Desaku, pagi ini. Terlihat sangat cerah. Burung pipit beterbangan pada ujung tulang daun pohon palem di halamanku. Karena ia membangun sarangnya di sana. Segera kulangkah kaki menuju sawah sambil membawa bekal. Bekal untuk Kang Narso yang pergi ke sawah sejak pukul 06.00 WIB. Sengaja aku tidak pakai alas kaki, karena emang ke sawah bukan ke mall. Yap! Sedikit melompat melewati saluran irigasi yang membentang sepanjang pinggiran sawah. Terlalu asyik menikmati jalanan yang dipenuhi dengan rerumputan.
Tiba-tiba dikejutkan oleh sapaan lek Khoir tetanggaku," Mbak, mau kemana?"
Aku benar-benar terkejut, Lek Khoir sudah berdiri di samping kebun rumahnya. Enak-enak melamun ternyata ada orang yang mengagetkanku. Rutukku dalam hati. Tapi ada senengnya sih, seneng itu kalau dipanggil mbak. Kayaknya aku kembali ke usia SMA. Hhhhh....
" Ke sawah Lek, berburu Kul. Barusan di tanam sudah pada lenyap dimakan kul" jawabku ramah.
Kul itu siput air yang sering disebut Keong Emas. Dengan nama Pomacea canaliculata, yang berasal dari Amerika Latin dan masuk ke wilayah Indonesia. Keong ini memiliki insang dan organ yang menyerupai paru-paru sehingga sangat mudah mengelabui pemilik sawah. Keong emas ini akan menempel pada batang padi yang terendam air dan dengan rakusnya batang padi dihabiskannya.
"Kok sendirian, biasanya ke mana-mana berdua," lanjutnya sedikit menggodaku.
"Bapaknya sudah ke sawah duluan, ini aku nyusul sambil ngantar sarapan,"kataku dengan tersenyum paling ramah.
"Apa nggak takut hitam ke sawah? Wayahe ikut senam sama emak-emak kae lho,"serunya pakai bahasa jawa medhok.
Emang betul, terdengar suara ibu-ibu sedang senam tera di rumah ibu wakil danramil. 'Hhhh...nggaklah Lek, klo ikut senam takutnya jadi langsing," jawabku ngeles. Sambil melanjutkan langkahku, diiringi deraian tawa Lek Khoir.
Kaki yang tak pakai sandal ini terus melangkah ke arah timur. Terlihat Bu RT sedang menabur sentrat di kolam guraminya.
"Assalamu'alaikum, Bu," Sapaku. Bu RT yang emang aslinya mahal senyum mendongak. "Mbak mau ke mana?", katanya. Tersungging sedikit senyum tulus.
"Hhhh, ke sawah Bu,"jawabku sambil berhenti sejenak. Melihat ikan gurami yang mulai tumbuh sebesar telapak tangan. "Monggo Bu," aku pamit dan beliau mengangguk datar.
Nun jauh, dekat belokan menuju ke sawahku. Terlihat ibu-ibu yang asyik tawar menawar dengan pedagang ethek. Pedagang ethek merupakan pedagang keliling yang dengan 'embernya' menjajakan dagangannya. Cerewet, teriak, membunyikan bel berkali-kali, banyak omong, itulah ciri khas pedagang ethek. Tapi aku paling suka berbelanja di bakul ethek, langsung bisa COD di depan pintu rumah.
Aku langsung berbelok memotong arah. Menuju ke sawahku melalui pematang sawah. Bukan untuk menghindari para ibu-ibu yang lagi berbelanja. Tapi memilih jarak terdekat menuju ke sawahku. Waduh! Ternyata pematang sawah ini masih lengket.
Bukan aku terobsesi dengan kuku kaki yang cantik. Atau jijik dengan lumpur sawah. Aku toh tidak pernah iku kelas pedikur yang diperuntukkan mempercantik kuku kaki. Perawatan khusus untuk memoles penampilan kulit kaki agar bersih, indah dan eksotis. No, no....aku ini bukan emak-emak milenial seperti itu. Gumamku dalam hati. Cuma kalau nekat aku injak, pematang ini akan rusak. Kasihan si empunya pematang. Lagian pelit banget sih. Masak pematang kok cuman selebar kaki. Hadeh perlu keseimbangan menapakinya. Hhhh... jadilah aku, turun dari pematang ....berjalan di petak sawah yang baru saja ditanami padi. Beberapa saat kemudian sampailah aku di tempat Kang Narso berburu Kul. Dari jam 06.00 sampai sekarang ini sudah dapat separuh kresek sedang. Kang Narso segera duduk di pematang sawahku yang mulai mengering. Senyumnya ala Park Hae Joon. Ia segera meraih makanan dari kantung plastik yang aku bawa.
Ah...tidak, tidak. Amit-amit. Aku paling benci dengan karakter suami Dokter Ji itu. Ya Alloh, kenapa saya jadi ngelantur. Semoga suamiku bak Rosululloh yang gemar memuji istrinya. Ya Humairoh...Semoga Ya Alloh. "Segera bantu cari Kul! Malah geleng-geleng kepala sendiri,"celethuk Kang Narso, ternyata ia mengamatiku dari tadi. "Kok siang amat, sih!,"lanjutnya sambil makan dengan lahapnya. "Hhhh... ke sininya tuh jalan kaki, nggak bawa motor, ya lamalah,"kilahku.
Ku lihat Kang Narso sangat lahap. Padahal makannya cuma pakai sayur bayam, lauknya cuma bothok beluntas dan bothok Temu poh. Beluntas itu tanaman perdu yang biasanya di pakai untuk urap maupun buat bothok.Manfaatnya baik untuk memperbaiki bau badan. Sedangkan Temu Poh yang nama latinnya Curcuma amada, tanaman empon-empon yang kasiatnya mirip dengan temu putih. Rimpangnya biasanya dimanfaatkan untuk mengatasi gangguan pada perut, mengatasi penyakit kanker dan menambah nafsu makan.
Segera kulanjutkan tugasku yang tinggal sepetak saja. Biar segera pulang bersantai ria. Tak terasa peluh sudah bercucuran. Hampir satu kantung plastik hasil berburu Kul hari ini. Ku lihat ujung-ujung kuku tanganku terisi dengan lumpur. "He ...emak-emak cantik. Ngapain dilihat kukunya? Takut rusak, ya," Seloroh suamiku. "Besok tak antar ke Salon Ana 'n Ina, ikut kelas menikure," teriaknya.
Aku tidak menjawab cuma memiringkan sedikit bibirku. Selanjutnya bibir ini semakin manyun. Alih-alih ke salon. Musim lockdown gini, bisa makan cukup aja sudah bersyukur. Gerutuku dalam hati. Banyak mahmud yang sangat protektif dengan penampilannya. Jangankan ke sawah yang kena paparan sinar matahari langsung. Jika para mahmud bepergian keluar rumah, hanya sekedar window shopping aja. Mereka sudah ada aturan harus pake bedak dengan Sun Protection Factor (SPF) di atas 20! Wah, kalau keluar lebih dari 6 jam SPF berapa ya. Hhhhh.... Belum tuntas mengumpulkan Kul sampai ujung petak sawah. Terdengar celoteh beberapa ibu-ibu yang menenteng belanjaan. Teman-temanku. Sesekali mereka tertawa kompak. Segera aku mendongakkan kepala.
" Hey, Bund. Nggak salah arahkah?," sapaku. Mbak Win jawab," Ndak lah, mau nonton Bu Guru nyari Kul," jawabnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Matanya terlihat lucu. Mesti ngece iki! Semua yang ada di tempat itu kompak tertawa. "Mak, apa Pak Jokowi sudah menghentikan Tunjangan Guru?," celoteh Mbak Tun diarahkan padaku.
Sebutan Mak, hanyalah sapaaan meniru komedian Soimah. Biar akrab, lucu dan membumi para warga desa.
"Biar cepat ke Mekah, Mak,"gurauanku. " Wis wayahe iki,"lanjutku dengan sedikit candaan, biar suasana nampak akrab dan membumi.
Emak-emak ini turun dari jalan desa menuju ke pematang sawahku, sambil tertawa terbahak-bahak. Pokoknya kalau ibu-ibu negara ini sedang kumpul, dunia jadi meriah.
"Sarapan, woi,"ajakku menunjuk makanan yang memang ku bawa lebih.
Akhirnya kusudahi berburu Kul duduk-duduk di pematang sambil ngemil makanan yang dibawa teman-temanku tadi. Tak beberapa lama Pak Komar iku mendekat. Jadilah kami berlima guyonan di pematang sawah. Kantung plastik Kul tak kasihkan Pak Komar, karena unggas pak Komar banyak. Kul ini baik untuk pakan unggas sejenis itik , angsa, dan enthok.
"Emak-emak itu pekerjaannya nggosip aja, pulang sana masak,"celetuk Kang Narso. "Sudah jam 9 belum masak, sama halnya memberi peluang bapak-bapak untuk ngopi nek warung."
"Enak aja, sebelum subuh aku wis mateng, Kang!,'' Mbak Tun berkilah. "Sengaja aku ke sini, untuk curhat.
" Hhhh....Mar, aku dikira Mama Dedeh. Yang siap menerima curhatan emak-emak." Kata suamiku sambil menepuk bahu Pak Komar. Pak Komar tertawa lebar.
" Kang, aku ini cuma buruh tani. Nggak punya sawah. Tapi kok tak dapat BLT?," Mbak Win mulai curhat. " Itu orang kaya sawahnya luas, ada yang sudang umroh, rumahnya mewah. Kok dapat BLT?," Mbak Win mencecar pertanyaan.
''Lha betul itu, bantuan banyak. BLT DD, BLT pusat, BLT provinsi, BST, KPE. Aku yo ra dapat,"mereka berdua ngomong bareng seperti paduan suara.
"Tun, Win...kamu seperti pengamat politik, hapal semua bantuan pemerintah di masa pandemi, jiahhhh,''Pak komar ngomong sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hey...Mak. Kang Narso jangan kamu rundung, ntar klo pingsan ikut tanggung jawab lho, " aku ikut mencairkan suasana.
"Coba jelaskan!," kata mbak Win tanpa mengindahkan candaanku. " Padahal menurut PMKnomer 50 tahun 2020 penerima BLT keluarga miskin atau tidak mampu yang berdomisili di desa yang bersangkutan. Lha kok orang-orang kaya dapat BLT. Trus orang yang nggak kemana-mana dapat BST.''
"Wis, nggak perlu marah-marah. Dengarkan dulu.....,"Kang Narso meneguk sedikit air. Halah...pancen pendataan nggak objektif,"Mbak Tun memotong pembicaraan.
"Tak jelasno klo masih marah-marah ya percuma. Wis tutukno uneg-unegmu. Biar hatimu plong,''kata Kang Narso meninggi.
"Warga yang tidak boleh menerima BLT itu adalah warga yang sudah mendapatkan bantuan dari APBD, BNPT dan lainnya. BLT sasarannya adalah orang miskin, orang sakit kronis bertahun-tahun dan orang yang kehilangan pekerjaan karena Pandemi covid-19,"jelas kang Narso kalem.
"Awakmu, ngegas...curhat ke saya. Iku lucu Win. Karena kebijakan di desa kita ini terkait BLT, KPE dan BST kewenangan RT, KASUN dan Kades....ngono lho Win. Hhhhhh.....Aku mah lewat. Bukan pembuat kebijakan"
"Pokoke aku mau demo! Arep protes!, "Mbak Tun tetep bersikukuh dengan pendapatnya.
"Monggo kalau mau protes, tapi saran saya kalau mau demo cari data yang valid, rak yo ngono to Mar," celetuk Kang Narso. ''Tul,''kata Pak Komar singkat padat.
"Nek aku boleh ngasih saran, kita kerja aja sebaik-baiknya. Yang rajin, tekun dan jangan lupa berhemat dan menabung. Insya Alloh rejeki datang dari arah tak disangka-sangka. Alloh Maha Kaya lho...tapi curhatanmu ntar tak sampaikan ke Kepala Desa, rak yo ngono to Mar,"jawab suamiku mengakhiri curhatan emak-emak.
" Aku, muk takok penasaran yo Mbak Win,"kata Mbak Tun sambil memberi isyarat kepada sahabatnya untuk meninggalkan lokasi curhat. Terlihat keduanya melambaikan tangan ke arahku. Aku ikut trenyuh, melihat keluh kesah mereka. Sungguh. Kebijakan yang tidak adil dan penuh dengan kepentingan.
Tiba-tiba dikejutkan oleh sapaan lek Khoir tetanggaku," Mbak, mau kemana?"
Aku benar-benar terkejut, Lek Khoir sudah berdiri di samping kebun rumahnya. Enak-enak melamun ternyata ada orang yang mengagetkanku. Rutukku dalam hati. Tapi ada senengnya sih, seneng itu kalau dipanggil mbak. Kayaknya aku kembali ke usia SMA. Hhhhh....
" Ke sawah Lek, berburu Kul. Barusan di tanam sudah pada lenyap dimakan kul" jawabku ramah.
Kul itu siput air yang sering disebut Keong Emas. Dengan nama Pomacea canaliculata, yang berasal dari Amerika Latin dan masuk ke wilayah Indonesia. Keong ini memiliki insang dan organ yang menyerupai paru-paru sehingga sangat mudah mengelabui pemilik sawah. Keong emas ini akan menempel pada batang padi yang terendam air dan dengan rakusnya batang padi dihabiskannya.
"Kok sendirian, biasanya ke mana-mana berdua," lanjutnya sedikit menggodaku.
"Bapaknya sudah ke sawah duluan, ini aku nyusul sambil ngantar sarapan,"kataku dengan tersenyum paling ramah.
"Apa nggak takut hitam ke sawah? Wayahe ikut senam sama emak-emak kae lho,"serunya pakai bahasa jawa medhok.
Emang betul, terdengar suara ibu-ibu sedang senam tera di rumah ibu wakil danramil. 'Hhhh...nggaklah Lek, klo ikut senam takutnya jadi langsing," jawabku ngeles. Sambil melanjutkan langkahku, diiringi deraian tawa Lek Khoir.
Kaki yang tak pakai sandal ini terus melangkah ke arah timur. Terlihat Bu RT sedang menabur sentrat di kolam guraminya.
"Assalamu'alaikum, Bu," Sapaku. Bu RT yang emang aslinya mahal senyum mendongak. "Mbak mau ke mana?", katanya. Tersungging sedikit senyum tulus.
"Hhhh, ke sawah Bu,"jawabku sambil berhenti sejenak. Melihat ikan gurami yang mulai tumbuh sebesar telapak tangan. "Monggo Bu," aku pamit dan beliau mengangguk datar.
Nun jauh, dekat belokan menuju ke sawahku. Terlihat ibu-ibu yang asyik tawar menawar dengan pedagang ethek. Pedagang ethek merupakan pedagang keliling yang dengan 'embernya' menjajakan dagangannya. Cerewet, teriak, membunyikan bel berkali-kali, banyak omong, itulah ciri khas pedagang ethek. Tapi aku paling suka berbelanja di bakul ethek, langsung bisa COD di depan pintu rumah.
Aku langsung berbelok memotong arah. Menuju ke sawahku melalui pematang sawah. Bukan untuk menghindari para ibu-ibu yang lagi berbelanja. Tapi memilih jarak terdekat menuju ke sawahku. Waduh! Ternyata pematang sawah ini masih lengket.
Bukan aku terobsesi dengan kuku kaki yang cantik. Atau jijik dengan lumpur sawah. Aku toh tidak pernah iku kelas pedikur yang diperuntukkan mempercantik kuku kaki. Perawatan khusus untuk memoles penampilan kulit kaki agar bersih, indah dan eksotis. No, no....aku ini bukan emak-emak milenial seperti itu. Gumamku dalam hati. Cuma kalau nekat aku injak, pematang ini akan rusak. Kasihan si empunya pematang. Lagian pelit banget sih. Masak pematang kok cuman selebar kaki. Hadeh perlu keseimbangan menapakinya. Hhhh... jadilah aku, turun dari pematang ....berjalan di petak sawah yang baru saja ditanami padi. Beberapa saat kemudian sampailah aku di tempat Kang Narso berburu Kul. Dari jam 06.00 sampai sekarang ini sudah dapat separuh kresek sedang. Kang Narso segera duduk di pematang sawahku yang mulai mengering. Senyumnya ala Park Hae Joon. Ia segera meraih makanan dari kantung plastik yang aku bawa.
Ah...tidak, tidak. Amit-amit. Aku paling benci dengan karakter suami Dokter Ji itu. Ya Alloh, kenapa saya jadi ngelantur. Semoga suamiku bak Rosululloh yang gemar memuji istrinya. Ya Humairoh...Semoga Ya Alloh. "Segera bantu cari Kul! Malah geleng-geleng kepala sendiri,"celethuk Kang Narso, ternyata ia mengamatiku dari tadi. "Kok siang amat, sih!,"lanjutnya sambil makan dengan lahapnya. "Hhhh... ke sininya tuh jalan kaki, nggak bawa motor, ya lamalah,"kilahku.
Ku lihat Kang Narso sangat lahap. Padahal makannya cuma pakai sayur bayam, lauknya cuma bothok beluntas dan bothok Temu poh. Beluntas itu tanaman perdu yang biasanya di pakai untuk urap maupun buat bothok.Manfaatnya baik untuk memperbaiki bau badan. Sedangkan Temu Poh yang nama latinnya Curcuma amada, tanaman empon-empon yang kasiatnya mirip dengan temu putih. Rimpangnya biasanya dimanfaatkan untuk mengatasi gangguan pada perut, mengatasi penyakit kanker dan menambah nafsu makan.
Segera kulanjutkan tugasku yang tinggal sepetak saja. Biar segera pulang bersantai ria. Tak terasa peluh sudah bercucuran. Hampir satu kantung plastik hasil berburu Kul hari ini. Ku lihat ujung-ujung kuku tanganku terisi dengan lumpur. "He ...emak-emak cantik. Ngapain dilihat kukunya? Takut rusak, ya," Seloroh suamiku. "Besok tak antar ke Salon Ana 'n Ina, ikut kelas menikure," teriaknya.
Aku tidak menjawab cuma memiringkan sedikit bibirku. Selanjutnya bibir ini semakin manyun. Alih-alih ke salon. Musim lockdown gini, bisa makan cukup aja sudah bersyukur. Gerutuku dalam hati. Banyak mahmud yang sangat protektif dengan penampilannya. Jangankan ke sawah yang kena paparan sinar matahari langsung. Jika para mahmud bepergian keluar rumah, hanya sekedar window shopping aja. Mereka sudah ada aturan harus pake bedak dengan Sun Protection Factor (SPF) di atas 20! Wah, kalau keluar lebih dari 6 jam SPF berapa ya. Hhhhh.... Belum tuntas mengumpulkan Kul sampai ujung petak sawah. Terdengar celoteh beberapa ibu-ibu yang menenteng belanjaan. Teman-temanku. Sesekali mereka tertawa kompak. Segera aku mendongakkan kepala.
" Hey, Bund. Nggak salah arahkah?," sapaku. Mbak Win jawab," Ndak lah, mau nonton Bu Guru nyari Kul," jawabnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Matanya terlihat lucu. Mesti ngece iki! Semua yang ada di tempat itu kompak tertawa. "Mak, apa Pak Jokowi sudah menghentikan Tunjangan Guru?," celoteh Mbak Tun diarahkan padaku.
Sebutan Mak, hanyalah sapaaan meniru komedian Soimah. Biar akrab, lucu dan membumi para warga desa.
"Biar cepat ke Mekah, Mak,"gurauanku. " Wis wayahe iki,"lanjutku dengan sedikit candaan, biar suasana nampak akrab dan membumi.
Emak-emak ini turun dari jalan desa menuju ke pematang sawahku, sambil tertawa terbahak-bahak. Pokoknya kalau ibu-ibu negara ini sedang kumpul, dunia jadi meriah.
"Sarapan, woi,"ajakku menunjuk makanan yang memang ku bawa lebih.
Akhirnya kusudahi berburu Kul duduk-duduk di pematang sambil ngemil makanan yang dibawa teman-temanku tadi. Tak beberapa lama Pak Komar iku mendekat. Jadilah kami berlima guyonan di pematang sawah. Kantung plastik Kul tak kasihkan Pak Komar, karena unggas pak Komar banyak. Kul ini baik untuk pakan unggas sejenis itik , angsa, dan enthok.
"Emak-emak itu pekerjaannya nggosip aja, pulang sana masak,"celetuk Kang Narso. "Sudah jam 9 belum masak, sama halnya memberi peluang bapak-bapak untuk ngopi nek warung."
"Enak aja, sebelum subuh aku wis mateng, Kang!,'' Mbak Tun berkilah. "Sengaja aku ke sini, untuk curhat.
" Hhhh....Mar, aku dikira Mama Dedeh. Yang siap menerima curhatan emak-emak." Kata suamiku sambil menepuk bahu Pak Komar. Pak Komar tertawa lebar.
" Kang, aku ini cuma buruh tani. Nggak punya sawah. Tapi kok tak dapat BLT?," Mbak Win mulai curhat. " Itu orang kaya sawahnya luas, ada yang sudang umroh, rumahnya mewah. Kok dapat BLT?," Mbak Win mencecar pertanyaan.
''Lha betul itu, bantuan banyak. BLT DD, BLT pusat, BLT provinsi, BST, KPE. Aku yo ra dapat,"mereka berdua ngomong bareng seperti paduan suara.
"Tun, Win...kamu seperti pengamat politik, hapal semua bantuan pemerintah di masa pandemi, jiahhhh,''Pak komar ngomong sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hey...Mak. Kang Narso jangan kamu rundung, ntar klo pingsan ikut tanggung jawab lho, " aku ikut mencairkan suasana.
"Coba jelaskan!," kata mbak Win tanpa mengindahkan candaanku. " Padahal menurut PMKnomer 50 tahun 2020 penerima BLT keluarga miskin atau tidak mampu yang berdomisili di desa yang bersangkutan. Lha kok orang-orang kaya dapat BLT. Trus orang yang nggak kemana-mana dapat BST.''
"Wis, nggak perlu marah-marah. Dengarkan dulu.....,"Kang Narso meneguk sedikit air. Halah...pancen pendataan nggak objektif,"Mbak Tun memotong pembicaraan.
"Tak jelasno klo masih marah-marah ya percuma. Wis tutukno uneg-unegmu. Biar hatimu plong,''kata Kang Narso meninggi.
"Warga yang tidak boleh menerima BLT itu adalah warga yang sudah mendapatkan bantuan dari APBD, BNPT dan lainnya. BLT sasarannya adalah orang miskin, orang sakit kronis bertahun-tahun dan orang yang kehilangan pekerjaan karena Pandemi covid-19,"jelas kang Narso kalem.
"Awakmu, ngegas...curhat ke saya. Iku lucu Win. Karena kebijakan di desa kita ini terkait BLT, KPE dan BST kewenangan RT, KASUN dan Kades....ngono lho Win. Hhhhhh.....Aku mah lewat. Bukan pembuat kebijakan"
"Pokoke aku mau demo! Arep protes!, "Mbak Tun tetep bersikukuh dengan pendapatnya.
"Monggo kalau mau protes, tapi saran saya kalau mau demo cari data yang valid, rak yo ngono to Mar," celetuk Kang Narso. ''Tul,''kata Pak Komar singkat padat.
"Nek aku boleh ngasih saran, kita kerja aja sebaik-baiknya. Yang rajin, tekun dan jangan lupa berhemat dan menabung. Insya Alloh rejeki datang dari arah tak disangka-sangka. Alloh Maha Kaya lho...tapi curhatanmu ntar tak sampaikan ke Kepala Desa, rak yo ngono to Mar,"jawab suamiku mengakhiri curhatan emak-emak.
" Aku, muk takok penasaran yo Mbak Win,"kata Mbak Tun sambil memberi isyarat kepada sahabatnya untuk meninggalkan lokasi curhat. Terlihat keduanya melambaikan tangan ke arahku. Aku ikut trenyuh, melihat keluh kesah mereka. Sungguh. Kebijakan yang tidak adil dan penuh dengan kepentingan.
Perlu ditata formatnya biar tampak rapi
BalasHapusInjih Pak Yumnan Masukannya.
BalasHapus