Seperti
biasanya pukul 05.30, seorang pedagang keliling sudah
membunyikan klakson. Beberapa ibu-ibu berdatangan untuk berbelanja. Aku cuma beli
krupuk sama tahu. Karena hari ini tetep
masuk sekolah. Maka tidak perlu memasak yang membutuhkan waktu lama. Nampak Bu Salma hanya membeli bayam, 1 bungkus kara, sama
ikan teri kering. Aku dan Bu Salma pulang naik sepeda beriringan. Memang rumah kami searah cuma beda gang.
“ Bu
Salma, semua anak-anak sudah sekolah ?,’’ tanyaku padanya. Pertanyaan basa basi. Padahal aku tahu yang sudah masuk hanya SMP dan SMA sedangkan tingkat dasar belum. Pertanyaan untuk ramah tamah aja.
“Nimas
dan Akmal sudah. Tapi Kurnia dan Hasan belum,” Jawabnya Nampak menyembunyikan
kesedihan.
“ Ibu
suka beli kara?,’’ tanyaku. Ia lama menjawab dengan sedikit ragu, ia
menjelaskan alasan beli kara.
“ Hhh,
pohon kelapa mati dimakan “kewawung”. Kalau beli 1 kelapa mahal,
tidak habis tiga hari, terus membusuk. Karena memang tak punya kulkas, “ tutur
Ibu Salma.
“Bu,
boleh nggak nanti sore berkunjung ke rumah ibu?.” Tanyaku.
“Oh,
Silahkan. Dengan senang hati,” jawabnya sambil melambaikan tangan. Karena aku
harus berbelok masuk gang menuju rumahku.
Setelah
selesai menyiapkan hidangan sarapan pagi yang sederhana. Aku segera berkemas
untuk berangkat ke sekolah. Meski aku hanya Guru Tetap Yayasan, jangan sampai
terlambat datang ke sekolah. Sejak pukul 07.00 WIB. Tugas sudah aku kirim ke
WhatsApp Group anak-anak. Karena masih masa matsama, kegiatan masih sederhana.
1.
Siswa melakukan sholat dhuha di rumah
2.
Melakukan absensi via WA
3.
Melakukan murojaah surat Al –Lail
4.
Menyimak guru membacakan sejarah tentang kemajemukan di Indonesia
5.
Menyanyikan lagu nasional/daerah
6.
Siswa melakukan ibadah sholat dhuhur.
Sesampai di sekolah
langsung menyimak kiriman hasil belajar siswa hari ini. Membuat daftar siswa yang
sudah mengerjakan dan belum. Memberi komentar positif terhadap hasil karya
mereka sebagai reward atas usaha mereka. Menyimak dan menilai kiriman voice
note bacaan surat Al-Lail. Membaca dan mengoreksi jawaban atas pertanyaan
peristiwa yang menunjukkan kemajemukan di Indonesia. Menyaksikan kiriman video
menyanyikan lagu daerah. Karya mereka sungguh luar biasa. Beberapa siswa mampu
melafalkan surah Al-Lail dengan fasih. Menjawab pertanyaan dengan runtut dengan
ejaan yang benar.
Yang lebih
mengharukan upaya mereka untuk membuat video menyanyikan lagu daerah sangat
luar biasa. Mengintip story WA seorang ibu wali murid yang memposting kronologi
pembuatan video putrinya. Story itu bertajuk “Behind the scene”. Putrinya
diajak ke kebun belakang rumah yang alami. Dengan setting daun pisang kering yang bergoyang
diterpa angin. Memilih setting tempat dekat pohon pisang disesuaikan warna baju
putrinya yang berwarna kuning. Terlihat putrinya menghafal lagu daerah di
handphonenya. Sang Bunda menyiapkan iringan musik downloud dari youtube. Proses
menyanyi dimulai, diceritakan pada story tersebut sedikit terjadi ketegangan
saat Bundanya mengingin putri sedikit ada gerakan untuk memperindah lagu. Dan
sang putri tidak mau karena merasa terlalu berlebihan. Itulah sedikit kisah
menarik seorang Ibu yang harus WFO tetapi tetap mendampingi putra-putrinya
sebelum bekerja.
Aku tidak mengharuskan
siswa melantunkan lagu dengan musik. Tanpa musikpun boleh. Yang penting mereka
mengenal keragaman budaya Indonesia. Namun beberapa siswa kreatif memberi
iringan. Ada pula yang hpnya dibawa kakaknya bekerja. Mereka akhirnya
berkunjung ke rumah temannya untuk membuat video. Ada pula yang tidak mau
merepotkan orang tua, divideo sendiri, menyanyi dengan setting kamar tidur. Demikianlah usaha
anak-anak membuat video lagu daerah. Banyak kreasi yang mereka lakukan.
Setelah selesai tugas
di sekolah. Kami para guru mohon ijin pulang kepada bapak kepala sekolah. Setelah
menunaikan sholat dhuhur, beristirahat beberapa menit. Kemudian berkunjung ke
rumah Bu Salma. Ku siapkan beberapa bahan makanan secukupnya. Untuk dibawa ke
Bu Salma. Sebetulnya hidupku tidak berlebihan. Honor guru tidak tetap, hanya cukup
untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sederhana. Apalagi menunggu tunjangan
fungsional yang tak kunjung cair. Masih proses pengajuan. Harus lebih bersabar
lagi. Meski menunggu itu suatu yang menjemukan. Namun untuk berbagi tidak harus
menunggu hidup kita berlebihan. Untung sekarang ada tunjangan fungsional.
Pertama kali aku menjadi GTT guru tidak tetap yayasan dengan honor dibawah
Rp10.000. Itu gaji GTT tahun 1991. Tahun 2004 naik menjadi Rp103.000. Tapi juga
berkah dan cukup untuk hidup sederhana.
Sesampai di rumah Bu
Salma, ia terlihat sedang merapikan ranting kayu sisa pakan kambing tetangga
sebelahnya. Melihat kedatanganku Bu Salma mengajakku duduk di teras rumahnya.
Terdengar dari dalam rumah ada perdebatan antara ke 4 putra-putri Bu Salma.
Mereka berebut hp untuk bergantian mengerjakan tugas dari para gurunya
masing-masing. “Wah, Bu. Kok selalu
repot bawa sembako ke sini,” kata Bu Salma sambil menunduk. ‘’Beginilah keadaan
rumah jika masa belajar di rumah. Anak-anak berebut hp untuk kirim tugas. Hpnya
hanya satu. Apa masih lama masuk sekolah?”
“Insya Alloh bulan
September Bu,” jawabku. “ Yang sabar memang lagi masa pandemi.”
‘’Kok tumben dolan ke
sini. Mungkin ada yang bisa saya bantu,” Tanya Bu Salma kepadaku.
Belum aku jawab pertanyaannya.
Pak Hambali suami Bu Salma pulang dengan membawa cangkul. Si kecil Kurnia
berlari memeluk bapaknya sambil merajuk. “ Pak, belikan Nia pulsa internet.
Pulsanya habis untuk kakak kirim tugas.”
Pak Hambali tidak
menjawab. Pandangannya kosong mengarah ke teras tempat kami berbincang-bincang.
Ia segera mengajak putri kecilnya masuk rumah. Kurnia terus merengek, matanya
berkaca-kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar