Minggu, 19 Juli 2020

KANJENG DOSO

Hal unik yang Hanifah rasakan setelah 7 hari di SP2, Perhentian Raja. Jika ada pemadaman bergilir dari PLN, maka sambungan telephon rumah maupun seluler mati. Seperti ketika tersesat di kebun sawit, tidak bisa menghubungi siapapun. Apapun merk kendaraan bermotor roda 2, sebutannya HONDA. Entah itu merk Kawasaki, Suzuki, Honda maupun Yamaha, disebut Honda. Beberapa orang yang memiliki karakter unik mendapat sebutan antik. Misalnya Tukang Brondrol, Centheng Betawi, Nyonya Menir dan lain-lain. Suara mereka nyaring-nyaring. Di SP2 warganya sangat majemuk. Dari berbagai suku di Indonesia. Beragam agama dan kepercayaan. Namun mayoritas bekerja diperkebunan sawit.

Sore itu Hanifa dan keluarga Bu Dhe Mar sholat Asar berjamaah di mushola. Mushola tidak jauh dari rumahnya. Karena masih “pujian”, belum terdengar iqomah. Mereka sempat bertegur sapa dengan beberapa tetangga. Sambil berjalan menuju mushola. Di sepanjang jalan, yang paling dominan berbicara adalah seorang bapak. Dia berusia paroh baya yang disebut Kanjeng Doso. Dia sangat ceria, pandai memilih kata-kata yang mampu membuat lawan bicara kelimpungan. Skak mat! Meskipun lebih dari 5 orang yang menyerang dia, masih tangguh. Kokoh tak tertandingi. Para jamaah memanggilnya Pak Kanjeng Doso. Ia enjoy. Tidak keberatan. 

Setelah selesai sholat asar  ia dipanggil oleh imam sholat.  Juga  dengan sebutan Pak Doso. Entah apa yang mereka bicarakan. Hanifah dan keluarga pulang dan duduk di teras depan. Hanum ditemani Bu Dhenya nonton TV Ipin Upin. Ia lebih akrab dengan Bu Dhe Rufaida. Karena sejak kecil, umur 2 bulan Bu Dhe Ida yang sering meninabobokan. Umur 2 bulan sudah harus ditinggal PLPG 10 hari di Batu, Malang. Ketika mereka tengah asyik duduk di teras. Warga masih banyak yang pulang dari kebun sawit. Mereka  membawa dodos (sabit khusus untuk nyegrek sawit). Mata sabit yang tajam. Dengan gagang dodos yang sangat  panjang. Tengah asyik mereka berbincang-bincang, Pak Doso mampir.

Akhirnya perbincangan kami riuh. Saya memberanikan diri, bertanya terkait panggilan Pak Doso yang melekat padanya. Tokoh agamapun memanggilnya Pak Doso. Cuma Bu Dhe yang memanggil Pak Sadi. Mbak Atin membawa nampan yang berisi kue dan teh hangat. Sembari ia ngomong agar besok saya pinjam Honda Pak Doso, untuk di bawa silaturohmi ke rumah saudara. Pak Doso menggiyakan tapi agak siang, karena paginya mau di bawa ke KUD untuk memantau penyetoran dan pengiriman sawit. Ternyata ia ketua KUD.

Pak Doso menceritakan kehidupan dia. Dia dilahirkan di sebuah desa kecil, di wilayah Jogjakarta. Ketika menginjak masa remaja ia ikut neneknya di Blitar. Ibunya asli Blitar, ayahnya Jogjakarta. Ia melanjutkan ke SMTA keguruan di Tulungagung. Di sanalah ketemu tambatan hatinya. Ujung-ujungnya hubungan mereka sedikit terhambat. Karena kekasihnya, anak angkat camat. Seorang anak Camat di Kabupaten Tulungagung. Kata yang paling menyedihkan. Boleh meminang anaknya, jika sudah sukses. Mampu memberi makan anak istrinya. Kalau cuma bekerja sebagai honorer di SD, tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Membenani hidup orang tua.

Akhirnya Pak Sadi remaja pergi meninggalkan kota neneknya. Kota Patria. Kota Proklamator. Kota PETA. Ia mengikuti langkah kakinya sampai terlunta-lunta di wilayah Bengkulu. Surat yang ia kirim untuk kekasihnya tak terbalaskan. Dalam kekalutan hatinya ia ketemu seorang janda muda. Akhirnya menikah. Namun berujung perceraian. Liku-liku hidupnya terus berjalan. Kegagalannya, membawanya berhijrah ke kota Medan. Ia ketemu gadis cantik di sebuah rumah makan. Gadis cantik putra  pemilik rumah makan. Ia Jatuh hati dan menikah. Mempunyai dua anak, laki-laki dan perempuan. Awal kehidupannya manis. Tapi tetap berujung perceraian. Ia meninggalkan anak istrinya, karena niatan rujuk ditolak mentah-mentah mertuanya. Suatu ketika sedang makan di sebuah rumah makan. Bertemu sesama pembeli makanan. Saling curhat. Seorang wanita bermata sembab menceritakan pertengkaran dengan suaminya. Mereka jatuh hati. Menikah.

Saat itu kakaknya Mumtaz yang baru datang dengan istrinya. Ikut duduk dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Kalau kisah pak Doso masih ada yang terselip. Belum dijelaskan. Ia dipaksa cerita biar jadi pembelajaran bagi orang lain, agar tidak mudah jatuh cinta. Pak Doso hanya tertawa terbahak-bahak. Mas Sulam ini kayaknya yang bisa mengimbangi gaya bicara Pak Doso. Bisa menekan pembicaraan Pak Doso yang agak slank-ekan. Sehingga yang mendengarkan, iku tertawa terbahak-bahak.

Mas Sulamlah yang menyadarkan Pak Doso. Membimbing Pak Doso menjadi lebih baik. Mas Sulam ini Kepala Madrasah Diniyah Awaliah di Sei Pagar. Jadi perkataannya lebih didengarnya. Mas Sulam menceritakan kisah yang terpotong. Ketika menikah, kekasihnya di Tulungagung menyusul ke Perhentian Raja. Kekasihnya mengetahui alamat dari nomor telpon yang tertera di surat-surat Pak Doso yang disembunyikan Bu Camat.

Setelah menikah yang ke empat Pak Doso semakin baik. Melaksanakan ibadah umroh, tekun beribadah dan bertambah dermawan. Meninggalkan kebiasaannya yang mudah jatuh hati pada orang yang baru saja ia kenal. Bahkan bersama Pak kyai dan Mas Sulam akan mendirikan Pondok pesantren di Perhentian Raja. Pak Doso hidup bahagia dengan istri yang tinggal di SP2. Dan tiap tiga bulan sekali mengunjungi istrinya yang di Ngunut Tulungagung. Istri yang dicintainya. Menjadi guru di sebuah SD di Ngunut. Setiap manusia memiliki kisah. Namun ketika usia sudah mulai redup. Hendaknya semakin mendekatkan diri pada Alloh SWT.

                                                                   SP2.Perhentian Raja. Kampar.2015.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar