Kamis, 27 Agustus 2020

CITA RASA LINTINGAN BLENDRANG TEWEL

 

Oleh: M U S L I K A H

KENANGAN

Sayur paling favorit bagiku adalah lodeh nangka muda. Sayur ini bisa dimakan dengan lontong atau nasi. Lodeh nangka muda akan lebih enak jika sudah dihangatkan beberapa kali. Bahkan bila sudah berumur dua hari lebih cita rasanya sangat mantab. Sekilas kenanganku paling berkesan ketika menikmati blendrang tewel, dan sulit aku lupakan. Pertama, setiap hari Kamis aku segera berangkat ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Cukup jauh dari desaku dan harus melewati jalan raya. Tiap hari Kamis selalu berangkat pagi ke SMPN 1 Durenan karena mata pelajaran pertama adalah olah raga. Tidak boleh terlambat untuk mengikuti pelajaran olah raga, jika terlambat konsekuensinya mendapat hukuman  push up dan squat jump. Alhamdulillah sampai sekolah tepat waktu segera ganti baju olah raga dan mengikuti  pelajaran olah raga. Pak Sudarsono, guruku olah raga terkenal sangat disiplin dan tegas. Agar siswa disiplin salah satunya datang ke sekolah tepat waktu. Jadinya aku  belum sempat sarapan, perut mulai melilit, keroncongan. Rasa ini tetap harus kutahan sampai nanti waktu istirahat.

Ketika bel sekolah berdering aku diajak Mbak Emi untuk sarapan. Sahabatku, Mbak Emi mengajakku sarapan di warung Mbah Senen. Padahal di depan sekolah ada warung pecel enak milik Bulik Cepring. Nama yang tidak cocok dengan pemiliknya yang gagah dan lumayan cantik. Melewati warung Bu Cepring langsung menuju gang kecil di belakang kantor Koramil Durenan. Ternyata di situ banyak sekali anak SMPN 1 Durenan yang ngudap di situ. Gorengan dipiring habis mbak Emi mengajakku ke dapur. Mbak Emi pesan nasi pecel, aku hanya ambil heci saja. Kulihat ada lintingan (mirip lontong) besar, di atas kreweng (alat dapur untuk goreng kopi). Nasi pecel mbak Emi dikasih lintingan tadi. Mbak Emi memberi isyarat padaku dengan jempol tangannya. Akhirnya aku tertarik dan memesan hidangan sama. Ternyata itu blendrang tewel yang sudah tidak berkuah. Dibungkus daun pisang dan digarang. Cita rasanya mantul sekali. Tapi tidak setiap hari ada, pernah karena ketagihan teman-teman banyak yang pesan. Namun Mbah Senen mengatakan lintingan itu ada ketika ada sisa lodeh tewel.

Kedua, ketika liburan semester II  bersama keluarga dan kakak ipar rekreasi ke Jawa Tengah dengan destinasi wisata Prambanan, Borobudur, Pantai Parangtritis dan Keraton Jogja. Jarak antara destinasi wisata cukup berjauhan. Makanya berangkat pukul 22.00 malam,  sehingga seharian semua lokasi wisata bisa didatangi. Dan   tidak  membawa bekal hanya makanan ringan, takutnya jika bawa bekal dingin dan basi tidak enak dimakan. Setelah semua destinasi wisata dikunjungi akhirnya sampai di lokasi wisata terakhir yakni Keraton Jogja. Setelah berkunjung di sana menikmati alunan gamelan anak bungsu saya minta makan. Segeralah mencari warung terdekat, deretan warung kebanyakan menyajikan gudeg jogja. Hatiku bersorak gembira sekali diajak makan gudeg jogja bak gayung bersambut. Namun melihat tulisan gudeg jogja kakak ipar menolak. Padahal sulit sekali mencari tempat parkir, karena banyaknya mobil pembeli. Karakter kakak ipar yang keras akhirnya dengan penuh kekecewaan mencari warung lain sambil menuju arah pulang. Anak bungsuku yang lapar menepuk-nepuk keras lengan Budhenya, karena harus meninggalkan warung itu. Akupun sedikit jengkel sambil menelan ludah membayangkan enaknya gudeg Jogja. Demi kakak ipar harus mengalah juga, ikhlas sekali aku.

Sampai di sebuah warung ayam goreng segera turun dan memesan makanan. Anakku yang sulung berbisik menunjukkan daftar menu yang ada gudeg jogjanya. Kekecewaan terobati aku pesan ayam goreng dan gudeg, semua pesanan dikasih gudeg kecuali piring Budhe. Budhe makan sambil ngedumel, rekreasi jauh-jauh kok cuma pesan blendrang tewel. Katanya besok mau dibuatkan 1 panci. Sambil bergurau aku pesan kalau tidak habis, kuahnya sudah mengering mohon dibungkus daun pisang dan digarang. Akupun asyik menikmati gudeg yang enak terasa manis-manis maknyus. Gudeg itu dicampur dengan dengan telur puyuh sehingga warnanya menjadi kecoklatan senada dengan warna tewelnya.

Ketiga, ketika rekreasi bersama PGRI ranting ada teman yang tidak bisa ikut, karena baru saja sakit. Disarankan aku manfaatkan kursi itu, karena anak sulung ada ujian di kampusnya dan si bungsu mengikuti perkemahan. Maka Ayahnya yang ikut, menduduki kursi Pak Ainun Kurniansyah. Destinasi yang dituju Gua Pindul, Gunung Kidul dan Malioboro. Setelah asyik mengarungi sungai di dalam gua para guru diharapkan makan bersama di tempat yang sudah dipesan panitia. Alangkah senangnya melihat menunya gudeg jogja dan lalapan mentimun yang sangat muda (serit). Semua guru mengatakan menu yang enak. Jadi teringat lintingan blendrang tewel Mbah Senen. Kemudian setelah menuju ke gunung kidul menikmati bukit yang indah, segera rombongan menuju ke destinasi wisata terakhir, Malioboro. Di sana kami berpencar, karena lapar teman-teman banyak yang mencari sate ayam, ayam goreng dan makanan lain. Aku dan suami mencari dulu oleh-oleh untuk anaknya Pak Ainun yang kursinya dinikmati suamiku.

Setelah selesai mencari oleh-oleh segera aku mencari tempat makan. Di tengah-tengah pedagang baju, kaos, batik dan souvenir khas jogja ada ibu-ibu penjual gudeg. Di sampingnya ada kursi kecil  yang disiapkan untuk tempat duduk pembeli. Karena tertarik segera duduk memesan nasi gudeg dan teh manis. Selagi menikmati mantapnya gudeg ada pengamen muda yang menyanyikan lagu ‘Banyu Langit’. Suamiku berdiri memberi uang Rp10.000 agar penyanyi meneruskan lagunya sampai selesai dan menambah satu lagi. Ia request lagu kesukaannya ‘Layang Kangen'. Suasananya jadi sangat romantis sekali. Makan gudeg dengan teh hangat sambil mendengarkan lagu favorit terasa sangat indah kala itu. Menurutku dunia cuma milik kita berdua, yang lain cuma numpang.

PENGALAMAN

Suatu ketika aku pernah diberi satu buah nangka muda oleh keponakan. Kemudian timbul keinginan yang separuh dibuat gudeg dengan resep browsing dari google. Yang lain diawetkan untuk dimasak lodeh biasa. Setelah nangka  muda dikupas dan direbus, aku segera ke rumah tetangga meminta daun jati muda. Hal itu tentunya menimbulkan tanda tanya, untuk bungkus apa? Apalagi pohon jati mulai tumbuh tinggi, jadi kerepotan memetiknya. Dengan menggunakan galah bambu yang dikasih pisau, akhirnya daun jati muda bisa dipetik. Setelah itu dengan menggunakan resep yang sudah kucatat, mulai nyayur gudeg. Daun jati muda ditaruh paling bawah, dimasukkan santan encer, kemudian setelah santan encer panas segera dimasukkan bumbu dan nangka muda.

Bumbu yang kugunakan saat itu cabe besar, cabe rawit, miri, ketumbar, bawang merah, bawang putih, lengkuas dan gula aren. Untuk menambah rasa kupakai daun salam dan batang serei. Setelah santan agak berkurang dimasukkan santan kental dan garam secukupnya. Sekaligus dimasukkan telur puyuh yang sudah dikupas. Setelah benar-benar masak diangkat dan dinikmati oleh semua keluarga. Ternyata besoknya ada sisa satu mangkuk besar, blendrang gudeng itu tidak terasa asin. Maka aku hangatkan dan kubawa ke sekolah. Sampai di sekolah dimasakkan nasi dan dibelikan krupuk. Ternyata semua guru suka sekali, blendrang idola semua orang.

        Separuh nangka muda itu keesokan harinya kumasak sayur lodeh. Cukup dengan bumbu ketumbar lengkuas, bawang merah, bawang putih, cabe rawit. Setelah jadi sayur yang enak, kupersiapkan makan pagi. Suamiku ekspresinya sangat tidak nyaman dilihat. Ia mengatakan hari ini masih tanggal 10 tapi nuansanya seperti tanggal 27. Setiap hari sayur nangka muda terus, bikin asam lambungnya naik. Waduh, aku lupa kalau suamiku pantangan makan sayur nangka muda terus. Akunya senang, suamiku meradang. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 lebih 15 menit. Segera naik motor ke Kedunglurah beli sayur daun singkong. Wajah suamiku kembali terlihat indah. Segera aku berangkat ke sekolah sambil tersenyum dalam hati. Terlalu suka dengan sayur nangka muda juga ada dampaknya. Belum lagi kakakku selalu mengingatkan agar mengurangi mengonsumsi blendrang karena bila terlalu sering dihangatkan  kadar garam dalam makan bersantan bisa meningkat. Tentunya membahayakan orang yang memiliki riwayat hipertensi. Selain kadar garam, kandungan lemak  di dalam santan juga bisa semakin meningkat, sehingga resiko kena penyakit kolesterol tinggi.

KESAN

Blendrang identik dengan kesederhanaan dan berhemat. Teringat pesan bapakku meski hidup kecukupan harus membiasakan hidup sederhana. Makan-makanlah hasil ladang dan sawah yang kita tanam. Biasakan makan makanan dari tumbuhan, kurangi makan daging berlebihan. Jangan sering membuang-buang makanan. Jika sayur masih baik dan enak dimakan sebaiknya dihangatkan. Itulah sebabnya aku suka blendrang, terutama blendrang tewel. Cita rasanya menggigit dan bikin ketagihan. Jadi terkenang kembali lintingan blendrang tewel Mbah Senen. Selain itu menurutku sayur nangka muda lebih aman dari obat hama tanaman. Kalau sayur kacang, sawi, kangkung dan lain-lain sering disemprot dengan insektisida. Kutahu itu karena rumahku dekat dengan persawahan. Makanya sayur sawi, kangkung dan kacang panjang nampak sangat bagus dan tidak dimakan ulat, karena disemprot 3 hari sekali. Sedangkan nangka muda tidak pernah disemprot pestisida maupun insektisida, sehingga aman dari  bahaya obat untuk hama tanaman. Kesimpulannya mengonsumsi blendrang tewel selain nikmat juga hemat.

15 komentar:

  1. Luwar biasa bu 2 hari lebih hehehe

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Penasaran sama blendrang olahan Bu Muslikah😋

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo pinarak Bu Nur. Rumah Ngadirejo kec Pogalan

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. lintingan blendrang puuengen maem blendrang maleh malian

    BalasHapus
  6. Wah..mantab Bu untuk keduanya (sayur blendrang tewel, utamanya tulisannya).
    Tapi, kalau boleh jujur saya lebih suka blendrang testho (kates + lotho).
    hehe
    Padahal kalau makan buah pepaya, malah kurang begitu suka.

    BalasHapus
  7. Jarang daerah saya blendrang Testo. Yg sering weltho. Rewel lotho

    BalasHapus