Senin, 13 Juli 2020

REALITA: KENDALA PEMBELAJARAN DARING


Setelah mengikuti pembukaan Matsama via youtube oleh Kakanwil Jawa Timur. Aku menuju ruang kelasku yang sepi. Aku masih teringat diagram lingkaran hasil   survey belajar dari rumah yang dikirim seorang teman. Diagram hasil  survey sebuah   sekolah yang mungkin jawabannya akan senada jika diterapkan di sekolah-sekolah lain. Sambil menunggu kepala madrasah  yang akan streaming live di kelasku untuk kegiatan Matsama hari ini. Aku  membaca lagi diagram tersebut.  Kemudian setelah proses Matsama online selesai dilanjutkan dengan rapat persiapan kegiatan minggu depan. Rapat selama satu jam selesai. Dan kamipun pulang untuk segera mendampingi anak yang juga belajar daring.

Sepulang sekolah mampir belanja di rumah Bu Titik. Ramai orang berbelanja, memang Bu Titik orangnya ramah. Dagangan segar, kayaknya hasil bumi masyarakat sekitar situ. Sayur mayur masih segar, mentimun yang dijual masih muda nikmat. Tomat kuning kemerahan nampak ranum. Yang lebih asyik lagi belanja di toko tradisional dibumbui dengan sedikit perbincangan lucu, receh dan menggemaskan. Pokoknya ngakak habis. Ada-ada saja candaan para ibu-ibu. Di toko itu persediaan belanjaan melebihi market modern, semua ada mulai dari sosis, ikan bakar, ikan basah, roti, biskuit, sampai hasil bumi. Info terkini seputar Trenggalek Tulungagung hangat diperbincangkan. Ketika sedang bercanda tidak ada batas antar sales, penjual, guru, petugas kesehatan, ibu kepala sekolah. Pokoknya riuh tertawa kalau sedang ada joke yang mengena.

Ketika aku sedang memilih mentimun muda, tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. “ Maak, kok beli timun banyak untuk apa?’’ sapa dia. “Kemarin kok terlihat di depan Puskesmas Pogalan lagi ngapain? Periksa kehamilan, hhhh,” tawanya berderai. Tubuhnya yang langsing bergoyang-goyang karena terpingkal-pingkal.

“Hhhh, masak usia segini hamil. Bisa resiko tinggi nanti. Usia yang melebihi 45 melahirkan beresiko bagi kesehatan. Baik untuk bayi maupun ibunya. Betul kan Bu Bidan?,” selorohku sekenanya.

“Jangan ikut-ikut memberi penyuluhan tentang Bumil. Ibu-ibu ini ngurus BDR aja. Dengar berita   sama Pak Nadim pembelajaran online mau dipermanenkan, hhhh. Panjenengan harus cari solusi biar ibu-ibu tidak stress,’’jawabnya sambil mencolek lenganku. Kami semua pengunjung toko tertawa serempak.

‘’Tadi pagi saya sudah bilang ke anak sulungku,” curhat seorang ibu. “ Kak, hari ini sudah mulai daring lho,’’Katanya mulai bercerita. Terlihat Ibu muda itu seperti menahan tawanya. Dilanjutkan ceritanya, dengan mimik muka sedikit geram.

‘’Berarti hari ini, Ibuk mulai marah-marah lagi.’’  

"Begitu Bu jawab anakku yang sulung."  Kami yang mendengar cerita itu tersenyum menahan gelak tawa.

Anak sekarang lebih leluasa mengungkapkan isi hatinya. Tanpa berfikir hal itu membuat ibunya sedih.

“Saya barusan dari rumah anak saya di Ponorogo. Cucu saya yang nomor dua itu curhat sama saya, Uty-nya,” kisah seorang Ibu tua yang masih terlihat garis-garis kecantikannya.

 “ Kalau cucu saya yang nomor 1 putri, sudah SMP. Jadi kalau ada tugas dari gurunya. Bisa dikerjakan sendiri dikirim ke gurunya sendiri,” lanjut beliau.

“ Yang nomor dua ini masih kelas 3, lumayan kemampuan berkilahnya, hhh,” kisahnya sambil tertawa tapi matanya berkaca-kaca. Terharu.

Ketika kami makan bersama,  cucuku  ini bilang begini. “ Uty, kenapa sih Umi ini sering marah-marah. Padahal Umi Cuma ngajari 3 anak. Kalau Ustadzahku ngajar 24 anak nggak pernah marah-marah. “ Uminya yang sedang makan langsung tersedak. Ungkap beliau. “Aku langsung mengelus punggung menantuku.”

“Uty, aku pernah lho tanpa sengaja dorong teman sampai celana robek nggak bisa dipakai. Tapi Ustadzahku juga nggak teriak-teriak. Dia Cuma bilang gini.” Cucuku Haikal ini mulai berdiri menirukan Ustadzahnya.

“Haikal tau kesalahanmu hari ini,” Haikal menirukan Ustadzahnya yang bicara kalem tapi tegas. “Tau Ust.” (jawab Haikal bersosiodrama). “Coba ceritakan,”itu kata Ustadzahku.

‘’Ust, tadi aku main-main sama Qila. Terus bercanda, tanpa sengaja Qilanya kedorong. Jatuh. Celananya robek, deh. Qila nangis,’’ cerita cucuku. Kami semua yang ada di toko itu tertawa penasaran mendengar kisah berikutnya.

“Kemudian  aku cuma disuruh mendiamkan Qila, minta maaf. Dan kembali menghadap ustadzah untuk istighfar 10 kali, Uty,” jelas Haikal dengan lugunya. “ Tapi kalau aku numpahin susu adik, Umi pasti teriak-teriak. Aku dicupit pipi atau pantat. Bisa jadi dijewer,”lanjut Haikal memelas.

Aku sebagai guru, yang mendengar kisah itu, tidak merasa di atas angin. Tapi  menyadari ibu yang bekerja dengan 3 putra yang semuanya belajar daring memang tidak mudah. Harus mampu membagi waktu dengan tepat. Suami juga harus ikut berperan membimbing putra-putrinya. Apalagi jika salah satu dari anak tersebut sangat aktif, cara belajarnya kinestetik. Perlu tenaga ekstra.

Ternyata untuk belanja mentimun sama sayuran, aku membutuhkan waktu hampir 30 menit. Lalu aku permisi meninggalkan toko untuk melanjutkan perjalanan. Banyak hal yang aku dapat dari berlanja tadi. Ternyata daring banyak berdampak pada emosi anak dan orang tua. Dari sisi finansial juga lebih banyak membutuhkan pulsa. Pun makanan pendamping/camilan yang lebih banyak ketika Belajar Dari Rumah.

Bisa jadi  seorang gurupun juga sedikit lebih tinggi emosinya ketika mendampingi putra belajar di rumah. Dibanding ketika mengajar siswanya ketika tatap muka di sekolah. Karena siswa lebih taat pada gurunya.


18 komentar:

  1. Mantap Bu. Perlu cermati mana huruf besar, mana huruf kecil. Di paragraf awal tertulis, "jawa Timur". Seharusnya "Jawa Timur". Terus menulis ya Bu. Semangat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Bapak. Akan saya edit kembali. Terimakasih.

      Hapus
  2. Betul bu... Sy guru tp ketika di rumah sy juga gampang esmosi dan kurang tlaten membimbing anak... Hhh

    BalasHapus
  3. Mantul bu,saya kepengin sekali menulis seperti ibu muslikah,tp kok belum bisa bagaimana resepnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menulis sederhana apa saya alami. Dengan bahasa sehari-hari. Sederhana

      Hapus
  4. Mantul bu,saya kepengin sekali nulis seperti ibu muslikah ,bagaimana caranya,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semua yg saya alami ditulis dg bahasa komunikatif sehari-hari.

      Hapus
  5. Semakin oke saja ibu kitaini...lanjutkan

    BalasHapus