Setelah mengikuti pembukaan Matsama via youtube oleh Kakanwil Jawa Timur. Aku menuju ruang kelasku yang sepi. Aku masih teringat diagram lingkaran hasil survey belajar dari rumah yang dikirim seorang teman. Diagram hasil survey sebuah sekolah yang mungkin jawabannya akan senada jika diterapkan di sekolah-sekolah lain. Sambil menunggu kepala madrasah yang akan streaming live di kelasku untuk kegiatan Matsama hari ini. Aku membaca lagi diagram tersebut. Kemudian setelah proses Matsama online selesai dilanjutkan dengan rapat persiapan kegiatan minggu depan. Rapat selama satu jam selesai. Dan kamipun pulang untuk segera mendampingi anak yang juga belajar daring.
Sepulang sekolah mampir belanja di rumah Bu Titik. Ramai orang
berbelanja, memang Bu Titik orangnya ramah. Dagangan segar, kayaknya hasil bumi
masyarakat sekitar situ. Sayur mayur masih segar, mentimun yang dijual masih
muda nikmat. Tomat kuning kemerahan nampak ranum. Yang lebih asyik lagi belanja
di toko tradisional dibumbui dengan sedikit perbincangan lucu, receh dan
menggemaskan. Pokoknya ngakak habis. Ada-ada saja candaan para ibu-ibu. Di toko
itu persediaan belanjaan melebihi market modern, semua ada mulai dari sosis, ikan
bakar, ikan basah, roti, biskuit, sampai hasil bumi. Info terkini seputar
Trenggalek Tulungagung hangat diperbincangkan. Ketika sedang bercanda tidak ada
batas antar sales, penjual, guru, petugas kesehatan, ibu kepala sekolah.
Pokoknya riuh tertawa kalau sedang ada joke yang mengena.
Ketika aku sedang memilih mentimun muda, tiba-tiba ada yang menepuk
bahuku. “ Maak, kok beli timun banyak untuk apa?’’ sapa dia. “Kemarin kok
terlihat di depan Puskesmas Pogalan lagi ngapain? Periksa kehamilan, hhhh,”
tawanya berderai. Tubuhnya yang langsing bergoyang-goyang karena
terpingkal-pingkal.
“Hhhh, masak usia segini hamil. Bisa resiko tinggi nanti. Usia yang
melebihi 45 melahirkan beresiko bagi kesehatan. Baik untuk bayi maupun ibunya.
Betul kan Bu Bidan?,” selorohku sekenanya.
“Jangan ikut-ikut memberi penyuluhan tentang Bumil. Ibu-ibu ini ngurus
BDR aja. Dengar berita sama Pak Nadim pembelajaran online mau dipermanenkan, hhhh.
Panjenengan harus cari solusi biar ibu-ibu tidak stress,’’jawabnya sambil
mencolek lenganku. Kami semua pengunjung toko tertawa serempak.
‘’Tadi pagi saya sudah bilang ke anak sulungku,” curhat seorang ibu. “
Kak, hari ini sudah mulai daring lho,’’Katanya mulai bercerita. Terlihat Ibu
muda itu seperti menahan tawanya. Dilanjutkan ceritanya, dengan mimik muka sedikit
geram.
‘’Berarti hari ini, Ibuk mulai marah-marah lagi.’’
"Begitu Bu jawab
anakku yang sulung." Kami yang mendengar
cerita itu tersenyum menahan gelak tawa.
Anak sekarang lebih leluasa
mengungkapkan isi hatinya. Tanpa berfikir hal itu membuat ibunya sedih.
“Saya barusan dari rumah anak saya di Ponorogo. Cucu saya yang nomor dua itu curhat sama saya, Uty-nya,” kisah seorang Ibu tua yang masih terlihat garis-garis kecantikannya.
“ Kalau cucu saya yang nomor 1 putri, sudah SMP. Jadi
kalau ada tugas dari gurunya. Bisa dikerjakan sendiri dikirim ke gurunya
sendiri,” lanjut beliau.
“ Yang nomor dua ini masih kelas 3, lumayan kemampuan berkilahnya, hhh,”
kisahnya sambil tertawa tapi matanya berkaca-kaca. Terharu.
Ketika kami makan bersama, cucuku
ini bilang begini. “ Uty, kenapa sih Umi
ini sering marah-marah. Padahal Umi Cuma ngajari 3 anak. Kalau Ustadzahku ngajar
24 anak nggak pernah marah-marah. “ Uminya yang sedang makan langsung tersedak.
Ungkap beliau. “Aku langsung mengelus punggung menantuku.”
“Uty, aku pernah lho tanpa sengaja dorong teman sampai celana robek
nggak bisa dipakai. Tapi Ustadzahku juga nggak teriak-teriak. Dia Cuma bilang
gini.” Cucuku Haikal ini mulai berdiri menirukan Ustadzahnya.
“Haikal tau kesalahanmu hari ini,” Haikal menirukan Ustadzahnya yang
bicara kalem tapi tegas. “Tau Ust.” (jawab Haikal bersosiodrama). “Coba
ceritakan,”itu kata Ustadzahku.
‘’Ust, tadi aku main-main sama Qila. Terus bercanda, tanpa sengaja Qilanya
kedorong. Jatuh. Celananya robek, deh. Qila nangis,’’ cerita cucuku. Kami semua
yang ada di toko itu tertawa penasaran mendengar kisah berikutnya.
“Kemudian aku cuma disuruh
mendiamkan Qila, minta maaf. Dan kembali menghadap ustadzah untuk istighfar 10
kali, Uty,” jelas Haikal dengan lugunya. “ Tapi kalau aku numpahin susu adik,
Umi pasti teriak-teriak. Aku dicupit pipi atau pantat. Bisa jadi dijewer,”lanjut
Haikal memelas.
Aku sebagai guru, yang
mendengar kisah itu, tidak merasa di atas angin. Tapi menyadari ibu yang bekerja dengan 3 putra yang
semuanya belajar daring memang tidak mudah. Harus mampu membagi waktu dengan
tepat. Suami juga harus ikut berperan membimbing putra-putrinya. Apalagi jika
salah satu dari anak tersebut sangat aktif, cara belajarnya kinestetik. Perlu
tenaga ekstra.
Ternyata untuk belanja mentimun sama sayuran, aku membutuhkan waktu hampir
30 menit. Lalu aku permisi meninggalkan toko untuk melanjutkan perjalanan.
Banyak hal yang aku dapat dari berlanja tadi. Ternyata daring banyak berdampak
pada emosi anak dan orang tua. Dari sisi finansial juga lebih banyak
membutuhkan pulsa. Pun makanan pendamping/camilan yang lebih banyak ketika Belajar
Dari Rumah.
Bisa jadi seorang gurupun juga
sedikit lebih tinggi emosinya ketika mendampingi putra belajar di rumah.
Dibanding ketika mengajar siswanya ketika tatap muka di sekolah. Karena siswa
lebih taat pada gurunya.
Mantap Bu. Perlu cermati mana huruf besar, mana huruf kecil. Di paragraf awal tertulis, "jawa Timur". Seharusnya "Jawa Timur". Terus menulis ya Bu. Semangat.
BalasHapusTerimakasih Bapak. Akan saya edit kembali. Terimakasih.
HapusBetul bu... Sy guru tp ketika di rumah sy juga gampang esmosi dan kurang tlaten membimbing anak... Hhh
BalasHapusSaestu. Anak kalau di rumah sedikit berulah
HapusMantul by, semangat literasi
BalasHapusTerimakasih. Kerawuhannya Pak Saiful
HapusTerimakasih Pak Saiful
HapusMantul by, semangat literasi
BalasHapusTerimakasih pak Saiful
HapusKeren Bu Tulisannya
BalasHapusTerimakasih motivasinya
HapusMantul bu,saya kepengin sekali menulis seperti ibu muslikah,tp kok belum bisa bagaimana resepnya
BalasHapusMenulis sederhana apa saya alami. Dengan bahasa sehari-hari. Sederhana
HapusMantul bu,saya kepengin sekali nulis seperti ibu muslikah ,bagaimana caranya,
BalasHapusSemua yg saya alami ditulis dg bahasa komunikatif sehari-hari.
HapusSemakin oke saja ibu kitaini...lanjutkan
BalasHapusTerima kasih. Lanjutkan
HapusTerimakasih. Salam literasi
BalasHapus