Senin, 27 September 2021

15. Ada yang Hilang

 


Hari demi hari, Aisyah menata hati. Ia mendekatkan diri pada Allah. Waktunya dihabiskan untuk bersujud kepada Allah dengan khusuk. Mengaji dengan tekun. Ia rutin mengaji ke langgar Kang Asrom, saudaranya. Memperdalam kemampuannya mengaji bersama keponakannya, Yanuba. Ia tidak mau jatuh. Aisyah yang rapuh sedikit demi sedikit bangkit. Menjadi beranjak menjadi pribadi yang tangguh. Tidak pernah membiarkan hatinya diselimuti dengan kegalauan. Bahkan Kang Asrom menambah dengan kegiatan diskusi tentang makna Alquran. Memahami isi kandungan Alquran. Kini baik Mumtaz dan Subkhi telah dikikis dari hatinya. Segala yang bikin baper ia tanggalkan. Dirinya ia tempa dengan ilmu agama.

“Sah, kamu sudah cukup umur, tidak ingin segera mengakhiri masa lajangmu?,”tanya Kang Asrom.

“Belajar ngaji dulu, Kang, Untuk bekal mendidik anak,”jawab Aisyah tegas.

“Apa kamu ingin jadi istri kedua Subkhi?,”tanya Kang Asrom. “Masih nunggu Subkhi menduda.”

Kata-katanya kang Asrom melukai hati Aisyah. Namun Aisyah harus tahu alasannya. Tidak ada asap maupun api.

“Kok bisa punya pendapat gitu lho, Kang,”celetuk Aisyah, tertawa dalam hati.

Kang Asrom dan istrinya tahu banget hubungan Aisyah dengan Subkhi. Istri Kang Asrom memang satu kampung dengan Subkhi.

“Keluarga Subkhi kurang harmonis,”Kang Asrom melanjutkan. “Subkhi pinter dalam akademik, tapi labil dalam menjalani hidup. Untung kamu tak jadi nikah dengannya. Pemuda kurang pendirian.”

Mendengar pandangan Kang Asrom tentang sosok Subkhi. Aisyah bergumam dalam hati. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Dan lelaki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula.

“Istrinya pulang ke rumah orang tuanya, padahal lagi hamil, “istri kang Asrom menimpali. “Ibuku yang cerita, ia mendengar kabar dari group arisan RT.”

“Aisyah, apa Subkhi sering menghubungimu?,”lanjut Kang Asrom. Pandangan tajamnya menembus mata Asisyah. “kamu sering bertemu?"

“Astaghfirullah, Kang,”jawab Aisyah sedih. “Aku sudah lama melupakan Subkhi, bahkan ingatpun tidak. Jujur ia masih sering menghubungiku. Tapi tidak pernah aku tanggapi.”

“Alhamdulillah, sebenarnya aku dulu sudah menyarankanmu. Agar menemui Subkhi lebih dulu. Sebelum menerima saran orangtuanya untuk merelakan Subkhi menikah,”Kang Asrom mengungkit kejadian itu.

“Tapi isu kamu jadi orang ketiga dalam rumah tangga Subkhi akan hilang, jika kamu menikah,”saran istri Kang Asrom. “Menikahlah, kamu patut bahagia. Kalau toh kamu kembali pada Subkhi belum tentu bahagia.

“Aku tak pernah berniat merusak keharmonisan keluarga Subkhi. Tapi juga tidak buru-buru menikah, “kata Aisyah. “Fokus kerja dulu.”

Aisyah pulang dari ngaji merasa lunglai. Perusak keharmonisan keluarga Subkhi? Sebuah predikat yang keji. Ia yang selalu mencoba menjaga hati, menjaga jarak. Namun kini merasa terbentur oleh bayangan masa lalu. Masa lalunya yang penuh tantangan, hambatan dan perjuangan keras masih menghantuinya. Namun Aisyah yakin kejadian itu, akan menempanya menjadi pribadi yang tangguh.

Keesoakan harinya ia harus berangkat lebih awal. Mendampingi anak-anak membersihkan halaman sekolah. Aisyah free class hanya bertugas piket. Aisyah sekarang bisa bernapas lega, tidak menjadi fokus candaan bapak/ibu guru. Namun para guru diam-diam memperhatikan Aisyah yang semakin hari makin kuat. Aisyah remaja yang pendiam dan rapuh, kini makin terlihat kuat. Teman sejawatnya di MI Ar Rahmah merasa ada yang hilang. Aisyah yang sering tertunduk malu, tersipu-sipu. Aisyah yang suka membuang muka, cemas dan gugup. Sirna entah kemana. Menjadi Aisyah yang lebih tegar, cuek dan mampu menyangkal maupun menjawab semua candaan. Padahal Bu Syifa menduga Aisyah akan  bersedih, baper dan gugup setelah mengetahui siapa sesungguhnya Pak Mumtaz. Pak Mumtaz yang telah memiliki tambatan hati. Bu Syifa salut pada Aisyah. Anak gadis yang terbentur, terbentur lagi, akhir terbentuk! Menjadi lumayan tangguh! Begitu pula Bu Aina, Pak Syamsu dan  Pak Restu. Para guru tidak tahu yang sebenarnya. Aisyah yang terlihat tangguh, kini masih terjebak bayangan masa lalunya. Ulah Subkhi yang labil.

 Sikap Subkhi yang gampang gamang berbeda dengan sikap Aisyah. Aisyah berkomitmen cukup sekali ia merasakan depresi, pada posisi paling rendah. Ia sadar ujian terbesar seorang perempuan muda datang dari persaannya sendiri. Perasaan yang kerap diombang-ambing oleh ketakutan, menggantungkan harapan pada manusia. Tidak heran jika perempuan sering tertekan, sebab kelemahannya berperang dengan dirinya sendiri. Selain itu Aisyah juga belajar untuk mengerti bahwa sesuatu yang baik untuk dirinya tidak akan Allah izinkan pergi kecuali akan digantikan dengan yang lebih baik.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar