Ketika Aisyah mencoba mencari cara untuk menyelesaikan
gosip miring tentang dirinya. Yang diangggap mengganggu rumah tangga Subkhi.
Maka ia berinisiatif untuk ganti nomor telepon. Semoga dengan tidak ada kontak
via handphone, masalah segera selesai. Dalam kurun waktu satu bulan
terasa aman. tidak ada deret miscall dari Subkhi. Pada bulan
kedua, ada panggilan dari nomor yang tidak tercatat pada ponsel. Aisyah tidak
mau menekan tanda hijau, ditekan tanda merah pada ponselnya. Ia mencoba
menghubungi Sri Utami. Tetangga Subkhi sekaligus sahabat Aisyah ketika kuliah.
Mereka bertiga bersahabat dekat. Jika ada Aisyah, selalu ada Subkhi dan Sri
Utami.
“Ut, kamu yang ngasih nomor baruku ke
Subkhi?,”tanya Asiyah. Ketika Utami bertandang ke rumah Aisyah.
“Iya, Subkhi meminta paksa,”tanya Utami. “Tapi
istrinya sudah kembali ke rumah Subkhi karena mau ada acara tiga bulanan
kandungan.”
“Ini nomor Subkhi?,”tanya Aisyah sambil
menunjukkan deretan panggilan tak terjawab di ponselnya.
"Iya, dasar lelaki labil. Belum move
on dia."
Utami nampak bersungut-sungut. Mengepalkan
tangannya menahan amarah. Tidak menyangka ia meminta nomor Aisyah untuk
menganggunya.
“ Aku minta tolong, Ut. Hentikan ini! Apa tidak
cukup ia menyakiti saya. Ia sudah lupa dengan keputusannya sendiri.”
“Makanya isu di sekitar rumahku menghangat! Subkhi
digosipkan selingkuh. Terjadi pertengkaran hebat antara ia dan istrinya.”
"Ut, selesaikan masalah ini sekarang. Please!”
Aisyah menghiba. Mimik wajahnya benar-benar
minta bantuan. Dipegang kedua tangan Utami. Utami menganggukkan kepala.
Ia menombol panggilan di ponselnya. Utami
sengaja membunyikan speaker. Panggilannya diangkat Subkhi.
“Assalamualaikum, Bos,”sapa Utami. Bos sebutan
baru untuk Subkhi yang berhasil memiliki usaha sendiri.
“Waalaikum salam, kamu di mana?,”jawab Subkhi.
“Hehe ... hanya 5 menit kamu jalan ke rumahku. Untuk apa telepon? “
Terdengar derai tawa Subkhi. Memang rumah Utami
dan Subkhi hanya berjarak beberapa meter saja.
“Istrimu sudah balik ke rumah?,”tanya Utami.
“Apa kamu ganjen kok istrimu kabur? Kamu ketahuan selingkuh beneran?”
“Loh ngapain ngegas! Jangan khawatir Sudah kok,
istriku sudah balik, ini di rumah rame. Persiapan neloni. Aku
ini lelaki setia. Ia cemburuan. Padahal hanya liat panggilan ke Aisyah. Dan
baca chatinganku ke Aisyah.”
“Untuk apa kamu masih ngarep ke Aisyah, Bro.
Kamu sudah mau jadi Bapak."
“Aku cuma ingin minta maaf dan menjalin hubungan
baik, Ut. Itu saja, sumpah! Hidupku dihantui rasa bersalah pada Aisyah.
Bagaimana kabarnya dia, Ut”
“Ia sudah melupakanmu. Ia segera mau nikah.
Pastinya dengan pria yang tepat. Yang memiliki kepribadian tangguh tidak plin
plan,”sergah Utami. Begitulah sikap Utami yang blak-blakan.
“Aku sudah mencoba melupakannya Ut. Tapi sulit.
Kalau kamu ketemu dengannya, sampaikan permintaanku untuk ketemu dengannya
sekali saja.”
“Kamu tahu rumah Aisyah, kan,"timpal Utami.
“Jika kamu gentleman ajak istrimu ke rumah Aisyah. Dan minta
maaf padanya di depan istrimu.”
“Seperti itu! Bisa perang Badar nanti Ut, aku
Cuma chating, miscall, nyimpen fotoku dengan Aisyah
aja, perang! Apalagi ke rumah Aisyah.”
"Nah, itu! Kamu emang pria kurang peka.
Semua istri yang tahu suami belum move on pastinya kecewa.
Mana ada pria bertanggung jawab yang melakukan panggilan dengan mantan
bertumpuk-tumpuk. Panggilanmu berderet, Bro! Seperti orang yang kangen, kebelet!
Nyimpen fotonya lagi. Galerimu pasti penuh foto Aisyah.”
“Nggak, kok. Cuma beberapa. Banyak gambar
otomotif,”jawab Subkhi. “Sebentar, jangan nyerocos aja. Kamu tahu darimana
panggilanku ke Aisyah berderet?.”
“Tak perlu tahu. Hapus foto Aisyah dari galerimu.
Dengarkan, ya! Isu sekitar rumah kita, tajam. Aku sebagai temanmu, juga Aisyah
merasa jengah mendengar kabar miring tentang kalian. Gosipnya kamu selingkuh,
dengan mantanmu. Kemarin aku telpon Aisyah memang begitu kenyataannya, kamu ya.
Kamu tidak kasihan pada Aisyah.”
“Entahlah Ut, aku di hantui rasa bersalah
padanya. Katanya ia mengajar di sebuah taman kanak-kanak, benarkah?.”
‘Aku tidak tahu. Itu tidak penting bagimu. Urus
keluargamu. Jangan kepo dengan mantanmu. Dengan melupakan Aisyah, salah satu
cara kamu menebus kesalahanmu padanya.”
Tidak terdengar jawaban dari Subkhi. Tapi
panggilan belum ditutup. Utami merasa sarannya diabaikan Subkhi.
“Hey, kamu, masih hidup di situ! Urus keluargamu
baik-baik. Jangan ganggu Aisyah!,”seru Utami.
“Ut, aku tutup dulu ada tamu. mertuaku,”pungkas
Subkhi menutup telponnya.
Dalam hati Utami menyadari kondisi psikis
Subkhi. Bagaimana tidak frustasi, sedang manis-manis hubungan. Harus putus
karena undangan pernikahan kakaknya yang sudah tersebar. Ia menjadi tumbal untuk
menutup rasa malu. Menyembuhkan perempuan depresi yang ditinggal calon
suaminya. Obat penyembuh kesedihan seorang ibu yang kehilangan kakaknya.
Anehnya pernikahan sudah mendekati harinya, Hambali justru berangkat ke tempat
kerja. Malang tak dapat ditolak.
“Begitulah, Aisyah. Semoga ia tidak menganggumu
lagi. Besok aku akan ke rumahnya. Ngomong baik-baik. Maafkan Subkhi. Dulu kita
bersahabat, semoga tetap jadi sahabat selamanya.”
Keduanya berpelukan. Aisyah memandang kepergian
sahabatnya. Beban yang menindihnya mulai terlepas sedikit demi sedikit.
Keesokan harinya di sekolah, Pak Yanu meminta
semua guru menghadiri pernikahan Pak Mumtaz. Pernikahan di rumah mempelai
perempuan. Ibu Pak Mumtaz sudah mengizinkan menikah dengan pilihannya. Tapi
Sang Ibu tidak berkenan datang ke rumah mempelai wanita. Sebagai pengganti
keluarganya adalah Pak Yanu dan teman-teman.
“Bu Aisyah, siap datang ke perkawinan
mantan?,”goda Pak Samsu.
“Mantan dari mananya, Pak. Jadian aja belum
pernah,”jawab Aisyah tegar.
“Mantan yang belum sempat bersambut,”sambung Pak
Restu.
“Wah, berarti pak Mum sempat naksir Bu Aisyah,
to,”kata Bu Syifa
“Coba Bu Aisyah, seperti Bu Rufaida. Agresif!
Pasti jadi,”tutur Pak Restu.
“Pak, ngomong kok terlambat,”kata Bu Aina
ditujukan pada Pak Restu.
“Karakter Bu Aisyah slow respon, Pak
Mum pendiam. Mana bisa bersambut,”kata Pak Restu.
Semua tertawa riang.
Hari Sabtu, setelah pembelajaran usai. Para guru
mendatangi hajatan pernikahan Pak Mumtaz. Para guru senior yang sudah
berkeluarga membawa pasangannya masing-masing. Kecuali Bu Rahma ia
seorang single parent. Suaminya telah lama meninggal.
Dengan suka cita berangkat ke rumah mempelai wanita. Aisyah tak henti-hentinya
digoda para guru muda. Kok Aisyah kembali jadi bahan candaan. Namun ia tidak
pernah marah, hanya tersenyum saja. Membahagiakan orang apa susahnya.
“Pak Yan, mana tendanya?”, seru Bu Aina. “Kok
cuma begitu, tenda miring sebelah! Kayak married by accident.”
Aisyah sebetulnya sependapat dengan Bu Aina,
cuma ditekan dalam hatinya. Mungkin guru yang lainpun juga senada pikirannya.
Tempat tamu undangan hanya menggunakan tenda miring. Bukan tenda melengkung.
Tenda miring ini mungkin cukup untuk 20 tamu tanpa ada meja. Dekorasi pengantin
sederhana dari kain putih dan kain batik. Para guru belum masuk menunggu
undangan walimatul ‘urs lain.
“ Orang tua pengantin putri dari kalangan biasa
Bu. Pak Mumtaz sendiri guru baru. Mungkin cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan
ongkos pulang pergi naik bus. Ia pulang balik ke Kediri naik angkutan umum.”
Begitulah jawaban pak Yanu membikin Bu Aina
tercengang. Bu Rahma berbisik sesuatu pada Bu Syifa. Setelah itu memandang
Aisyah. Entahlah apa yang ada pada benak semua guru.
“Pak Restu, kok kondisinya 360° dibanding ketika
Pak Mum dirawat dalam kamar VIP Rumah Sakit Umum Gambiran,”selidik Pak Syamsu.
“Saat itu masih putra H. Zarkasi, pemilik klinik
pijat saraf yang terkenal di Kediri,”kata Pak Restu. “Hari ini Pak Mumtaz harus
memulai dari nol.”
Ketika beberapa tetangga sudah ada yang
berdatangan, para guru ikut masuk. Beberapa kado dari sekolah telah dihantarkan
pada tuan rumah. Pak Yanu dan Nyonya sebagai pengganti orang tua pak Mumtaz
membawa hantaran berisi jadah dan jenang ketan. Acara di mulai, sambutan
bergantian dari wakil kedua mempelai. Sesekali pandangan Aisyah bertemu dengan
pak Mumtaz. Aisyah segera memalingkan muka pelan. Dalam hati Aisyah, cantik
sekali istrinya Pak Mumtaz. Semoga mempelai berdua dikaruniai putra-putri yang
salih dan salihah. Ketika acara selesai para guru segera pamit. Mendatangi
mempelai di pelaminan. Bu Rahma mengenggam tangan Aisyah. Seperti memberi
kekuatan. Padahal Aisyah biasa-biasa saja.
Aisyah segera memberi selamat pada Pak Mumtaz.
Aisyah pura-pura tidak memperhatikan Bu Rahma yang melihat kejadian itu dari
ujung tenda. Senyumnya mengembang. Bu Syifa salut dengan kejadian itu. Entah
hati Aisyah diciptakan dari apa, batinnya. Bu Syifa tidak tahu Aisyah pernah
merasa lebih sakit dari hari ini. Bedanya dulu ia tidak sanggup datang pada
pernikahan Subkhi. Kini ia berani datang. Katena Pak mumataz memang bukan
apa-apanya, bukan pula mantannya. Yang mengatakan Pak Mum mantannya adalah para
guru. Ia bukannya menikmatinya candaan itu. Tapi yo wis-lah, jalani hidup. Senyumin aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar