Sabtu, 18 Juli 2020

TERSESAT DI HUTAN SAWIT. LABIRIN.

Kala itu, cuaca cerah. Hanifah dibonceng suaminya melewati kebun sawit. Kanan kiri sawit, depan belakang tetap sawit. Kalimat pertama yang muncul dibenak Hanifah. Wow, indahnya. Melihat perkebunan sawit yang sejuk. Sinar mentari menembus rimbunnya pelepah dan dedaunan sawit yang menyatu dengan sawit  yang lain. Di batang  sawit dan pepohonan besar, menempel bersahabat beberapa tumbuhan Pteridophyta. Seperti Tumbuhan Plarycerium bifurcatum (paku tanduk rusa), Asplenium Nidus (paku sarang burung), Pyrrosia piloselloides ( paku sisik naga/duduitan) dan lain-lain. Di bawah pohon sawit juga nampak Adiantum, Pteridium maupun  Polipodium yang berjajar-jajar. Hanifah jadi ingat Kecamatan Bendungan yang indah. Juga terkenang, ketika masih rajin  mbolang dengan Tim Ekspedisi Biologi (TEB).

Lama kelamaan hatinya mulai gundah.  Ketika  sudah hampir pukul 13.15 WIB, masih mengikuti putaran roda Honda. Tapi masih tetap saja belum sampai tujuan. Fikiran Hanifah mulai negatif, gimana kalau ketemu perampok, begal?  Jika tiba-tiba ban bocor, adakah  tukang tambal ban? Berpuluh-puluh kilometer hanya pohon sawit aja. Akhirnya  menemukan sebuah rumah makan yang cukup mewah untuk ukuran tempat kuliner di tengah kebun sawit. Hanya ada tiga rumah di kanan kiri rumah makan itu. Rumah makan” Sabar Menanti” di kecamatan  Perhentian Raja. Satuan Pemukiman (SP 2). Hanifah dan Mumtaz turun, memesan makanan. Hanifah berbisik kepada suaminya agar tidak memesan lauk rendang. Karena sudah satu minggu lauk di rumah kakak iparnya tetap rendang sapi. Untuk kali ini Hanifah memesan lalapan gurami goreng. Dengan lahapnya mereka berdua makan. Kemudian Mumtaz meminta ijin untuk ikut sholat dhuhur di mushola samping rumah makan.

“Maaf , Bapak dan ibu bukan asli sini, ya,”Tanya pemilik rumah makan. Mungkin pemilik rumah makan merasa logat mereka lebih pelan pelafalannya, di banding logat orang Pekanbaru. Rata-rata mereka bicara sangat cepat. Jika belum paham betul mereka berbincang dengan Ninik mamak  seperti orang bertengkar. Nerocos dan keras. Maaf, Hanifah kadang-kadang tidak punya tempat untuk ikut nimbrung bicara.

“ Betul Bu, kami dari Jawa,” jawab suamiku.

“Silahkan kalau kalian mau sholat dhuhur!,” pemilik rumah makan mempersilahkan mereka menggunakaan musholanya. Kemudian keduanya melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Menunggu suaminya yang masih khusuk wiridan.

Hanifah menggantang asap, mengingat dering telpon dari suaminya beberapa hari yang lalu. Di madrasah tempat ia mengajar. Tepatnya di ruang guru. Sebelum Hanifah  menyetujui mereka berangkat ke Pekanbaru.

Drrrt, drrrt, drrrt…

Handphone butut Hanifah  berdering. Suaminya menelephon ketika jam istirahat sekolah. Suaminya berbicara tiada henti. Meyakinkan agar Hanifah ikut menghadiri pernikahan keponakan Mumtaz. Muntaz harus ke Riau karena ini pernikahan anak bungsu kakaknya. Kakak perempuan Mimtaz, Budhe  Kalimah. Bu Dhe Kalimah inilah yang momong Muntaz ketika ayahnya merantau tak tentu rimbanya. Ibu yang renta dan Bu Dhe Kalimah remaja, yang membesarkan Mumtaz.

Mumtaz menunggu sampai Hanifah mendapat ijin dari kepala sekolahnya. Karena sebagai PNS tentunya tidak bisa ijin lebih dari tiga hari. Bahkan Suaminya menyambungkan hubungan telephonnya ke kakaknya yang nomor 2. Bahwa beaya tranpotasi sudah dicukupi kakaknya ini. Beliau adalah Mas Sulam Taufik. Sebenarnya ia ulet untuk berangkat, bukan masalah beaya transport PP Trenggalek-Pekanbaru. Tapi  Hanifah harus menyelesaikan rapor siswa kelas 6. Setelah itu, baru berangkat buwuh ke Pekanbaru.

Hari Sabtu malam pada tanggal 20 Juni 2015. Hari terakhir masuk sekolah, menjelang Libur Semester II tahun pelajaran 2014/2015. Tepatnya  pukul 22.00 berangkat dari Kios pembelian tiket pesawat di Bandung Tulungagung menuju Bandara Juanda. Sampai di Bandara Juanda Pukul 02.00 dinihari. Mereka  berangkat berempat. Hanifah, Mumtaz, Hanum (Putri Hanifah dan Mumtaz)dan Bu Dhe Rufaida. Hanum tidak tidur sama sekali. Mungkin bocil ini senang bebergian jauh. Mau naik pesawat. Dia berlarian ke sana kemari. Setelah waktu yang ditentukan mereka berempat melakukan check-in. Mereka  mempersiapkan KTP untuk keperluan check-in. Lain-lain  keperluannya sudah dibawa Mumtaz. Setelah  Hanifah  menerima lembar  boarding pass, ia lihat nomor penerbangan, nomor kursi pesawat dan nomor gate keberangkatan. Yang menegangkan sampai di security check. Mereka harus cermat melewati security check, harus teliti jangan sampai barang berharga ada yang tertinggal/tertukar.

Setelah mau boarding, berjalan dari ruang tunggu di gate II  melewati lorong menuju pesawat. Hanifah ingat pesan anak sulungnya.

 “Ibuk ntar jangan terlihat deso ya,” Kata anakku. “Selfi di tangga, minta foto sama pramugari, menyalakan hp,  minta duduk dekat jendela pesawat, kemudian ribut tukar tempat duduk(ingin duduk dekat Bapak),”pesan anakku.

Ndak lah,  Le,” jawab Hanifah sambil mengangguk-angguk. Putra sulungnya tidak ikut karena ada ujian toefl di kampusnya.

Namun ketika sudah di pintu pesawat. Di situ sudah disapa oleh para Pramugari Batik Air yang cantik. Ramah.  Jiwa  ndeso Hanifah meronta-meronta. Yeah, tetap ngajak selfi sang pramugari. Cekrek! Muntaz memberi isyarat jempol ke bawah. Unlike! Hanifah no reken.  Setelah dibantu mencari tempat duduk oleh pramugari. Hanifah duduk dengan Hanum, dan Bu Dhe Rufaida. Mumtaz  berada di deret bangku samping kiri, terpisah dengannya.

Setelah beberapa menit, pesawat melakukan take off . Telinga Hanifah sangat panas. Entah apa penyebabnya. Apalagi  ada bayi yang menangis tiada henti-hentinya. Si Hanum minta dilepas sabuk pengaman, mau pipis. Hanifah minta bantuan Pramugari. Si Kecil ini jalan menuju toilet pesawat dibimbing seorang pramugari. Setelah selesai pipis ia duduk manis. Seorang pramugari menawari Koran. Hanum menerimanya padahal ia belum begitu lancar membaca. Ia lebih terlihat  percaya diri dari pada aku yang sedari tadi hanya tidur ayam(mata tertutup tapi tak bisa tidur). Setelah melahap menu makan dan minum yang ditawarkan pramugari, Hanum mulai terlelap tidur. Hanifah mulai gelisah ketika pramugari selalu menginformasikan ketinggian pesawat. Apalagi ia hanya bisa melihat awan putih yang berarak bak gumpalan kapas.

Sampailah mereka di Bandara Syarif Kasim II. Tidak semegah bandara Suhat maupun Juanda. Mumtaz dan Bu Dhe Rufaida menuju Baggage Claim. Hanifah mengendong Hanum yang masih tertidur. Setelah keluar  dari tempat pengambilan barang, mereka sudah dijemput menantu Bu Dhe Rufaida. Mobil Mustofa(menantu Bu Dhe Rufaida) melaju dari bandara Syarif  Kasim II. Keluar melewati Jalan Jendral Sudirman. Masuk Jalan Arifin Ahmad belok kanan melewati Arengka I. Sampai  di Mall Ska depan Living Word belok kiri melewati jalan Air Hitam. Dan  lurus tembus  Garuda Sakti Km 3 belok kanan lurus sampai Km 21. Sampailah di Desa Bencah Kelubi, Bangkinang,  Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Rumah Mustofa di gang Melati Merah no.4. Hanifah mencatat perjalanan indah mereka dalam buku harian mini.

Mumtaz berbisik,” Itu terlalu kuno. Di jaman now, tinggal buka GPS. Atau pesan suara ‘OK Google’, hhhh.”  

Mumtaz mengejek istrinya. Hanifah cemberut. Mencubit suaminya. Dalam benaknya ngedumel,” Dulu pernah muter-muter di pelosok kota Sukoharjo Jawa Tengah gara-gara pakai GPS.”

Setelah sehari menginap di rumahnya Mustofa. Hanifah dan keluarga dijemput Budhe Mar menuju   Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten Kampar. Mobil  dari jalan Garuda Sakti Km 21 melaju sampai jalan Garuda Sakti Km 1. Dari Simpang Panam Pekanbaru,  lurus menuju Jalan Kubang.  Sampai Simpang Kubang belok kanan lewat Jalan Lintas Barat. Sekitar jarak tempuh 30 km, sampailah di Simpang PTPN 5 Kebun Sei Pagar. Mobil mereka lurus,  kemudian belok  ke kanan melewat Desa Pantai Raja. Masuk  ke dalam perkebunan yang tidak beraspal. Jalanan mulai berlubang cukup dalam. Sopir melambatkan laju mobilnya. Sampai di Jalan Trans PIR SP -1 yang licin dan berlubang menuju SP-2. Dan akhirnya sampai di rumah mempelai perempuan. Di rumah, yang memiliki tetangga sekitar 65 rumah ini    sudah mulai persiapan perhelatan.

Perhelatan sangat meriah, pernikahan menggunakan adat Riau. Para tamu berdatangan. Semua tamu perempuan menggunakan pakaian muslimah. Dalam acara resepsi itu terdapat acara  penyambutan  dengan tampilan seperti pencak silat. Kemudian acara Satu Hutang, Kuminang dan serah terima mempelai. Ninik Mamak yang hadir nampak bahagia. Tamu undangan tidak hanya dari SP-1/SP-2, namun juga dari wilayah lainnya. Ternyata suaminya Bu Dhe Mar ini orang yang ditokohkan bahkan pernah memilik jabatan tinggi di PTPN 5.

Ketika perhelatan selesai Mumtaz mengajak istrinya Hanifa menjenguk saudaranya yang ada di daerah Sei Pagar. Yang akhir tersesat seperti masuk ke labirin. Jalanan yang sama dan mirip. Apalagi kalau  sudah menemukan pohon sawit yang tumbang dipenuhi lumut dan tumbuhan paku. Rasanya seperti hidup di jaman dinosaurus. Akhirnya Mumtaz bertanya ke pemilik rumah makan jalan tercepat  menuju Sei Pagar SP3.

Honda mereka melaju kencang supaya tidak kemalaman. Karena Hanum tidak di ajak . Sampailah di wilayah Sei Pagar. Setelah istirahat, kakaknya Mumtaz mengajaknya berziarah ke makam bapaknya. Ternyata mertua Hanum meninggal dan dimakamkan di Sei Pagar.

                                                                                              Kenangan. 27 Juni 2015.

 


3 komentar:

  1. Terimakasih. Motivasinya Pak Abbuzahra

    BalasHapus
  2. Bagus nek..
    Semoga lebih banyak lagi tulisan menginspirasi..
    Semoga kelak aku bisa sperti njenengan

    BalasHapus