ada getar apapun. Biasa. Perkenalan sudah satu bulan terasa masih bekum ada rasa sedikitpun. Hanya merasa nyaman, ngalir. Banyak mendapat pengalaman aja. Rizal banyak memberi semangat dan nasihat. Entahlah.


20. Pilihan Pak Yanu

 


Hari minggu Aisyah bertandang ke rumah Ibunya Zam Zam. Merasa dicueki  bocah itu, merasa tak enak hati. Dijauhi siapapun Aisyah sanggup, tapi jika Zam Zam yang bersikap seperti itu, membuatnya kepikiran. Anak ini yang  mampu membuatnya tertawa setiap hari.

Sampai di sana masih sepi. Tidak bertemu Zam Zam, padahal biasanya bermainItu sepak bola di halaman rumah.

“Assalamualaikum,”sapa Aisyah

“Waalaikum salam, Aisyah, masuk,”jawab ibu Zam Zam hafal suaranya.

“Aku di dapur masuk aja.”

“Bikin, apa Bu?”

“Ini lho buat rempeyek.”

“Bu, Zam Zam ada.”

“Nggak ada, potong rambut sama ayahnya.”

Aisyah duduk di kursi, sambil membantu ibunya Zam Zam membuat rempeyek. Memotong biji kacang tanah menjadi bagian kecil. Rempeyek, lauk kesukaan Zam Zam.

“Bu, Zam Zam kok menjauh ya, denganku.”

“Oh itu to. Gini ceritanya. Ia dengar kamu masih berhubungan dengan Subkhi. Padahal Zam ngarep kamu berjodoh dengan Pak Mumtaz.”

Ibu Zam Zam tertawa. Mengingat begitu gigihnya Zam menjodohkan Aisyah dengan wali kelasnya.

“Kok dia tahu Bu gossip itu.”

“Waktu ngaji di rumah Pak Lik Asrom dengar pembicaraan Emakmu dengan istri Kang Asrom.”

“Emak tahu, Bu.”

“He eh, Apalagi sekarang ada medsos.”

“”Emak gimana, Bu?”

“Sebaiknya kamu cerita sama Emakmu. Cepet nikah. Mertua Subkhi itu suka nglabrak orang lho. Kasihan Emakmu. Sikap Zam abaikan aja, ntar juga lupa dengan sendirinya.”

Padahal sejak semula ia bersikukuh tidak meladeni Subkhi. Supaya tidak terjadi rumor yang tidak sedap. Sebenarnya ia ingin mengatakan tentang paket itu. Paket pemberian Subkhi. Tapi diurungkan, takutnya menambah santer rumor itu. Segera pamit untuk menjelaskan pada Emaknya.

“Aisyah, bawa rempeyek ini, untuk lauk. “

“Emak sudah buat, kok.”

“Bawalah, tadinya mau aku antar.  Nanti sore ke rumahmu. Kebetulan kamu ke sini.

“Terimakasih Bu, aku pulang dulu.”

Ibu Zam Zam iba dengan anak itu. Sopan, baik tapi nasibnya tidak berfihak padanya. Semoga kelak mendapat jodoh laki-laki baik.

Sampai di halaman rumahnya Aisyah melihat ada sepeda gunung. Sepeda yang bagus, pasti mahal harganya. Milik siapa? Ia segera lewat samping rumah menuju kamar. Di ruang tamu bapak dan Emaknya sedang menemui tamu. Seperti suara Pak Yanu. Ya, Suara Pak Yanu.

Terdengar langkah kaki emaknya menuju dapur. Aisyah menyusulnya. Emaknya membuat kopi untuk Pak Yanu.

“Mak, Pak yanu nggak minum kopi. Teh atau air mineral,”kata Aisyah

“Sah, kamu dari mana? Sembunyi di kamar? Pak Yanu mencarimu. Ia menanyakan kesedianmu menikah dengan pemuda yang sudah dipertemukan denganmu, kemarin.”

Emaknya menyampaikan pesan Pak yanu dengan berbisik. Karena sudah terlanjur bilang Aisyah tidak di rumah.

“Mak, bilang aku tidak di rumah, ya”

“Tadi aku bilang begitu, ternyata kamu di rumah."

Emaknya segera mengantar minuman. Aisyah mendengarkan pembicaraan mereka.

“Ia pemuda baik Pak. Anak bungsu, seorang janda. Saya mengenalnya sejak ia kecil.”

“Nanti, kami bicarakan dengan Aisyah, Pak Yanu,”kata Bapak.

“Apa mereka telah bertemu", tanya Emak Aisyah memastikan.

“Sudah di sekolah, Bu. Misalnya hari ini Aisyah ada kan saya tahu jawabannya,"jawab Pak Yanu.

“Bapak/Ibu saya pamit dulu. Namun besar harapan Aisyah berjodoh dengan Mas Rizal.”

“Kenapa buru-buru Pak.”

“Tadi saya nggowes sekalian mampir, biar nggak terlalu mencolok. Warga sini, banyak yang menyekolahkan anaknya ke Mi Ar Rahmah.”

Bapak Aisyah terlihat bahagia, anaknya segera dapat jodoh. Namun Emaknya tidak terlalu. Ia mengerti kondisi Aisyah yang sedang patah hati.

“Sah, dicari bapakmu,”panggil Emaknya

“Ya, Mak, sebentar.”

“Kamu di rumah, Sah. Nggak sopan. Pak Yan ke sini tidak kamu temui,”suara bapaknya agak meninggi. “Besok kamu harus punya jawaban.”

“Pak, gimana jika aku menolak.”

“Sah, kamu jadi gunjingan orang. Merusak rumah tangga Subkhi.”

“Tapi … aku ..,”kata Aisyah serak.

Ia kehabisan kata-kata, betapa dahsyatnya isu itu. Dirinya telah dituduh jadi pelakor. Di depan Bapaknya ia hanya bisa menangis. Beban yang semula ingin ia tanggung sendiri. Membuncah, akhirnya keluar tak terbendung.

“Hanya cara ini, kamu bisa keluar dari gunjingan itu. Bapak tahu kamu tak meladeni. Tapi posisi kita sebagai orang yang tidak mampu selalu salah,”petuah Bapaknya. “Gunjingan itu sudah lama Bapak dengar. Menunggu kamu cerita kebenaran isu itu.”

“Aku belum siap, Pak.”

“Berarti kamu benar-benar belum bisa melupakan Subkhi.”

Aisyah ingin menagis, menjerit. Ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.

“Bapak, waktu semua teman sekelasku memosting moment pernikahan Subkhi pada story WA-nya. Sejak saat itu, aku melupakan Subkhi. Jelas sekali wajah bahagia Subkhi. Berfoto, selebrasi dengan gembira. Ia sudah menemukan kebahagiannya”

Itulah jeritan hatinya. Yang tak mampu ia ungkapkan pada Bapaknya.

“Pak, sudah. Aisyah perlu waktu. Tadi Pak Yanu memberi waktu satu minggu.”

“Sah, kamu harus salat istiharah. Agar menemukan jalan keluar,”pesan Bapak.

“Iya, Pak,”jawab Aisyah.

Bapaknya nampak murung. Lelaki tua itu perlahan bangkit menuju kamar tidurnya. Aisyah kasihan melihat Bapaknya. Menaggung malu, karena dirinya.

“Sah, salat istiharah itu tidak cukup satu kali. Berkali-kali, sampai kamu yakin. Yakin menerima maupun menolak.”

“Mak, semua kakak-kakakku bahagia dengan pilihan hatinya.”

“Bukankah Bapakmu juga sudah memberi kebebasan untuk memilih. Nyatanya takdir berkehendak lain, kan?

“Iya Mak. Aku mengerti."

“Atau kalau mau menolak kamu harus punya calon. Calon yang sebaik pilihan kepala sekolahmu."

"Entahlah, Mak."

“Perasaan Emak, ia lelaki yang baik. Meskipun belum ketemu. Istirahatlah.

19. Tamu Pak Yanu

 


Suasana ruang kantor kembali ramai candaan. Yang menjadi bahan candaan Pak Mumtaz, pengantin baru.Mungkin yang dilontarkan bapak ibu guru adalah pengalaman pribadinya. Gurauan tentang kisah lucu pengantin baru. Pengantin yang kesiangan bangun. Pasangan baru yang menjadi pusat perhatian keluar kamar. Pengantin putri yang dipelototi cara berjalannya. Banyak lagi kisah lucu yang mereka sampaikan. Aisyah senang mendengar candaannya mereka, ikutan tersenyum. Tawa canda itu rupanya tidak dinikmati oleh Pak Yanu dan Bu Rahma. Dua pimpinan itu nampaknya hanya tersenyum tipis. Mungkin terlalu lama kejadian itu, lupa kisahnya menjadi pengantin baru. Atau ada ganjalan dibenak keduanya, Aisyah hanya melihat sekilas.

“Bu, pernah nggak nonton acara Desta Vincen, yang bintang tamunya dr. Boyke,”kata pak Restu. Beliau Nampak senang melihat sahabat menikah dan bahagia. Kedua tempat duduknya berdekatan. Sesekali Pak Restu menepuk bahu temannya itu. Gelak tawa berderai.

“Iya Pak res, aku nonton, lucu sampai terpingkal-pingkal,” jawab Bu Syifa. “jangan diceritakan di sini, ada yang belum cukup umur.

“Haha…tonton aja diskusi mereka di youtube,”lanjut Pak Syamsu

“Temanya apa Pak,”tanya Bu Timi

“Seputar hubungan suami sitri Bu,”jawab Bu Aina terkekeh

“dasar bapak bapak tontonannya begituan,”jawab Bu Tini sambil tertawa.

“Itu ilmu berkeluarga, lho Bu Tin,”jawab Pak Syamsu dan pak Restu kompak.

Begitulah waktu istirahat digunakan para guru untuk bercanda. Sampai akhirnya bel berdentang, tinggal Aisyah dan pak Yanu yang masih berada di kantor.

“Bu Aisyah, bisa nggak bicara maslah pribadi,”tanya Pak Yanu mempersikahkan Aisyah duduk di kursi tamu.

Di ruang kantor hanya Pak Yanu dan Aisyah. Dahi Pak Yanu Nampak  berkerut. Beberapa menit kemudian, ia bertanya.

Bu Ausyah, masih punya pacar,”tanya Beliau.

Aisyah mengeja kata “masih” dalam benaknya. Be;liau tidak menggunakan kata “belum”. Aisyah menjawab.

“Tidak Pak Yan,”jawab Aisyah

“Benarkah/,”tanya beliau menatap manikmanik mata Aisyah.

Kewibawan Beliau membuat Aisyah sedikit grogi. Selain itu ia khawatir Pak Yanu mengetahui permasalahannya dengan Subkhi.

“Betul, Pak,”jawabnya agak bergetar

“Begini Bu, ada teman yang mencari jodoh anaknya. Lelaki baik. Ia sudah bekerja. Setiap malam mengajar anak-anak mengaji di Pondok dekat rumahnya.”

“lelaki sebaik itu dicarikan jodoh oirang tuanya, Pak,”tanya Aisyah

“sebenarnya ia telah memiliki pacar. Namun bukan perempuan baik-baik. Artinya gadis yang tepat untuk diajak berkeluarga.”

“nanti pacarnya gimana Pak?

Selama ini ketka mas ini dicarikan jidoh, ya dilabrak

“kayaknya nanti dampak nggak baik Pak, kalau begitu. Perempuan itu bisa menganggu. Nanti ia lari dengan pacarnya Pak, hhh

Aisyah beralibi. Biar Pak Yanu berfikir ulang

“kemarin malam kami bertiga diskusi, aku, ia dengan ibunya, bila nanti aku carikan istri yang baik. Apa bisa memperlakukan dengan baik.

Aisyah masih ingin sendiri sebetulnya. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak tawaran Pak Yanu.

Berkenalan dulu. Tidak harus jadian.”

“Besok ia akan saya minta ke sini.

Aisyah benar-benar terkejut. Berkenalan di madrasah, banyak siswa dan guru. Ian anti pasti jadi bahan candaan lagi.

Kalau di tempat lain gimana Pak

“jangan khawatir, nanti saya atur supaya guru tidak tau jika kalian ingin ketemuan?

Keesokan harinya, ada beberapa tamu Pak Yanu. Beberapa guru cukup umur.

“bu Aisyah , tolong siapkan air mineral untuk tamu,”permintaan Pak Yanu

Aisyah heran masak usianya lanjut. Rambutnya sudah campur hitam dan putih.

“Siapa tamunya Bu Aisyah, “tanya Bu Syifa

“Kayaknya bapak-bapak guru, Bu,”jawab Aisyah

Pak Yanu masuk kantor. Menanggil Bu syifa agar masuk ruang kepala sekolah.

“ternyata mereka minta iuran untuk beaya buat KTA, Bu,”jawab Bu Syifa kembali ke ruang kepala membawa uang iuran,

Beliau pengurus PGRI yang meminta iuran beaya pembuatan Kartu Tanda Anggota PGR.

Setelah dua orang tamu berlalu. Datanglah seorang pemuda yang mengenakan seragam.

Bu Syifa, Bu Aisyah tolong siapkan air untk tamu. Messkipun berkata begitu, Pak Yanu memberi isyarat pada Aisyah. Aisyah membawa dua gelas air mineral.

“Bu Aisyah, tolong bely a, waktu salat berjamaah

Pemuda yang menyodorkan kertas untuk ditandatangai pak Yanu, memandang Aisyah. Keduanya saling pandang

Iya Pak.

Semua warga sekolah menuju masjid. Salah jamaah dilaksanakan dengan khusuk. Setelah kultum semua siswa pulang ke rumah masing-masing. Aisyah merasa sediah. Zam zam masih jaga jarak dengannya.

“Bu Aisyah, pemuda yang aku maksud kemarin. Rizaldi namanya,”kata pak yanu lirih

‘Iya Pak,”

 

Rabu, 29 September 2021

17. Pertemuan yang Tak Diiginkan

 


Aisyah berangkat mengajar pukul 06.15 menit. Mengayuh sepedanya. Sepeda yang dipenuhi bercak karat. Menunjukkan sepeda itu telah berumur. Senyum bahagia terpancar dari hatinya. Beberapa warga desa menyapanya. Aisyah menjawab dengan anggukan dan senyuman. Tiba-tiba Zam Zam telah bersepeda di sampingnya. Tanpa ada basa-basi sama sekali. Biasanya nyerocos sampai Aisyah kewalahan menjawab. Bocah itu sesekali melihat wajah Aisyah. Begitu pula Aisyah memandang bocah ganteng itu.

“Zam, udah sarapan. Ibumu masak apa?,”tanya Aisyah.

Bocah itu belum menjawab. Hanya menggerakkan sepedanya zig zag. Aisyah tersenyum, melihat bocah di sampingnya yang lagi manyun.

“Zam, kamu sakit gigi, ya?,”tanya Aisyah lagi.

Belum ada jawaban. Ia menatap lurus ke arah jalanan yang mulai padat pengendara. Mengayuh sepedahnya zig zag. Kayaknya lagi jengkel bocah ini. Aisyah ingin membuat anak ini mau bicara. Ia melambatkan sepedanya, sehingga tertinggal jauh dari Zam Zam. Dugaan Aisyah salah, bocah itu tidak berhenti, menolehpun tidak. Aisyah heran anak itu kenapa?

Sampai di madrasah Aisyah mencari Zam Zam. Biasanya ia bermain-main dengan anak kelas 1. Tapi tidak ada di halaman madrasah. Kemudian ia mendongak ke lantai dua, terlihat Zam Zam memandangnya dari kejauhan. Ketika Aisyah melambai tangan untuk menyapanya, ia berlalu begitu saja. Zam Zam masuk kelas 6 dengan ekspresi manyun.

Aisyah membimbing siswa kelas 1 sampai 3 membersihkan halaman, kelas dan teras lantai bawah. Beberapa menit kemudian banyak guru yang datang. Mereka memarkir kendaraan dan segera membimbing siswa membuang sampah. Sebelum sampai ke pembuangan, sampah organik dimasukkan lubang sampah organik. Sedangkan sampah anorganik dimasukkan ke dalam tong. Sampah anorganik akan diambil oleh pembeli barang rongsok pada sore harinya. Sedangkan sampah organik akan dijadikan kompos untuk pupuk sayuran yang ditanam siswa pada pot. Baik sayur, buah maupun toga. Pak Yanu berinovasi membimbing siswa berkebun.

Setelah bel berbunyi, Aisyah segera masuk kelas 4. Aisyah mengucapkan salam dengan hangat.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

“Apa kabar kalian hari ini?”

“ Alhamdulillah” (semua siswa menegadahkan tangan)

“Luar biasa” (semua siswa kedua ujung telapak bertemu dan membentuk lingkaran)

“Kelas empat hebat” (semua siswa kedua jempol di dorong sejajar dada)

“Pasti bisa” (semua siswa telapak tangan kanan dikepalkan diangkat sejajar bahu)

“Allahu Akbar ( semua siswa kepalan tangan diangkat tinggi, sejajar kepala)

Itulah yel-yel siswa kelas 4 ketika menjawab pertanyaan Aisyah tentang kabar mereka hari ini. Yel-yel  setiap hari akan diubah sesuai kesepakatan siswa dengan guru.

“Silahkan siswa yang datang paling awal untuk memimpin doa,”perintah Aisyah

“Persiapan. Diam. Berdoa mulai,” Zumar mengawali memimpin doa.

Semua siswa kelas 4 bersama-sama memulai doa dengan lafal dan gerakan yang telah ditentukan Aisyah.

“Tangan diangkat, kepala ditundukkan berdoa mulai.”

Begitulah kekompakan kelas 4 ketika memulai pembelajaran. Setelah selesai berdoa Aisyah, mengingatkan kembali materi yang telah lalu. Juga mengaitkan materi sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari. Kemudian dimulailah pelajaran hari ini. Tujuan siswa mampu membuat skema siklus hidup beberapa jenis mahluk hidup yang ada di lingkungan sekitarnya.

Aisyah mengajak anak-anak masuk ruang multimedia, hanya beberapa langkah dari ruang kelas 4. Ia menggunakan laptop madrasah, untuk menampilkan gambar pada layar LCD sebuah kepompong yang menempel pada sebuah dahan pohon.

“Perhatikan gambar pada layar anak-anak! Gambar apa?,”tanya Aisyah.

“Kepompong!,”jawab anak-anak

“Kepompong menempel pada dahan!,”jawab yang lain

“Tepat! Anak-anak, apa yang kalian ketahui tentang kepompong?,”tanya Aisyah.

“Kepompong dari ulat, Bu?”, jawab Arman

“Bagus! Yang lain … ,”Aisyah mempersilahkan siwa mengemukakan pendapat.

“Pertumbuhan dari telur ulat, Bu,”jawab Chilla.

“ Baiklah anak-anak, pendapat Arman dan Chilla benar semuanya!,”reward Aisyah untuk kedua muridnya. “Betul sekali, kepompong dari telur, menetas menjadi ulat."

Kemudian Aisyah mulai berjalan berkeliling. Coba siapa yang tahu, telur yang menetas itu. telur hewan apa?"

"Kupu-kupu!," jawab seisi ruang multimedia.

“Hebat sekali. Perhatikan gambar pada layar!”permintaan Aisyah. “Gambar apa anak-anak?”

“Pertumbuhan kupu-kupu!” jawab beberapa anak.

“Urutan pertumbuhan kupu-kupu!,”jawab Rafly

“Benar sekali, gambar tersebut adalah daur hidup kupu-kupu.”penegasan Aisyah.

Raikhan mengangkat tangan, mengajukan pertanyaan.

“Semua hewan mengalami daur hidup ya Bu?,”tanyanya.

“Benar Raikhan semua hewan mengalami daur hidup,”jawab Aisyah

“Tapi kucing, belalang, dan ayam tidak mengalami masa kepompong, Bu Aisyah?,”sanggah Dama.

"Ada yang bisa menjawab pertanyaan Dama?,”tanya Aisyah.

Semua siswa terdiam. Merasa tanggapan Dama benar adanya. Beberapa siswa membuka buku tematik. Tapi belum ada yang menemukan jawabannya. Beberapa lama kemudian Chilla mengangkat tangan.

“Menurut bundaku tadi malam. Belalang dan kupu-kupu daur hidup tidak sama. Karena hewan mengalami daur hidup sempurna dan tidak sempurna,”penjelasan Chilla dengan lancar.

Chilla ini memang rajin belajar. Ia sering diantar Bundanya mengikuti olimpiade sains yang diadakan lembaga bimbingan belajar baik di Tulungagung maupun Trenggalek.

“Luar biasa Chilla,”reward Aisyah padanya. Sambil menepuk bahu Chilla hangat. “Ada yang lain. Memang benar, ada hewan yang mengalami daur hidup sempurna dan tidak sempurna.”

Untuk memancing rasa ingin tahu siswa, Aisyah membagikan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Dalam lembar tersebut siswa dibimbing menemukan beberapa contoh hewan yang mengalami daur hidup sempurna dan tidak sempurna. Menggambar siklus hidupnya. Berdasarkan siklus tersebut siswa akan berdiskusi membandingkan daur hidup sempurna dan tidak sempurna. 

Aisyah berkeliling untuk membimbing siswa menyelesaikan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Tak lupa ia menghimbau siswa agar mempersiapkan diri melakukan presentasi. Perwakilan kelompok melakukan presentasi hasil diskusi di depan kelas. Pada situasi inilah Aisyah memberikan apresiasi kepada kelompok siswa yang mampu menampilkan hasil diskusinya dengan baik. Setelah menyusun kesimpulan bersama siswa. Beberapa pertanyaan terbuka diajukan kepada siswanya sebagai implementasi melakukan kegiatan tindak lanjut. Tidak lupa Aisyah menutup pembelajaran. Menginformasikan materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Sekaligus meminta ketua kelas memimpin doa.

Setelah melaksanakan ibadah salat zuhur berjamaah di masjid sekolah. Aisyah membeli obat diapotek Durenan. Obat asam urat pesanan emaknya. Ketika sedang menunggu antrian, Aisyah dikejutkan oleh suara yang tak asing baginya.

“Aisyah, … Apa kabar?,”tanya lelaki itu menyiratkan wajah bahagia.

Aisyah terkesiap, diam dalam beberapa detik. Ia mencoba tersenyum dan menjawab datar. Menatap lelaki itu. Lelaki yang tak ingin ia temui selamanya. 

"Astaghfirullah! Mengapa aku menyimpan rasa benci yang mendalam. Padahal aku manusia biasa. Sang Khlalikpun selalu memaafkan hamba-hamba-Nya,"jeritnya dalam hati.

Segera ia mulai memilih kalimat yang tepat. Kalimat yang yang tak menyiratkan amarah.

“Baik, kamu?,”tanya Aisyah balik.

Lelaki itu mencoba memegang tangan Aisyah. Aisyah menepisnya pelan. Beberapa pembeli melirik keduanya. Aisyah mulai memesan obat. Lelaki itu masih menunggunya, didekat sebuah motor scoopy. Ternyata hobinya masih sekitar vespa. Dulu lelaki itu ke kampus menggunakan vespa uniknya. Gumam Aisyah. Aisyah berharap Mbak apoteker memilih obatnya lama. Huh, ternyata cuma sebentar. Aisyah segera membayar, dan mulai mengayuh sepedanya.

Lelaki itu mendekatinya. Memandang Aisyah dengan sendu. Aisyah dengan tegar menatapnya. Ketika lelaki itu hendak memegang tangannya, Aisyah segera berlalu meninggalkannya.

“Aisyah, jangan sampai kita jadi tontonan orang,”kata lelaki itu.

“Apa maumu?,”tanya Aisyah lantang.

“Mengajakmu berbicara baik-baik,”jawab lelaki itu.

“Silahkan!,”kata Aisyah

“Di sini bukan tempat yang tepat,”katanya. “Gimana kalau kita ke warung ayam sebelah barat lapangan Durenan.”

“Pantaskah pria beristri mengajak perempuan lain ngudap di sebuah warung?,”kata Aisyah menguji kestiaan lelaki itu pada istrinya.

“Tergantung niat,”jawab lelaki itu

“Niatmu apa?,”jawab Aisyah penuh selidik.

“Nanti kamu tahu, Aisyah.”

Nada bicara lelaki itu meninggi, namun wajahnya sayu penuh harap. Entahlah Aisyah penuh iba melihatnya.

“Baiklah 30 menit kita bicara di sana,”jawab Aisyah. “Ke sana dulu aku menyusul.”

“Nggak, kamu pasti tidak datang,” tolak lelaki itu, tidak yakin.

“Aku bukan orang yang gemar ingkar janji, kamu tahu itu,”kata Aisyah jengkel. “Cepatlah ke sana.”

Lelaki itu menstater scoopy-nya  menuju ke warung itu. Aisyah mengayuh sepeda pelan. Sepertinya enggan segera sampai ke sana. Beberapa menit kemudian ia sudah melewati kantor KUA Durenan. Aisyah bersepeda lurus menuju kantor UDP, belok kiri beberapa meter sampai ke warung itu. Dilihatnya lelaki itu belum masuk ke dalam warung. Masih menunggunya di bawah pohon pule.

“Aisyah, lewat sini,”katanya sambil berjalan di samping Aisyah.

Aisyah menjaga jarak. Sesekali lelaki itu melirik Aisyah. Netra berkaca-kaca. Penyesalan mengungkungnya berbulan-bulan. Andai ia punya kekuatan ingin memeluk Aisyah. Merengkuh di dadanya. Agar perempuan yang pernah menjadi tambatan hatinya ini mendengar degupan jantungnya yang penuh detakan cinta.

Sampai pada ruang warung paling belakang. Bukan tujuan untuk mojok yang negatif. Tapi agar tidak ada orang yang berprasangka buruk dengan pertemuan itu.

“Pesan apa Mas?,”tanya pelayan warung.

“Ayam bakar 2 dan jeruk panas,”pesan lelaki itu tanpa bertanya dulu pada Aisyah.

“Baik mas,”jawab pelayan sambil meletakkan 1 sisir pisang ambon.

Pelayan perempuan itu bergegas pergi meninggalkan meja mereka berdua. Hening suasananya. Warung itu memang banyak pembeli di jam pagi sampai pukul 12.00 WIB. Tempat para pegawai sarapan pagi maupun makan siang. Jam segini nampak sepi. Momen yang tepat.

“ Aisyah, terimakasih kamu telah memenuhi permintaanku,”lelaki itu memulai pembicaraan.

Aisyah masih diam, tanpa ekspresi. Ketika pandangan mereka bertemu. Perempuan bersahaja itu, mengalihkan pandangan pada pisang yang nampak belum matang secara keseluruhan. Kulitnya belum menguning. Mungkin daging buahnya sudah matang, tapi rasanya belum manis.

“Aisyah, aku minta maaf atas semua kesalahanku padamu. Sikapku yang gegabah, menerima permintaan orang tuaku. Tak memikirkan perasaanmu, bahkan hancurnya hatiku.”

Aisyah masih terdiam. Ia menekan perasaannya. Menahan supaya air matanya tidak luruh di pipinya. Jangan sampai ia terlihat rapuh di depan lelaki ini.

‘Aku telah memaafkannya,”jawab Aisyah.

Lelaki itu nampak lega. Diraihnya tangan Aisyah. Digenggamnya erat, seperti enggan melepaskannya.

“Maaf,”pelayan paruh baya itu mengagetkan keduanya.

Aisyah melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu. Pelayan meletakkan pesanan dan segera berlalu. 

“Makanlah Aisyah,”kata lelaki itu mempersilahkan.

Aisyah enggan menyantap hidangan itu. Dipandanginya makanan itu. Tenggorokannya seperti mengatup. Mulutnya tertutup rapat. Selera makannya benar-benar lenyap. Lelaki itu berdiri, ia duduk di samping Aisyah. Diraihnya piring berisi nasi dan ayam bakar dari arah ia duduk tadi.

“Makanlah,”kata lelaki itu lembut.

Mata lelaki itu berkaca-kaca. Dipandanginya wajah Aisyah dari samping. Meskipun wajah Aisyah datar ia tahu perempuan itu menahan amarah dan kesedihan. Aisyah bergeser menjauh. Ia segera mengambil air minum. Diteguknya pelan, untuk membasahi kerongkongannya yang mengering.

“Aisyah, kalau kamu memaafkanku. Tentu kamu menjawab semua chat-ku. Panggilanku,”kata lelaki itu.

“Aku tidak meladeni chat-mu aja, kabar miring tentangku merebak,”jawab Aisyah.

Lelaki itu memukul meja dengan tangannya. Seperti memendam amarah yang mendalam. Istrinya memang keterlaluan. Curhat sana curhat sini. Namun ia berusaha menguasai emosinya dengan mendengus.

“Aisyah, baik maupun buruk sikap kita tetap digunjing orang,”kata lelaki itu.

Aisyap mencoba menikmati makanan itu. Meskipun terasa hambar. Padahal ayam bakar adalah makanan favoritnya.

“Aisyah, aku masih mencintaimu,”kata lelaki itu. “Sungguh, sulit melupakan masa indah kita.”

Aisyah hanya diam. Mendengar itu hatinya tidak senang. Bahkan menganggapnya sebagai bualan. Gombal! Gumamnya.

“Sudahlah, kita sudahi omong kosong ini. Mungkin yang terjadi pada kita sudah menjadi takdir-Nya. Berbahagilah dengan keluargamu. Jadilah suami siaga.”

“Aisyah, aku titip sesuatu ke Utami. Sesuatu yang belum sempat aku berikan. Keburu kejadian tragis itu,”katanya sambil menyeka airmatanya.

Baru kali ini melihat lelaki itu menangis. Namun Aisyah tidak bergeming., tidak simpati. Air mata buaya.

“Bolehkah, aku mempunyai satu permintaan terakhir kepadamu?,”kata Aisyah menatap lelaki yang pernah dikaguminya dulu, sungguh.

“Lupakan aku. Jangan hubungi aku. Kita jalani takdir kita masing-masing dengan tawakal,”kata Aisyah. “Terimakasih telah ditraktir, salam untuk istrimu.”

Aisyah berdiri. Lelaki itu meraih tangannya. Nasi ayam bakar itu masih ia cicipi beberapa sendok.

“Bisakah kita bersahabat?,”pintanya.

“Tidak bisa, tidak perlu,”jawab Aisyah tegas.

“Mengapa Aisyah, tidakkah tersisa cinta untukku?,”katanya

“Semisal aku katakan …,”Aisyah menahan jawabannya. “Aku masih mencintaimu, kamu akan menceraikan istrimu? Hah! Tidak kan?

Lelaki itu terdiam. Menunduk. Kemudian menengadah. Ait mata memenuhi pelupuk matanya.

“Bagaimana dengan ibumu jika itu terjadi, wahai anak kesayangan ibu,”lanjut Aisyah. “Dan ... Sayangnya perempuan miskin dihadapanmu ini masih punya iman. Punya harga diri. Punya komitmen tidak ingin merusak rumah tangga orang. Meskipun lelaki yang pernah menjadi pujaannya tengah menghiba di depannya.”

Lelaki itu mematung. Tangannya mengepal. Aisyah tidak peduli. Ia meninggalkan warung itu dengan menahan kesedihan.

“Permisi, Subkhi! Salam untuk istri dan orang tuamu.”

Lelaki itu memandang kepergian mantan kekasihnya dengan lunglai. Aisyah tidak menoleh. Ia bukan pelakor. Ia tidak ingin mendapat laknat dari Allah, dengan mengganggu rumah tangga orang. Ia kayuh sepedanya, dibuang jauh-jauh beban hatinya. Jangan sampai emaknya tahu ia lagi bersedih. Terkekang bayang masa lalu, yang telah dikuburnya dalam-dalam. Tidak ada rasa lagi pada lelaki itu. Baginya sekarang mengukir masa depan.