Pagi
itu udara cerah, anak-anak nampak senang karena hari ini libur. Libur Hari Imlek tanggal 25 Januari 2020. Mereka bersepeda di
sekitar rumah dengan riang gembira. Setelah selesai memasak aku merapikan kamar
kakak yang berantakan setelah digunakan adiknya bertrampolin ria. Belum selesai
membereskan kamar, terdengar tamu mengucapkan salam. “Assalamualaykum, Mbak
Ika!”, ucap tamuku terdengar berat. Kuintip dari jeruji jendela seorang ibu
paroh baya sedang duduk di lantai teras dengan mata berkaca-kaca.
“Waalaykumsalam Lek, kok di bawah ayo
duduk di kursi. Itu kotor lho belum sempat disapu,” jawabku dengan ramah. Ia bergegas duduk di kursi kayu teras rumah.
Setelah saling menanyakan keadaan keluarga
masing-masing, Lek Minul akhirnya mengutarakan maksud kedatangannya. “Oh, gitu
ya Lek, sebentar ya! Sebelum kita berbincang-bincang lebih jauh. Tak buatkan
teh dulu biar lebih santai,” kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. “Tak
usah repot-repot, Mbak,’’ jawabnya dengan lirih. Aku bergegas ke dapur membuat
teh sekaligus minta pendapat bapaknya anak-anak. Setelah kuceritakan semuanya,
suamiku berkata sambil mengernyitkan dahinya. ‘’Gabah kita tinggal 4 karung,’’
gumamnya sambil berfikir. “Kayaknya
tidak cukup untuk makan sampai panen depan Bu,” ujarnya seperti berfikir
keras. Aku terus mengaduk teh yang sudah dari tadi larut gulanya. “ Terus gimana Mas? Lek Minul lebih butuh dari
kita! Kita masih mampu beli,”jawabku minta kepastian. Meskipun benar yang dikatakan suamiku. Hajatan banyak. Dan sampai
hari ini hujan masih tersendat-sendat. Entah
kapan bisa tanam padi. Rasanya seperti makan buah simalakama.
Lek Minul, seorang janda. Hidup dengan kakaknya yang juga sudah mulai menua dan rapuh. Kehidupan sehari-hari hanya mengandalkan hasil buruh tani dan hasil menanam padi di sepetak sawah warisan orang tuanya. “Gimana, Mas?,’’ tanyaku minta kepastian lagi. “Yo wis lah, pinjamno. Kita selalu iba melihat kehidupan mereka,’’ kata suamiku. Kemudian teh kuhantarkan ke tamuku. “Iya Lek boleh, diambil kapan?,’’tanyaku. “Sekarang Mbak, lha aku kesini sama Dade (sebutan untuk kakaknya),”katanya dengan wajah bahagia. ” Lho, kok Dadenya nggak disuruh masuk,” aku sedikit terperanjat. Orangnya dipinggir sawah sama Pak Muni,’’katanya pelan. “ Monggo klo dibawa,”kataku penuh haru. Gabah satu karung dibawa menggunakan sepeda yang hampir semua bagiannya karatan. Ketika didorong terdengar suara berderak. Krek ...krek. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Waktunya kita melihat ke bawah. Banyak warga di sekitar kita hidup kekurangan, dikarenakan musim hujan yang datang terlambat. Sawah memang lumbung kehidupan.
Ketika mereka berdua hilang dari pandangan Bu Dhe Kat mendekat. Ikut nimbrung dalam perbincangan kami. Ia menceritakan Lek Minul dan Dade sudah beberapa hari makan nasi jagung hasil panen kemarin. Bu Dhe Kat itu tetangga terdekatku sekaligus juga kakak iparku. Rumahnya satu halaman dengan rumahku. “Buk, kok orang tua tadi bawa gabah kita?,” tanya anakku dengan keheranan. “Itu dipinjam Daffa, ntar kalau sudah panen juga dikembalikan,” kataku jujur. “Makanya kalau makan itu dihabiskan, jangan sampai ada nasi yang tercecer. Lihat Bulek tadi karena kemarau panjang kehabisan stok gabah. Jadi repotkan kalau kita tak hemat, ‘’nasehatku sambil menyentuh kepala si bungsu.
“Itu tadi pinjam aku, tapi gabahku tinggal 2 karung. Bulan Pebruari banyak tetangga hajatan,’’kata Bu De Kat. ‘’Sudah satu bulan ini keluarganya makan ampog dicampur beras jatah dari kantor desa,’’Bu De Kat mengulang ceritanya.
Pak
De Muni ikut bicara,’’Kita sudah 3 tahun merasakan panen cuma satu kali.
Biasanya minimal 2 kali sampai 3 kali. Tahun ini justru kita merugi karena
cuaca yang tidak menentu. Kemarin padi sudah umur 40 hari langsung kekeringan
mati.” Hemm...betapa kita sangat
tergantung dengan lahan sawah. Sawah merupakan lumbung kehidupan. Andai lumbung
kehidupan ini tidak tergantung dengan curah hujan, alangkah makmurnya warga
desaku. Mesin diesel besar yang dimiliki
kelompok tani,semoga bisa difungsikan lagi. Tentunya bisa panen minimal 2 kali, gumamku menggantang asap.
‘’Sebetulnya Kang, klo kita kreatif. Kita bisa tanam palawija. Seperti cabai rawit, cabai keriting, bawang merah dan semangka hasilnya lumayan bagus, hhhh,’’seloroh suamiku.
“Tapi perlu modal besar itu. Petani kecil macam aku ini tak kuat beayanya,’’Pak De Muni mengeluh.
Sambil merapikan kumisnya yang mulai tumbuh uban suamiku
menjawab,’’Hhh, yang beaya ringan aja seperti jagung, kacang, dan lombok rawit.
Lombok rawit itu harganya melonjak lho, Kang.’’ Pak De Muni menggaruk-garuk
kepala sambil tersenyum,’’Aku cuma mampu nanam jagung itupun hasilnya juga
tidak sepadan dengan beayanya. Untung tak kerjakan sendiri, coba kalau seperti
kamu semua dikerjakan orang lain. Bisa rugi.’’ Suamiku tertawa lebar dapat skak
mat dari kakak iparnya.
Dulu
ketika anakku masih satu, suamiku memiliki banyak waktu bercocok tanam. Sekarang
banyak tugas yang harus dikerjakan. Membantu tugas temannya yang tak kunjung
dikerjakan. Dan teringat juga kala itu, memasuki tahun 1996 cuaca mudah diprediksi.
Hasil panen bagus. Satu tahun bisa panen padi dua kali dan sekali masa panen palawija. Belum
habis hasil panen yang lalu sudah panen lagi. Sehingga ruangan yang berada di
antara dapur dan ruang keluarga penuh dengan padi sampai menyentuh atap rumah.
Kala itu masa kejayaan petani gurem. Seperti keluargaku ini. Hasil panen
sebagian dapat digunakan untuk membeli kebutuhan dapur, pakaian, ditabung dan
sekolah anak.
Tapi sekarang panen sekali aja sudah alhamdulillah. Berharap pembangunan bendungan Tugu Trenggalek mampu memberi dampak yang bagus pada kami. Warga yang kehidupan sehari-harinya mengandalkan dari hasil pertanian. Kelak bila bendungan tersebut jadi tidak ada kejadian seperti ini. Di musim kemarau Trenggalek dilanda kekeringan, tanah tandus karena minimnya air.
“ Bu, nglamun ya,’’ suami menyentuh pundakku.
Membangunkan aku dari ingatan-ingatan masa lalu. “Hhh, teringat panen ketika
Fikri masih kecil Mas, melimpah ruah,”jawabku tersenyum malu. “ harapan kita cuma
pada Bendungan Nglinggis ya Mas?
“Betul itu, kemarin ada yang memperkirakan bendungan itu mampu menyuplai air irigasi kurang lebih 1.200 hektar lahan pertanian. Ntar dengan irigasi di luasan lahan tersebut, nantinya seperti dulu,”kata suami seakan menerawang jauh. “Maksudnya seperti dulu itu apa Mas?,” tanyaku. “Kita mampu bercocok tanam pola padi-padi-palawija setiap tahunnya,”katanya penuh harap. “Semoga rencana itu cepat terlaksana ya Mas,” aku menimpalinya.
“ Ya semoga
demikian, karena sawah itu lumbung
kehidupan. Hasil panen yang melimpah mampu memenuhi kebutuhan pangan. Tanpa
kita sadari hasil panen yang melimpah mampu menyukseskan usaha ketahanan pangan
dan kemandirian pangan, “ Suamiku menjelaskannya. “Kalau hasil panen melimpah,
otomatis kebutuhan pokok warga tercukupi. Desa kita gemah ripah loh jinawi.”
Aku mengangguk sebagai isyarat membenarkan semua ungkapannya.
"Oh
ya Bu, aku mau ke sawah. Ini waktunya nyawur.
Moga cepat turun hujan. Lha memang sawah
kita tergolong sawah tadah hujan mau apa lagi,”Suamiku pamit sambil mengenakan
baju kebesarannya yang penuh dengan endut,
bekas kemarin buat papan pinian. Semoga hujan yang turun dari langit tercurah setiap hari. Bulan ini warga bertahan dengan makan seadanya. Karena harga jagung yang anjlok, tidak sebanding dengan beaya yang dikeluarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar