Hal unik yang Hanifah rasakan setelah 7 hari di SP2, Perhentian Raja. Jika
ada pemadaman bergilir dari PLN, maka sambungan telephon rumah maupun seluler
mati. Seperti ketika tersesat di kebun sawit, tidak bisa menghubungi siapapun. Apapun
merk kendaraan bermotor roda 2, sebutannya HONDA. Entah itu merk Kawasaki,
Suzuki, Honda maupun Yamaha, disebut Honda. Beberapa orang yang memiliki
karakter unik mendapat sebutan antik. Misalnya Tukang Brondrol, Centheng
Betawi, Nyonya Menir dan lain-lain. Suara mereka nyaring-nyaring. Di SP2
warganya sangat majemuk. Dari berbagai suku di Indonesia. Beragam agama dan
kepercayaan. Namun mayoritas bekerja diperkebunan sawit.
Sore itu Hanifa dan keluarga Bu Dhe Mar sholat Asar berjamaah di
mushola. Mushola tidak jauh dari rumahnya. Karena masih “pujian”, belum
terdengar iqomah. Mereka sempat bertegur sapa dengan beberapa tetangga. Sambil
berjalan menuju mushola. Di sepanjang jalan, yang paling dominan berbicara
adalah seorang bapak. Dia berusia paroh baya yang disebut Kanjeng Doso. Dia
sangat ceria, pandai memilih kata-kata yang mampu membuat lawan bicara
kelimpungan. Skak mat! Meskipun lebih dari 5 orang yang menyerang dia, masih
tangguh. Kokoh tak tertandingi. Para jamaah memanggilnya Pak Kanjeng Doso. Ia
enjoy. Tidak keberatan.
Setelah selesai sholat asar ia
dipanggil oleh imam sholat. Juga dengan sebutan Pak Doso. Entah apa yang mereka
bicarakan. Hanifah dan keluarga pulang dan duduk di teras depan. Hanum ditemani
Bu Dhenya nonton TV Ipin Upin. Ia lebih akrab dengan Bu Dhe Rufaida. Karena
sejak kecil, umur 2 bulan Bu Dhe Ida yang sering meninabobokan. Umur 2 bulan
sudah harus ditinggal PLPG 10 hari di Batu, Malang. Ketika mereka tengah asyik
duduk di teras. Warga masih banyak yang pulang dari kebun sawit. Mereka membawa dodos (sabit khusus untuk nyegrek
sawit). Mata sabit yang tajam. Dengan gagang dodos yang sangat panjang. Tengah asyik mereka
berbincang-bincang, Pak Doso mampir.
Akhirnya perbincangan kami riuh. Saya memberanikan diri, bertanya terkait
panggilan Pak Doso yang melekat padanya. Tokoh agamapun memanggilnya Pak Doso.
Cuma Bu Dhe yang memanggil Pak Sadi. Mbak Atin membawa nampan yang berisi kue
dan teh hangat. Sembari ia ngomong agar besok saya pinjam Honda Pak Doso, untuk
di bawa silaturohmi ke rumah saudara. Pak Doso menggiyakan tapi agak siang,
karena paginya mau di bawa ke KUD untuk memantau penyetoran dan pengiriman
sawit. Ternyata ia ketua KUD.
Pak Doso menceritakan kehidupan dia. Dia dilahirkan di sebuah desa kecil,
di wilayah Jogjakarta. Ketika menginjak masa remaja ia ikut neneknya di Blitar.
Ibunya asli Blitar, ayahnya Jogjakarta. Ia melanjutkan ke SMTA keguruan di
Tulungagung. Di sanalah ketemu tambatan hatinya. Ujung-ujungnya hubungan mereka
sedikit terhambat. Karena kekasihnya, anak angkat camat. Seorang anak Camat di Kabupaten
Tulungagung. Kata yang paling menyedihkan. Boleh meminang anaknya, jika sudah
sukses. Mampu memberi makan anak istrinya. Kalau cuma bekerja sebagai honorer
di SD, tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Membenani hidup orang tua.
Akhirnya Pak Sadi remaja pergi meninggalkan kota neneknya. Kota Patria. Kota
Proklamator. Kota PETA. Ia mengikuti langkah kakinya sampai terlunta-lunta di
wilayah Bengkulu. Surat yang ia kirim untuk kekasihnya tak terbalaskan. Dalam
kekalutan hatinya ia ketemu seorang janda muda. Akhirnya menikah. Namun
berujung perceraian. Liku-liku hidupnya terus berjalan. Kegagalannya,
membawanya berhijrah ke kota Medan. Ia ketemu gadis cantik di sebuah rumah
makan. Gadis cantik putra pemilik rumah makan. Ia Jatuh hati dan menikah. Mempunyai dua anak, laki-laki dan perempuan.
Awal kehidupannya manis. Tapi tetap berujung perceraian. Ia meninggalkan anak istrinya, karena niatan rujuk ditolak mentah-mentah mertuanya. Suatu ketika sedang
makan di sebuah rumah makan. Bertemu sesama pembeli makanan. Saling curhat.
Seorang wanita bermata sembab menceritakan pertengkaran dengan suaminya. Mereka
jatuh hati. Menikah.
Saat itu kakaknya Mumtaz yang baru datang dengan istrinya. Ikut duduk
dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Kalau kisah pak Doso masih ada yang
terselip. Belum dijelaskan. Ia dipaksa cerita biar jadi pembelajaran bagi orang
lain, agar tidak mudah jatuh cinta. Pak Doso hanya tertawa terbahak-bahak. Mas Sulam
ini kayaknya yang bisa mengimbangi gaya bicara Pak Doso. Bisa menekan pembicaraan Pak Doso yang agak slank-ekan.
Sehingga yang mendengarkan, iku tertawa terbahak-bahak.
Mas Sulamlah yang menyadarkan Pak Doso. Membimbing Pak Doso menjadi
lebih baik. Mas Sulam ini Kepala Madrasah Diniyah Awaliah di Sei Pagar. Jadi perkataannya
lebih didengarnya. Mas Sulam menceritakan kisah yang terpotong. Ketika menikah,
kekasihnya di Tulungagung menyusul ke Perhentian Raja. Kekasihnya mengetahui
alamat dari nomor telpon yang tertera di surat-surat Pak Doso yang
disembunyikan Bu Camat.
Setelah menikah yang ke empat Pak Doso semakin baik. Melaksanakan ibadah
umroh, tekun beribadah dan bertambah dermawan. Meninggalkan kebiasaannya yang mudah jatuh hati pada
orang yang baru saja ia kenal. Bahkan bersama Pak kyai dan Mas Sulam akan
mendirikan Pondok pesantren di Perhentian Raja. Pak Doso hidup bahagia dengan
istri yang tinggal di SP2. Dan tiap tiga bulan sekali mengunjungi istrinya yang
di Ngunut Tulungagung. Istri yang dicintainya. Menjadi guru di sebuah SD di Ngunut. Setiap manusia memiliki kisah. Namun ketika usia sudah
mulai redup. Hendaknya semakin mendekatkan diri pada Alloh SWT.
SP2.Perhentian Raja.
Kampar.2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar