Rabu, 22 September 2021

Setitik Rasa di Relung Hatinya

 



Aisyah mulai belajar mengelola kelas IV. Ia menerapkan beberapa model pembelajaran yang menyenangkan. Seperti pagi itu, Aisyah mengajak anak-anak kelas IV ke luar kelas. Untuk melakukan wawancara dengan beberapa orang. Anak-anak diberi kebebasan untuk memilih tokoh yang hendak di wawancarai. Mereka asyik menyusun pertanyaan yang akan diajukan kepada tokoh yang dikehendaki. Kesya mendekati Aisyah dengan wajah serius.

“Bu Asy,”sapa Kesya. “Bolehkah aku wawancara penjaga kantin?”

Aisyah tersenyum, dengan santunnya ia menepuk bahu Kesya. Ditunjukkan sikap peduli kepada bocah cerdas itu.

“Boleh Kesya, apa yang ingin kamu tanyakan?”

“Hobi, jumlah anak, pekerjaan lain selain penjaga kantin, pendapatan kantin setiap hari,”jawab Kesya.

“Bagus sekali, jika sudah segera lakukan tanya jawab sebelum jam istirahat. Biar tidak menganggu tugas Beliau.Jangan lupa jawaban ditulis biar tidak lupa."

“ Siap Bu,”jawab Kesya segera meninggalkan kelas.

“Anak-anak segera lakukan wawancara ya. Namun pertanyaan harus disusun dulu dengan baik,” permintaan Aisyah.

Chilla bergegas ke luar kelas. Sampai di depan kelas terjatuh, kertas dan balpoinnya terlempar. Aisyah mendekat dan menolongnya. Chilla anak mungil yang rajin, giat dan imut banget.

“Hati-hati Chila! Ayo ibu bantu,”Aisyah menghiburnya sekaligus membersihkan baju Chilla dari debu yang menempel. “Mau wawancara siapa sih, kok buru-buru amat.”

“ Mau wawancara Mas Aksa Bu,”jawab Chilla.

“Siapa dia Chill?,”tanya Aisyah. “Anaknya Pak Gunawan Bu, Mas Aksa bekerja di BRI Trenggalek.”

“Oo... sudah disusun pertanyaannya?,”tanya Aisyah.

“Sudah, Bu,”jawab Chilla bergegas menuju ke rumah sebelah, rumah Pak Gunawan.

Pak Gunawan rumahnya dekat MI. Mungkin putranya sedang berada di rumah menikmati libur hari Sabtu. Kelas sepi, Aisyah mengamati anak-anak melakukan wawancara. Sedangkan anak-anak kelas VI berolah raga, nampak riang. Za’a menuju ke ruang UKS, Aisyah mendekatinya. Mengira murid kelas IV ini sakit. Aisyah terkejut, ternyata anak ini hendak mewawancarai Pak Mumtaz. Pak Mumtaz berbaring di bed UKS. Aisyah segera balik kanan ke luar ruang UKS. Anehnya Zam Zam yang sedang berolah raga, justru berlari masuk ruang UKS. Aisyah hanya menggelengkan kepala melihat ulah Zam Zam.

Zam Zam mendekati Za’a yang sedang melakukan wawancara.

“Assalamualaikum, Pak Mum,”salam terucap dari Za’a.

“Waalaikum salam. Ada apa Za’a dan Zam Zam ke sini. Bukankah kelas VI olah raga Zam?”

“Aku mau wawancara Pak, apa menganggu? Apa Pak Mum sakit, kok tiduran?,”tanya Za’a

“Nggak menganggu. Cuma pusing Za’a dan lagi kosong. Tidak punya jam mengajar,”jawab Pak Mumtaz. “Kamu mau ngapain Zam Zam?”

“Lihat Za’a Pak,”Jawab Zam Zam. “Lagian olahraganya hampir selesai, kok,”kilah Zam Zam.

Pak Mumtaz tersenyum, Zam Zam bisa saja mencari alasan. Za’a mengambil balpoin dari saku celananya. Zam Zam kepo, ingin tahu pertanyaan Za’a. Ia membisikkan sesuatu pada Za’a. Za’a memukul tangan Zam Zam. Sekali lagi ia membisikkan sesuatu pada Za’a.

“Nggak, mau,”tiba-tiba Za’a keceplosan

“Cepat tulis, ayo!,”permintaan Zam Zam lirih. “Pak Mumtaz nggak marah kok,"

“Zam, kamu jangan ganggu Za’a. Ntar dimarahi Bu Aisyah, lho,” tegur Pak Mumtaz. Beliau bangun dan duduk di pinggir bed ruang UKS.

“Ntar, belakangan Mas Zam,”kata Za’a.

Zam Zam melotot. Za’a memalingkan wajahnya, takut. Pak Mumtaz menyuruh Za’a ikut duduk di tepi bed.

“Sini duduk Za’a. Zam kamu segera ganti baju! Persiapan pelajaran agama,”kata Pak Mumtaz tegas.

Zam Zam masih mengintip di balik kelambu ruang UKS yang membatasi tempat tidur dengan ruang obat dan peralatan kesehatan lainnya.

“Pak Mumtaz asli rumahnya mana?,”tanya Za’a

“Kediri Za’a."

“Mengajar di MI sini mulai tahun berapa?”

“Tahun 2009. Sebelumnya Bapak mengajar sebagi guru agama di SD Pogalan.”

“Mengajar apa di SD Pogalan?

“Mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI), khusus agama.”

“Enak ya Pak jadi guru?

“Enak, mendapat gaji dari pemerintah. Yang utama guru itu menyebarkan ilmunya. Ilmu bermanfaat yang kelak akan menjadi amal jariah yang tetap mengalir pahalanya meskipun sudah meninggal.”

“Enak mana dengan pengusaha atau pedagang?

“ Sama sebetulnya. Apapun pekerjaan itu yang penting ditekuni dan tidak merugikan orang lain. Khusus untuk pedagang ia harus jujur dan amanah. Seperti ketika Nabi Muhammad berdagang, Beliau juga pedagang, tapi sangat amanah.

“Pak yang terakhir pertanyaan dari Mas Zam. Bapak jangan marah ya?

“Tergantung pertanyaannya."

“Pak Mum sudah punya pacar?

“Yang pengin tahu kamu, apa Mas Zam?

"Mas Zam, Pak."

"Nanti Mas Zam pulang sekolah suruh menemui Bapak di kantor ya, oke."

"Pak Mum marah?"

"Nggak lah, hafal kok dengan sikap Zam Zam. Tapi kalian tidak  boleh berfikir tentang hal-hal yang belum waktunya. Seperti pertanyaan tadi."

“Maaf ya Pak,”jawab Za’a murung, menyesal. Ia turun dari bed dan menghentakkan kaki kanannya pada lantai. Kelihatnnya jengkel dengan Zam Zam.

“Sudahlah, masuk sana, Bapak nggak marah kok,”Jawab Pak Mumtaz sambil tersenyum. Ia mengusap rambut bocah itu. Za’a dengan sopan mencium tangan Pak Mum, pamit menuju kelas IV.

“Za’a pertanyaan terakhir tidak boleh di tulis,”pesan Pak Mumtaz

Za’a tersenyum, mengangguk berlalu meninggalkan ruang UKS. Pak Mumtaz kembali berbaring, merasa badannya tepar. Ia tersenyum dalam hati. Zam zam memang sering membuat ulah. Selalu ingin tahu dengan kehidupan pribadinya. Namun anak itu memiliki kelebihan mampu menjadi ketua kelas yang baik. Mengatur petugas piket, selalu cepat tanggap jika ada guru yang belum masuk kelas. Begitu pula mencari guru pengganti jika kelas kosong. Sebetulnya ia tau arah pertanyaan Zam Zam melalui Za'a. Bocah itu ingin tahu seberapa jauh hubungan dirinya dengan Aisyah. Jika boleh jujur, ia menyimpan setitik rasa. Guru berhijab bersahaja. Mengisi hatinya yang gundah gulana. Namun ia gamang. Entahlah, banyak gejolak dalam hatinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar