Sejak bertemu Subkhi dua hari yang lalu. Aisyah
sering melamun, bukan merindukan Subkhi. Tapi mencermati kejadian itu. Secara
fisik lelaki itu tidak nampak menderita, karena wajahnya tidak kusut. Tetap
bersih terawat, terlihat makin sukses dari tampilannya. Memang istri Subkhi
anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan. Aisyah, tersenyum. Ia dikagetkan
suara emaknya. Membuyarkan lamunannya.
“Sah, ada Mbak Utami.”
“Iya mak! Sebentar!,”jawab Aisyah meraih jilbab. Mengenakannya sambil berjalan menuju ruang tamu.
Meskipun tamunya perempuan ia selalui menemuinya
dengan berjilbab. Kedua berpelukan.
“Dari rumah aja, Ut?”
“Iya, gimana kabarmu?”
“Alhamdulillah baik.”
“Kalian barusan ketemuan, ya?" kata Utami penuh selidik.
“Sama Subkhi, maksudmu? Ketemuan yang tidak disengaja, Ut.”
“Oh, ya..? Kronologinya? Di mana?"
Utami mencecar pertanyaan sambil tersenyum.
“Pastinya Subkhi sudah cerita banyak, kan?"
“Begitulah, Aisyah."
Utami memberikan bungkusan pada Aisyah.
“Kamu sudah tahu isinya?"
“Ya sebuah diary milik Subkhi. Aku kok, yang
membungkusnya. Cuma sekilas membacanya!”
Tatapan Utami seperti hendak mengulik isi
hatinya. Aisyah menatap sahabatnya itu. Sambil tersenyum.
“Ut, aku sudah mulai menata hidupku. Melupakan
masa lalu. Semua mimpi buruk itu sudah aku pendam. Izinkan aku bahagia dengan diriku sendiri. Kembalikan
barang ini pada pemiliknya. Bagiku Subkhi masa lalu. Aku mau menatap masa
depan. Membahagiakan kedua orang tuaku.”
Utami diam, sudut matanya menggenang. Bibirnya
bergetar. Air mata terjatuh membasahi pipinya. Hidungnya memerah. Ia tersedu-sedu, teringat betapa mendalam kekecewaan Subkhi. Sebagaimana ia kisahkan kemarin di rumahnya.
“ Kemarin ia mengantar itu. Aku belum pernah
melihat Subkhi menangis, sesenggukan. Semua kegetiran hidupnya, ia tumpahkan
padaku. Ketika ia dihadapkan pada sebuah dilemma yang menyakitkan.”
“Ut, sebagai seorang anak. Aku memahami pilihan
Subkhi. Ia anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Jadi aku tidak pernah
menyalahkannya. Aku terima ini. Tapi aku yakin di dalamnya bukan hanya diary.
Jangan sampai pemberian ini mengikat kembali sebuah hubungan.”
“Terimakasih, sobatku,”jawab Utami. “Aku
pastikan tidak. Dia hanya ingin melihat kamu bahagia. Segeralah menikah.”
“Aku akan menikah tapi tidak di tahun ini,”jawab
Aisyah.
Mereka berdua menikmati teh hangat. Kesedihan
sirna. Mereka bercanda, mengingat masa indah mereka ketika KKN. Aisyah, Subkhi, Utami, kuliah kerja nyata di wilayah yang sama. Sehingga persahabatan mereka makin kental Setelah Sri
Utami pulang, Aisyah terkejut. Tak terasa sudah pukul 15.25 WIB.
“Mak, Zam Zam tadi ke sini, ya?,”tanya Aisyah
kepada Emaknya.
Di kira emaknya ada di rumah. Ternyata Emaknya
sedang keluar rumah.
Derrrt derrt.
Aisyah menghubungi Ibunya Zam Zam. Di ponselnya
ada penanda panggilannya diterima.
“Assalamualaikum, “sapa Aisyah
“Waalaikum salam,”jawab Ibu Zam Zam
“Zam Zam les apa tidak, Bu,”tanya Aisyah.
“Tadi aku antar sendiri ke situ. Kamu lagi ada
tamu. Makanya ini Zam aku ajak ke rumah neneknya. Biar nggak kecewa”
“Baiklah Bu, maaf ya."
"Nggak pa apa, kewajiban setiap muslim memuliakan
tamu, Aisyah,” kata ibunya Zam Zam
“Terima kasih Bu,” kata Aisyah sambil menydahi
panggilannya.
Aisyah membuka WhatsApp karena ada pesan masuk.
Ah, ternyata dari Subkhi. Terpaksa ia klik setting pada hpnya, dipilih Airplane
mode. Cara ini dilakukan agar tidak melukai hati Subkhi jika ia tidak membalas
pesan. Jika membalas pesan istri Subkhi bisa salah paham.
Setelah mode pesawat berfungsi ia baca pesan
Subkhi. Di layar tidak nampak centang dua berwarna biru. Tetap terlihat centang
dua warna hitam. Oh, ternyata pesan Subkhi meminta Aisyah membaca diary-nya.
Dalam paket itu berisi cincin dan kain brokat yang akan diberikan untuk Aisyah
menjelang pernikahan. Namun takdir
bicara lain.
Aisyah berniat tidak akan membuka paket itu.
Hanya akan ia simpan. Membaca akan menyakiti hatinya. Menoreh kembali luka
lama. Juga tidak akan memakai cincin itu. Kain kebaya itu juga tidak akan ia
jahit atau digunakannya. Aisyah membuka almarinya. Ia sembunyikan paket itu
dalam tumpukan bajunya. Untuk apa menumbuhkan benih-benih yang telah dicabut.
Benih yang ia anggap sebagai gulma dalam hidupnya yang mulai tumbuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar