Kala itu, cuaca cerah. Hanifah dibonceng suaminya
melewati kebun sawit. Kanan kiri sawit, depan belakang tetap sawit. Kalimat
pertama yang muncul dibenak Hanifah. Wow, indahnya. Melihat perkebunan sawit
yang sejuk. Sinar mentari menembus rimbunnya pelepah dan dedaunan sawit yang
menyatu dengan sawit yang lain. Di
batang sawit dan pepohonan besar, menempel
bersahabat beberapa tumbuhan Pteridophyta.
Seperti Tumbuhan Plarycerium bifurcatum
(paku tanduk rusa), Asplenium Nidus (paku
sarang burung), Pyrrosia piloselloides ( paku sisik naga/duduitan) dan lain-lain. Di bawah pohon sawit juga nampak Adiantum, Pteridium maupun Polipodium yang berjajar-jajar. Hanifah jadi
ingat Kecamatan Bendungan yang indah. Juga terkenang, ketika masih rajin mbolang
dengan Tim Ekspedisi Biologi (TEB).
Lama kelamaan hatinya mulai gundah. Ketika sudah hampir pukul 13.15 WIB, masih mengikuti
putaran roda Honda. Tapi masih tetap saja belum sampai tujuan. Fikiran Hanifah mulai
negatif, gimana kalau ketemu perampok, begal? Jika tiba-tiba ban bocor, adakah tukang tambal ban? Berpuluh-puluh kilometer
hanya pohon sawit aja. Akhirnya menemukan sebuah rumah makan yang cukup mewah
untuk ukuran tempat kuliner di tengah kebun sawit. Hanya ada tiga rumah di
kanan kiri rumah makan itu. Rumah makan” Sabar Menanti” di kecamatan Perhentian Raja. Satuan Pemukiman (SP 2). Hanifah
dan Mumtaz turun, memesan makanan. Hanifah berbisik kepada suaminya agar tidak
memesan lauk rendang. Karena sudah satu minggu lauk di rumah kakak iparnya
tetap rendang sapi. Untuk kali ini Hanifah memesan lalapan gurami goreng.
Dengan lahapnya mereka berdua makan. Kemudian Mumtaz meminta ijin untuk ikut
sholat dhuhur di mushola samping rumah makan.
“Maaf , Bapak dan ibu bukan asli sini, ya,”Tanya
pemilik rumah makan. Mungkin pemilik rumah makan merasa logat mereka lebih
pelan pelafalannya, di banding logat orang Pekanbaru. Rata-rata mereka bicara
sangat cepat. Jika belum paham betul mereka berbincang dengan Ninik mamak seperti orang bertengkar. Nerocos dan keras.
Maaf, Hanifah kadang-kadang tidak punya tempat untuk ikut nimbrung bicara.
“ Betul Bu, kami dari Jawa,” jawab suamiku.
“Silahkan kalau kalian mau sholat dhuhur!,” pemilik rumah
makan mempersilahkan mereka menggunakaan musholanya. Kemudian keduanya
melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Menunggu suaminya yang masih khusuk
wiridan.
Hanifah
menggantang asap, mengingat dering telpon dari suaminya beberapa hari yang
lalu. Di madrasah tempat ia mengajar. Tepatnya di ruang guru. Sebelum
Hanifah menyetujui mereka berangkat ke
Pekanbaru.
Drrrt, drrrt, drrrt…
Handphone butut Hanifah berdering. Suaminya menelephon ketika jam
istirahat sekolah. Suaminya berbicara tiada henti. Meyakinkan agar Hanifah ikut
menghadiri pernikahan keponakan Mumtaz. Muntaz harus ke Riau karena ini
pernikahan anak bungsu kakaknya. Kakak perempuan Mimtaz, Budhe Kalimah. Bu Dhe Kalimah inilah yang momong
Muntaz ketika ayahnya merantau tak tentu rimbanya. Ibu yang renta dan Bu Dhe Kalimah
remaja, yang membesarkan Mumtaz.
Mumtaz menunggu sampai Hanifah mendapat ijin dari
kepala sekolahnya. Karena sebagai PNS tentunya tidak bisa ijin lebih dari tiga
hari. Bahkan Suaminya menyambungkan hubungan telephonnya ke kakaknya yang nomor
2. Bahwa beaya tranpotasi sudah dicukupi kakaknya ini. Beliau adalah Mas Sulam
Taufik. Sebenarnya ia ulet untuk berangkat, bukan masalah beaya transport PP
Trenggalek-Pekanbaru. Tapi Hanifah harus
menyelesaikan rapor siswa kelas 6. Setelah itu, baru berangkat buwuh
ke Pekanbaru.
Hari Sabtu malam pada tanggal 20 Juni 2015. Hari
terakhir masuk sekolah, menjelang Libur Semester II tahun pelajaran 2014/2015.
Tepatnya pukul 22.00 berangkat dari Kios
pembelian tiket pesawat di Bandung Tulungagung menuju Bandara Juanda. Sampai di
Bandara Juanda Pukul 02.00 dinihari. Mereka
berangkat berempat. Hanifah, Mumtaz, Hanum (Putri Hanifah dan Mumtaz)dan
Bu Dhe Rufaida. Hanum tidak tidur sama sekali. Mungkin bocil ini senang
bebergian jauh. Mau naik pesawat. Dia berlarian ke sana kemari. Setelah waktu
yang ditentukan mereka berempat melakukan check-in. Mereka mempersiapkan KTP untuk keperluan check-in. Lain-lain
keperluannya sudah dibawa Mumtaz.
Setelah Hanifah menerima lembar boarding pass, ia lihat nomor penerbangan,
nomor kursi pesawat dan nomor gate keberangkatan. Yang menegangkan sampai di
security check. Mereka harus cermat melewati security check, harus teliti
jangan sampai barang berharga ada yang tertinggal/tertukar.
Setelah mau boarding, berjalan dari ruang tunggu di
gate II melewati lorong menuju pesawat. Hanifah
ingat pesan anak sulungnya.
“Ibuk ntar
jangan terlihat deso ya,” Kata anakku. “Selfi di tangga, minta foto sama
pramugari, menyalakan hp, minta duduk
dekat jendela pesawat, kemudian ribut tukar tempat duduk(ingin duduk dekat
Bapak),”pesan anakku.
Ndak lah, Le,”
jawab Hanifah sambil mengangguk-angguk. Putra sulungnya tidak ikut karena ada ujian
toefl di kampusnya.
Namun ketika sudah di pintu pesawat. Di situ sudah disapa
oleh para Pramugari Batik Air yang cantik. Ramah. Jiwa ndeso
Hanifah meronta-meronta. Yeah, tetap ngajak selfi sang pramugari. Cekrek! Muntaz
memberi isyarat jempol ke bawah. Unlike! Hanifah no reken. Setelah dibantu
mencari tempat duduk oleh pramugari. Hanifah duduk dengan Hanum, dan Bu Dhe
Rufaida. Mumtaz berada di deret bangku
samping kiri, terpisah dengannya.
Setelah beberapa menit, pesawat melakukan take off .
Telinga Hanifah sangat panas. Entah apa penyebabnya. Apalagi ada bayi yang menangis tiada henti-hentinya.
Si Hanum minta dilepas sabuk pengaman, mau pipis. Hanifah minta bantuan
Pramugari. Si Kecil ini jalan menuju toilet pesawat dibimbing seorang
pramugari. Setelah selesai pipis ia duduk manis. Seorang pramugari menawari
Koran. Hanum menerimanya padahal ia belum begitu lancar membaca. Ia lebih
terlihat percaya diri dari pada aku yang
sedari tadi hanya tidur ayam(mata tertutup tapi tak bisa tidur). Setelah melahap
menu makan dan minum yang ditawarkan pramugari, Hanum mulai terlelap tidur.
Hanifah mulai gelisah ketika pramugari selalu menginformasikan ketinggian
pesawat. Apalagi ia hanya bisa melihat awan putih yang berarak bak gumpalan
kapas.
Sampailah mereka di Bandara Syarif Kasim II. Tidak
semegah bandara Suhat maupun Juanda. Mumtaz dan Bu Dhe Rufaida menuju Baggage Claim.
Hanifah mengendong Hanum yang masih tertidur. Setelah keluar dari tempat pengambilan barang, mereka sudah
dijemput menantu Bu Dhe Rufaida. Mobil Mustofa(menantu Bu Dhe Rufaida) melaju
dari bandara Syarif Kasim II. Keluar
melewati Jalan Jendral Sudirman. Masuk Jalan Arifin Ahmad belok kanan melewati
Arengka I. Sampai di Mall Ska depan
Living Word belok kiri melewati jalan Air Hitam. Dan lurus tembus
Garuda Sakti Km 3 belok kanan lurus sampai Km 21. Sampailah di Desa
Bencah Kelubi, Bangkinang, Kabupaten
Kampar Provinsi Riau. Rumah Mustofa di gang Melati Merah no.4. Hanifah mencatat perjalanan indah mereka
dalam buku harian mini.
Mumtaz berbisik,” Itu terlalu kuno. Di jaman now, tinggal
buka GPS. Atau pesan suara ‘OK Google’, hhhh.”
Mumtaz mengejek istrinya. Hanifah cemberut. Mencubit suaminya. Dalam
benaknya ngedumel,” Dulu pernah muter-muter di pelosok kota Sukoharjo Jawa Tengah
gara-gara pakai GPS.”
Setelah sehari menginap di rumahnya Mustofa. Hanifah
dan keluarga dijemput Budhe Mar menuju Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten
Kampar. Mobil dari jalan Garuda Sakti Km
21 melaju sampai jalan Garuda Sakti Km 1. Dari Simpang Panam Pekanbaru, lurus menuju Jalan Kubang. Sampai Simpang Kubang belok kanan lewat Jalan
Lintas Barat. Sekitar jarak tempuh 30 km, sampailah di Simpang PTPN 5 Kebun Sei
Pagar. Mobil mereka lurus, kemudian
belok ke kanan melewat Desa Pantai Raja.
Masuk ke dalam perkebunan yang tidak
beraspal. Jalanan mulai berlubang cukup dalam. Sopir melambatkan laju mobilnya.
Sampai di Jalan Trans PIR SP -1 yang licin dan berlubang menuju SP-2. Dan
akhirnya sampai di rumah mempelai perempuan. Di rumah, yang memiliki tetangga
sekitar 65 rumah ini sudah
mulai persiapan perhelatan.
Perhelatan sangat meriah, pernikahan menggunakan adat
Riau. Para tamu berdatangan. Semua tamu perempuan menggunakan pakaian muslimah.
Dalam acara resepsi itu terdapat acara penyambutan dengan tampilan seperti pencak silat. Kemudian
acara Satu Hutang, Kuminang dan serah terima mempelai. Ninik Mamak yang hadir nampak
bahagia. Tamu undangan tidak hanya
dari SP-1/SP-2, namun juga dari wilayah lainnya. Ternyata suaminya Bu Dhe Mar
ini orang yang ditokohkan bahkan pernah memilik jabatan tinggi di PTPN 5.
Ketika perhelatan selesai Mumtaz mengajak istrinya
Hanifa menjenguk saudaranya yang ada di daerah Sei Pagar. Yang akhir tersesat
seperti masuk ke labirin. Jalanan yang sama dan mirip. Apalagi kalau sudah menemukan pohon sawit yang tumbang
dipenuhi lumut dan tumbuhan paku. Rasanya seperti hidup di jaman dinosaurus.
Akhirnya Mumtaz bertanya ke pemilik rumah makan jalan tercepat menuju Sei Pagar SP3.
Honda mereka melaju kencang supaya tidak kemalaman.
Karena Hanum tidak di ajak . Sampailah di wilayah Sei Pagar. Setelah istirahat,
kakaknya Mumtaz mengajaknya berziarah ke makam bapaknya. Ternyata mertua Hanum
meninggal dan dimakamkan di Sei Pagar.
Kenangan. 27 Juni 2015.
Mantab....
BalasHapusTerimakasih. Motivasinya Pak Abbuzahra
BalasHapusBagus nek..
BalasHapusSemoga lebih banyak lagi tulisan menginspirasi..
Semoga kelak aku bisa sperti njenengan