Senin, 27 September 2021

16. Datang ke Pelaminan Mantan?

 


Ketika Aisyah mencoba mencari cara untuk menyelesaikan gosip miring tentang dirinya. Yang diangggap mengganggu rumah tangga Subkhi. Maka ia berinisiatif untuk ganti nomor telepon. Semoga dengan tidak ada kontak via handphone, masalah segera selesai. Dalam kurun waktu satu bulan terasa aman. tidak ada deret miscall dari Subkhi. Pada bulan kedua, ada panggilan dari nomor yang tidak tercatat pada ponsel. Aisyah tidak mau menekan tanda hijau, ditekan tanda merah pada ponselnya. Ia mencoba menghubungi Sri Utami. Tetangga Subkhi sekaligus sahabat Aisyah ketika kuliah. Mereka bertiga bersahabat dekat. Jika ada Aisyah, selalu ada Subkhi dan Sri Utami.

“Ut, kamu yang ngasih nomor baruku ke Subkhi?,”tanya Asiyah. Ketika Utami bertandang ke rumah Aisyah.

“Iya, Subkhi meminta paksa,”tanya Utami. “Tapi istrinya sudah kembali ke rumah Subkhi karena mau ada acara tiga bulanan kandungan.”

“Ini nomor Subkhi?,”tanya Aisyah sambil menunjukkan deretan panggilan tak terjawab di ponselnya.

"Iya, dasar lelaki labil. Belum move on dia."

Utami nampak bersungut-sungut. Mengepalkan tangannya menahan amarah. Tidak menyangka ia meminta nomor Aisyah untuk menganggunya.

“ Aku minta tolong, Ut. Hentikan ini! Apa tidak cukup ia menyakiti saya. Ia sudah lupa dengan keputusannya sendiri.”

“Makanya isu di sekitar rumahku menghangat! Subkhi digosipkan selingkuh. Terjadi pertengkaran hebat antara ia dan istrinya.”

"Ut, selesaikan masalah ini sekarang. Please!”

Aisyah menghiba. Mimik wajahnya benar-benar minta bantuan. Dipegang kedua tangan Utami. Utami menganggukkan kepala.

Ia menombol panggilan di ponselnya. Utami sengaja membunyikan speaker. Panggilannya diangkat Subkhi.

“Assalamualaikum, Bos,”sapa Utami. Bos sebutan baru untuk Subkhi yang berhasil memiliki usaha sendiri.

“Waalaikum salam, kamu di mana?,”jawab Subkhi. “Hehe ... hanya 5 menit kamu jalan ke rumahku. Untuk apa telepon? “

Terdengar derai tawa Subkhi. Memang rumah Utami dan Subkhi hanya berjarak beberapa meter saja.

“Istrimu sudah balik ke rumah?,”tanya Utami. “Apa kamu ganjen kok istrimu kabur? Kamu ketahuan selingkuh beneran?”

“Loh ngapain ngegas! Jangan khawatir Sudah kok, istriku sudah balik, ini di rumah rame. Persiapan neloni. Aku ini lelaki setia. Ia cemburuan. Padahal hanya liat panggilan ke Aisyah. Dan baca chatinganku ke Aisyah.”

“Untuk apa kamu masih ngarep ke Aisyah, Bro. Kamu sudah mau jadi Bapak."

“Aku cuma ingin minta maaf dan menjalin hubungan baik, Ut. Itu saja, sumpah! Hidupku dihantui rasa bersalah pada Aisyah. Bagaimana kabarnya dia, Ut”

“Ia sudah melupakanmu. Ia segera mau nikah. Pastinya dengan pria yang tepat. Yang memiliki kepribadian tangguh tidak plin plan,”sergah Utami. Begitulah sikap Utami yang blak-blakan

“Aku sudah mencoba melupakannya Ut. Tapi sulit. Kalau kamu ketemu dengannya, sampaikan permintaanku untuk ketemu dengannya sekali saja.”

“Kamu tahu rumah Aisyah, kan,"timpal Utami. “Jika kamu gentleman ajak istrimu ke rumah Aisyah. Dan minta maaf padanya di depan istrimu.”

“Seperti itu! Bisa perang Badar nanti Ut, aku Cuma chatingmiscall, nyimpen fotoku dengan Aisyah aja, perang! Apalagi ke rumah Aisyah.”

"Nah, itu! Kamu emang pria kurang peka. Semua istri yang tahu suami belum move on pastinya kecewa. Mana ada pria bertanggung jawab yang melakukan panggilan dengan mantan bertumpuk-tumpuk. Panggilanmu berderet, Bro! Seperti orang yang kangen, kebelet! Nyimpen fotonya lagi. Galerimu pasti penuh foto Aisyah.”

“Nggak, kok. Cuma beberapa. Banyak gambar otomotif,”jawab Subkhi. “Sebentar, jangan nyerocos aja. Kamu tahu darimana panggilanku ke Aisyah berderet?.”

“Tak perlu tahu. Hapus foto Aisyah dari galerimu. Dengarkan, ya! Isu sekitar rumah kita, tajam. Aku sebagai temanmu, juga Aisyah merasa jengah mendengar kabar miring tentang kalian. Gosipnya kamu selingkuh, dengan mantanmu. Kemarin aku telpon Aisyah memang begitu kenyataannya, kamu ya. Kamu tidak kasihan pada Aisyah.”

“Entahlah Ut, aku di hantui rasa bersalah padanya. Katanya ia mengajar di sebuah taman kanak-kanak, benarkah?.”

‘Aku tidak tahu. Itu tidak penting bagimu. Urus keluargamu. Jangan kepo dengan mantanmu. Dengan melupakan Aisyah, salah satu cara kamu menebus kesalahanmu padanya.”

Tidak terdengar jawaban dari Subkhi. Tapi panggilan belum ditutup. Utami merasa sarannya diabaikan Subkhi.

“Hey, kamu, masih hidup di situ! Urus keluargamu baik-baik. Jangan ganggu Aisyah!,”seru Utami.

“Ut, aku tutup dulu ada tamu. mertuaku,”pungkas Subkhi menutup telponnya. 

Dalam hati Utami menyadari kondisi psikis Subkhi. Bagaimana tidak frustasi, sedang manis-manis hubungan. Harus putus karena undangan pernikahan kakaknya yang sudah tersebar. Ia menjadi tumbal untuk menutup rasa malu. Menyembuhkan perempuan depresi yang ditinggal calon suaminya. Obat penyembuh kesedihan seorang ibu yang kehilangan kakaknya. Anehnya pernikahan sudah mendekati harinya, Hambali justru berangkat ke tempat kerja. Malang tak dapat ditolak.

“Begitulah, Aisyah. Semoga ia tidak menganggumu lagi. Besok aku akan ke rumahnya. Ngomong baik-baik. Maafkan Subkhi. Dulu kita bersahabat, semoga tetap jadi sahabat selamanya.”

Keduanya berpelukan. Aisyah memandang kepergian sahabatnya. Beban yang menindihnya mulai terlepas sedikit demi sedikit.

Keesokan harinya di sekolah, Pak Yanu meminta semua guru menghadiri pernikahan Pak Mumtaz. Pernikahan di rumah mempelai perempuan. Ibu Pak Mumtaz sudah mengizinkan menikah dengan pilihannya. Tapi Sang Ibu tidak berkenan datang ke rumah mempelai wanita. Sebagai pengganti keluarganya adalah Pak Yanu dan teman-teman.

“Bu Aisyah, siap datang ke perkawinan mantan?,”goda Pak Samsu.

“Mantan dari mananya, Pak. Jadian aja belum pernah,”jawab Aisyah tegar.

“Mantan yang belum sempat bersambut,”sambung Pak Restu.

“Wah, berarti pak Mum sempat naksir Bu Aisyah, to,”kata Bu Syifa

“Coba Bu Aisyah, seperti Bu Rufaida. Agresif! Pasti jadi,”tutur Pak Restu.

“Pak, ngomong kok terlambat,”kata Bu Aina ditujukan pada Pak Restu.

“Karakter Bu Aisyah slow respon, Pak Mum pendiam. Mana bisa bersambut,”kata Pak Restu.

Semua tertawa riang.

Hari Sabtu, setelah pembelajaran usai. Para guru mendatangi hajatan pernikahan Pak Mumtaz. Para guru senior yang sudah berkeluarga membawa pasangannya masing-masing. Kecuali Bu Rahma ia seorang single parent. Suaminya telah lama meninggal. Dengan suka cita berangkat ke rumah mempelai wanita. Aisyah tak henti-hentinya digoda para guru muda. Kok Aisyah kembali jadi bahan candaan. Namun ia tidak pernah marah, hanya tersenyum saja. Membahagiakan orang apa susahnya.

“Pak Yan, mana tendanya?”, seru Bu Aina. “Kok cuma begitu, tenda miring sebelah! Kayak married by accident.”

Aisyah sebetulnya sependapat dengan Bu Aina, cuma ditekan dalam hatinya. Mungkin guru yang lainpun juga senada pikirannya. Tempat tamu undangan hanya menggunakan tenda miring. Bukan tenda melengkung. Tenda miring ini mungkin cukup untuk 20 tamu tanpa ada meja. Dekorasi pengantin sederhana dari kain putih dan kain batik. Para guru belum masuk menunggu  undangan walimatul ‘urs lain.  

“ Orang tua pengantin putri dari kalangan biasa Bu. Pak Mumtaz sendiri guru baru. Mungkin cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan ongkos pulang pergi naik bus. Ia pulang balik ke Kediri naik angkutan umum.”

Begitulah jawaban pak Yanu membikin Bu Aina tercengang. Bu Rahma berbisik sesuatu pada Bu Syifa. Setelah itu memandang Aisyah. Entahlah apa yang ada pada benak semua guru.

“Pak Restu, kok kondisinya 360° dibanding ketika Pak Mum dirawat dalam kamar VIP Rumah Sakit Umum Gambiran,”selidik Pak Syamsu.

“Saat itu masih putra H. Zarkasi, pemilik klinik pijat saraf yang terkenal di Kediri,”kata Pak Restu. “Hari ini Pak Mumtaz harus memulai dari nol.”

Ketika beberapa tetangga sudah ada yang berdatangan, para guru ikut masuk. Beberapa kado dari sekolah telah dihantarkan pada tuan rumah. Pak Yanu dan Nyonya sebagai pengganti orang tua pak Mumtaz membawa hantaran berisi jadah dan jenang ketan. Acara di mulai, sambutan bergantian dari wakil kedua mempelai. Sesekali pandangan Aisyah bertemu dengan pak Mumtaz. Aisyah segera memalingkan muka pelan. Dalam hati Aisyah, cantik sekali istrinya Pak Mumtaz. Semoga mempelai berdua dikaruniai putra-putri yang salih dan salihah. Ketika acara selesai para guru segera pamit. Mendatangi mempelai di pelaminan. Bu Rahma mengenggam tangan Aisyah. Seperti memberi kekuatan. Padahal Aisyah biasa-biasa saja.

Aisyah segera memberi selamat pada Pak Mumtaz. Aisyah pura-pura tidak memperhatikan Bu Rahma yang melihat kejadian itu dari ujung tenda. Senyumnya mengembang. Bu Syifa salut dengan kejadian itu. Entah hati Aisyah diciptakan dari apa, batinnya. Bu Syifa tidak tahu Aisyah pernah merasa lebih sakit dari hari ini. Bedanya dulu ia tidak sanggup datang pada pernikahan Subkhi. Kini ia berani datang. Katena Pak mumataz memang bukan apa-apanya, bukan pula mantannya. Yang mengatakan Pak Mum mantannya adalah para guru. Ia bukannya menikmatinya candaan itu. Tapi yo wis-lah, jalani hidup. Senyumin aja.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar