Rabu, 29 September 2021

17. Pertemuan yang Tak Diiginkan

 


Aisyah berangkat mengajar pukul 06.15 menit. Mengayuh sepedanya. Sepeda yang dipenuhi bercak karat. Menunjukkan sepeda itu telah berumur. Senyum bahagia terpancar dari hatinya. Beberapa warga desa menyapanya. Aisyah menjawab dengan anggukan dan senyuman. Tiba-tiba Zam Zam telah bersepeda di sampingnya. Tanpa ada basa-basi sama sekali. Biasanya nyerocos sampai Aisyah kewalahan menjawab. Bocah itu sesekali melihat wajah Aisyah. Begitu pula Aisyah memandang bocah ganteng itu.

“Zam, udah sarapan. Ibumu masak apa?,”tanya Aisyah.

Bocah itu belum menjawab. Hanya menggerakkan sepedanya zig zag. Aisyah tersenyum, melihat bocah di sampingnya yang lagi manyun.

“Zam, kamu sakit gigi, ya?,”tanya Aisyah lagi.

Belum ada jawaban. Ia menatap lurus ke arah jalanan yang mulai padat pengendara. Mengayuh sepedahnya zig zag. Kayaknya lagi jengkel bocah ini. Aisyah ingin membuat anak ini mau bicara. Ia melambatkan sepedanya, sehingga tertinggal jauh dari Zam Zam. Dugaan Aisyah salah, bocah itu tidak berhenti, menolehpun tidak. Aisyah heran anak itu kenapa?

Sampai di madrasah Aisyah mencari Zam Zam. Biasanya ia bermain-main dengan anak kelas 1. Tapi tidak ada di halaman madrasah. Kemudian ia mendongak ke lantai dua, terlihat Zam Zam memandangnya dari kejauhan. Ketika Aisyah melambai tangan untuk menyapanya, ia berlalu begitu saja. Zam Zam masuk kelas 6 dengan ekspresi manyun.

Aisyah membimbing siswa kelas 1 sampai 3 membersihkan halaman, kelas dan teras lantai bawah. Beberapa menit kemudian banyak guru yang datang. Mereka memarkir kendaraan dan segera membimbing siswa membuang sampah. Sebelum sampai ke pembuangan, sampah organik dimasukkan lubang sampah organik. Sedangkan sampah anorganik dimasukkan ke dalam tong. Sampah anorganik akan diambil oleh pembeli barang rongsok pada sore harinya. Sedangkan sampah organik akan dijadikan kompos untuk pupuk sayuran yang ditanam siswa pada pot. Baik sayur, buah maupun toga. Pak Yanu berinovasi membimbing siswa berkebun.

Setelah bel berbunyi, Aisyah segera masuk kelas 4. Aisyah mengucapkan salam dengan hangat.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

“Apa kabar kalian hari ini?”

“ Alhamdulillah” (semua siswa menegadahkan tangan)

“Luar biasa” (semua siswa kedua ujung telapak bertemu dan membentuk lingkaran)

“Kelas empat hebat” (semua siswa kedua jempol di dorong sejajar dada)

“Pasti bisa” (semua siswa telapak tangan kanan dikepalkan diangkat sejajar bahu)

“Allahu Akbar ( semua siswa kepalan tangan diangkat tinggi, sejajar kepala)

Itulah yel-yel siswa kelas 4 ketika menjawab pertanyaan Aisyah tentang kabar mereka hari ini. Yel-yel  setiap hari akan diubah sesuai kesepakatan siswa dengan guru.

“Silahkan siswa yang datang paling awal untuk memimpin doa,”perintah Aisyah

“Persiapan. Diam. Berdoa mulai,” Zumar mengawali memimpin doa.

Semua siswa kelas 4 bersama-sama memulai doa dengan lafal dan gerakan yang telah ditentukan Aisyah.

“Tangan diangkat, kepala ditundukkan berdoa mulai.”

Begitulah kekompakan kelas 4 ketika memulai pembelajaran. Setelah selesai berdoa Aisyah, mengingatkan kembali materi yang telah lalu. Juga mengaitkan materi sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari. Kemudian dimulailah pelajaran hari ini. Tujuan siswa mampu membuat skema siklus hidup beberapa jenis mahluk hidup yang ada di lingkungan sekitarnya.

Aisyah mengajak anak-anak masuk ruang multimedia, hanya beberapa langkah dari ruang kelas 4. Ia menggunakan laptop madrasah, untuk menampilkan gambar pada layar LCD sebuah kepompong yang menempel pada sebuah dahan pohon.

“Perhatikan gambar pada layar anak-anak! Gambar apa?,”tanya Aisyah.

“Kepompong!,”jawab anak-anak

“Kepompong menempel pada dahan!,”jawab yang lain

“Tepat! Anak-anak, apa yang kalian ketahui tentang kepompong?,”tanya Aisyah.

“Kepompong dari ulat, Bu?”, jawab Arman

“Bagus! Yang lain … ,”Aisyah mempersilahkan siwa mengemukakan pendapat.

“Pertumbuhan dari telur ulat, Bu,”jawab Chilla.

“ Baiklah anak-anak, pendapat Arman dan Chilla benar semuanya!,”reward Aisyah untuk kedua muridnya. “Betul sekali, kepompong dari telur, menetas menjadi ulat."

Kemudian Aisyah mulai berjalan berkeliling. Coba siapa yang tahu, telur yang menetas itu. telur hewan apa?"

"Kupu-kupu!," jawab seisi ruang multimedia.

“Hebat sekali. Perhatikan gambar pada layar!”permintaan Aisyah. “Gambar apa anak-anak?”

“Pertumbuhan kupu-kupu!” jawab beberapa anak.

“Urutan pertumbuhan kupu-kupu!,”jawab Rafly

“Benar sekali, gambar tersebut adalah daur hidup kupu-kupu.”penegasan Aisyah.

Raikhan mengangkat tangan, mengajukan pertanyaan.

“Semua hewan mengalami daur hidup ya Bu?,”tanyanya.

“Benar Raikhan semua hewan mengalami daur hidup,”jawab Aisyah

“Tapi kucing, belalang, dan ayam tidak mengalami masa kepompong, Bu Aisyah?,”sanggah Dama.

"Ada yang bisa menjawab pertanyaan Dama?,”tanya Aisyah.

Semua siswa terdiam. Merasa tanggapan Dama benar adanya. Beberapa siswa membuka buku tematik. Tapi belum ada yang menemukan jawabannya. Beberapa lama kemudian Chilla mengangkat tangan.

“Menurut bundaku tadi malam. Belalang dan kupu-kupu daur hidup tidak sama. Karena hewan mengalami daur hidup sempurna dan tidak sempurna,”penjelasan Chilla dengan lancar.

Chilla ini memang rajin belajar. Ia sering diantar Bundanya mengikuti olimpiade sains yang diadakan lembaga bimbingan belajar baik di Tulungagung maupun Trenggalek.

“Luar biasa Chilla,”reward Aisyah padanya. Sambil menepuk bahu Chilla hangat. “Ada yang lain. Memang benar, ada hewan yang mengalami daur hidup sempurna dan tidak sempurna.”

Untuk memancing rasa ingin tahu siswa, Aisyah membagikan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Dalam lembar tersebut siswa dibimbing menemukan beberapa contoh hewan yang mengalami daur hidup sempurna dan tidak sempurna. Menggambar siklus hidupnya. Berdasarkan siklus tersebut siswa akan berdiskusi membandingkan daur hidup sempurna dan tidak sempurna. 

Aisyah berkeliling untuk membimbing siswa menyelesaikan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Tak lupa ia menghimbau siswa agar mempersiapkan diri melakukan presentasi. Perwakilan kelompok melakukan presentasi hasil diskusi di depan kelas. Pada situasi inilah Aisyah memberikan apresiasi kepada kelompok siswa yang mampu menampilkan hasil diskusinya dengan baik. Setelah menyusun kesimpulan bersama siswa. Beberapa pertanyaan terbuka diajukan kepada siswanya sebagai implementasi melakukan kegiatan tindak lanjut. Tidak lupa Aisyah menutup pembelajaran. Menginformasikan materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Sekaligus meminta ketua kelas memimpin doa.

Setelah melaksanakan ibadah salat zuhur berjamaah di masjid sekolah. Aisyah membeli obat diapotek Durenan. Obat asam urat pesanan emaknya. Ketika sedang menunggu antrian, Aisyah dikejutkan oleh suara yang tak asing baginya.

“Aisyah, … Apa kabar?,”tanya lelaki itu menyiratkan wajah bahagia.

Aisyah terkesiap, diam dalam beberapa detik. Ia mencoba tersenyum dan menjawab datar. Menatap lelaki itu. Lelaki yang tak ingin ia temui selamanya. 

"Astaghfirullah! Mengapa aku menyimpan rasa benci yang mendalam. Padahal aku manusia biasa. Sang Khlalikpun selalu memaafkan hamba-hamba-Nya,"jeritnya dalam hati.

Segera ia mulai memilih kalimat yang tepat. Kalimat yang yang tak menyiratkan amarah.

“Baik, kamu?,”tanya Aisyah balik.

Lelaki itu mencoba memegang tangan Aisyah. Aisyah menepisnya pelan. Beberapa pembeli melirik keduanya. Aisyah mulai memesan obat. Lelaki itu masih menunggunya, didekat sebuah motor scoopy. Ternyata hobinya masih sekitar vespa. Dulu lelaki itu ke kampus menggunakan vespa uniknya. Gumam Aisyah. Aisyah berharap Mbak apoteker memilih obatnya lama. Huh, ternyata cuma sebentar. Aisyah segera membayar, dan mulai mengayuh sepedanya.

Lelaki itu mendekatinya. Memandang Aisyah dengan sendu. Aisyah dengan tegar menatapnya. Ketika lelaki itu hendak memegang tangannya, Aisyah segera berlalu meninggalkannya.

“Aisyah, jangan sampai kita jadi tontonan orang,”kata lelaki itu.

“Apa maumu?,”tanya Aisyah lantang.

“Mengajakmu berbicara baik-baik,”jawab lelaki itu.

“Silahkan!,”kata Aisyah

“Di sini bukan tempat yang tepat,”katanya. “Gimana kalau kita ke warung ayam sebelah barat lapangan Durenan.”

“Pantaskah pria beristri mengajak perempuan lain ngudap di sebuah warung?,”kata Aisyah menguji kestiaan lelaki itu pada istrinya.

“Tergantung niat,”jawab lelaki itu

“Niatmu apa?,”jawab Aisyah penuh selidik.

“Nanti kamu tahu, Aisyah.”

Nada bicara lelaki itu meninggi, namun wajahnya sayu penuh harap. Entahlah Aisyah penuh iba melihatnya.

“Baiklah 30 menit kita bicara di sana,”jawab Aisyah. “Ke sana dulu aku menyusul.”

“Nggak, kamu pasti tidak datang,” tolak lelaki itu, tidak yakin.

“Aku bukan orang yang gemar ingkar janji, kamu tahu itu,”kata Aisyah jengkel. “Cepatlah ke sana.”

Lelaki itu menstater scoopy-nya  menuju ke warung itu. Aisyah mengayuh sepeda pelan. Sepertinya enggan segera sampai ke sana. Beberapa menit kemudian ia sudah melewati kantor KUA Durenan. Aisyah bersepeda lurus menuju kantor UDP, belok kiri beberapa meter sampai ke warung itu. Dilihatnya lelaki itu belum masuk ke dalam warung. Masih menunggunya di bawah pohon pule.

“Aisyah, lewat sini,”katanya sambil berjalan di samping Aisyah.

Aisyah menjaga jarak. Sesekali lelaki itu melirik Aisyah. Netra berkaca-kaca. Penyesalan mengungkungnya berbulan-bulan. Andai ia punya kekuatan ingin memeluk Aisyah. Merengkuh di dadanya. Agar perempuan yang pernah menjadi tambatan hatinya ini mendengar degupan jantungnya yang penuh detakan cinta.

Sampai pada ruang warung paling belakang. Bukan tujuan untuk mojok yang negatif. Tapi agar tidak ada orang yang berprasangka buruk dengan pertemuan itu.

“Pesan apa Mas?,”tanya pelayan warung.

“Ayam bakar 2 dan jeruk panas,”pesan lelaki itu tanpa bertanya dulu pada Aisyah.

“Baik mas,”jawab pelayan sambil meletakkan 1 sisir pisang ambon.

Pelayan perempuan itu bergegas pergi meninggalkan meja mereka berdua. Hening suasananya. Warung itu memang banyak pembeli di jam pagi sampai pukul 12.00 WIB. Tempat para pegawai sarapan pagi maupun makan siang. Jam segini nampak sepi. Momen yang tepat.

“ Aisyah, terimakasih kamu telah memenuhi permintaanku,”lelaki itu memulai pembicaraan.

Aisyah masih diam, tanpa ekspresi. Ketika pandangan mereka bertemu. Perempuan bersahaja itu, mengalihkan pandangan pada pisang yang nampak belum matang secara keseluruhan. Kulitnya belum menguning. Mungkin daging buahnya sudah matang, tapi rasanya belum manis.

“Aisyah, aku minta maaf atas semua kesalahanku padamu. Sikapku yang gegabah, menerima permintaan orang tuaku. Tak memikirkan perasaanmu, bahkan hancurnya hatiku.”

Aisyah masih terdiam. Ia menekan perasaannya. Menahan supaya air matanya tidak luruh di pipinya. Jangan sampai ia terlihat rapuh di depan lelaki ini.

‘Aku telah memaafkannya,”jawab Aisyah.

Lelaki itu nampak lega. Diraihnya tangan Aisyah. Digenggamnya erat, seperti enggan melepaskannya.

“Maaf,”pelayan paruh baya itu mengagetkan keduanya.

Aisyah melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu. Pelayan meletakkan pesanan dan segera berlalu. 

“Makanlah Aisyah,”kata lelaki itu mempersilahkan.

Aisyah enggan menyantap hidangan itu. Dipandanginya makanan itu. Tenggorokannya seperti mengatup. Mulutnya tertutup rapat. Selera makannya benar-benar lenyap. Lelaki itu berdiri, ia duduk di samping Aisyah. Diraihnya piring berisi nasi dan ayam bakar dari arah ia duduk tadi.

“Makanlah,”kata lelaki itu lembut.

Mata lelaki itu berkaca-kaca. Dipandanginya wajah Aisyah dari samping. Meskipun wajah Aisyah datar ia tahu perempuan itu menahan amarah dan kesedihan. Aisyah bergeser menjauh. Ia segera mengambil air minum. Diteguknya pelan, untuk membasahi kerongkongannya yang mengering.

“Aisyah, kalau kamu memaafkanku. Tentu kamu menjawab semua chat-ku. Panggilanku,”kata lelaki itu.

“Aku tidak meladeni chat-mu aja, kabar miring tentangku merebak,”jawab Aisyah.

Lelaki itu memukul meja dengan tangannya. Seperti memendam amarah yang mendalam. Istrinya memang keterlaluan. Curhat sana curhat sini. Namun ia berusaha menguasai emosinya dengan mendengus.

“Aisyah, baik maupun buruk sikap kita tetap digunjing orang,”kata lelaki itu.

Aisyap mencoba menikmati makanan itu. Meskipun terasa hambar. Padahal ayam bakar adalah makanan favoritnya.

“Aisyah, aku masih mencintaimu,”kata lelaki itu. “Sungguh, sulit melupakan masa indah kita.”

Aisyah hanya diam. Mendengar itu hatinya tidak senang. Bahkan menganggapnya sebagai bualan. Gombal! Gumamnya.

“Sudahlah, kita sudahi omong kosong ini. Mungkin yang terjadi pada kita sudah menjadi takdir-Nya. Berbahagilah dengan keluargamu. Jadilah suami siaga.”

“Aisyah, aku titip sesuatu ke Utami. Sesuatu yang belum sempat aku berikan. Keburu kejadian tragis itu,”katanya sambil menyeka airmatanya.

Baru kali ini melihat lelaki itu menangis. Namun Aisyah tidak bergeming., tidak simpati. Air mata buaya.

“Bolehkah, aku mempunyai satu permintaan terakhir kepadamu?,”kata Aisyah menatap lelaki yang pernah dikaguminya dulu, sungguh.

“Lupakan aku. Jangan hubungi aku. Kita jalani takdir kita masing-masing dengan tawakal,”kata Aisyah. “Terimakasih telah ditraktir, salam untuk istrimu.”

Aisyah berdiri. Lelaki itu meraih tangannya. Nasi ayam bakar itu masih ia cicipi beberapa sendok.

“Bisakah kita bersahabat?,”pintanya.

“Tidak bisa, tidak perlu,”jawab Aisyah tegas.

“Mengapa Aisyah, tidakkah tersisa cinta untukku?,”katanya

“Semisal aku katakan …,”Aisyah menahan jawabannya. “Aku masih mencintaimu, kamu akan menceraikan istrimu? Hah! Tidak kan?

Lelaki itu terdiam. Menunduk. Kemudian menengadah. Ait mata memenuhi pelupuk matanya.

“Bagaimana dengan ibumu jika itu terjadi, wahai anak kesayangan ibu,”lanjut Aisyah. “Dan ... Sayangnya perempuan miskin dihadapanmu ini masih punya iman. Punya harga diri. Punya komitmen tidak ingin merusak rumah tangga orang. Meskipun lelaki yang pernah menjadi pujaannya tengah menghiba di depannya.”

Lelaki itu mematung. Tangannya mengepal. Aisyah tidak peduli. Ia meninggalkan warung itu dengan menahan kesedihan.

“Permisi, Subkhi! Salam untuk istri dan orang tuamu.”

Lelaki itu memandang kepergian mantan kekasihnya dengan lunglai. Aisyah tidak menoleh. Ia bukan pelakor. Ia tidak ingin mendapat laknat dari Allah, dengan mengganggu rumah tangga orang. Ia kayuh sepedanya, dibuang jauh-jauh beban hatinya. Jangan sampai emaknya tahu ia lagi bersedih. Terkekang bayang masa lalu, yang telah dikuburnya dalam-dalam. Tidak ada rasa lagi pada lelaki itu. Baginya sekarang mengukir masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar