Kemarin bergabung dengan group Buku Antologi Oktober.
Dalam group tersebut Ibu Esti
Nuryani Kasam diminta untuk menyampaikan materi
tentang pengalamannya menulis. Bu Esti lahir di Gunung Kidul,
Yogyakarta. Beliau belajar menulis secara otodidak. Dengan alasan menulis
karena orang tuanya tidak mampu, namun ingin tetap sekolah. Beliau bisa kuliah
S1 dan S2 karena dari hasil menulis. Orang tuanya tidak mengetahui bahwa Beliau kuliah, tahu-tahu
mendapat undangan menghadiri wisuda. Beliau menulis sejak kelas 6 SD, memasuki jenjang SMA semakin giat. Semasa SMP hngga
SMA, sering memenangkan berbagai lomba
tulisan ilmiah baik tingkat kabupaten maupun nasional. Puisi dan
artikelnya banyak dimuat di media sejak Beliau belajar di bangku SMP. Untuk
memperkaya pengetahuan sastranya pada
tahun 2006 kuliah di Fakultas Ilmu Budaya di UTY, Beliau lulus tahun 2011.
Prestasi Beliau luar biasa,
tulisan berupa artikel, puisi, cerpen, esai dan naskah dramanya telah
dipublikasikan dalam media lokal, nasional maupun regional. Beliau pernah
meenjadi juri dan tutor diberbagai ajang lomba kepenulisan kreatif, essai. Hasil
tulisannya berupa artikel, puisi, cerpen, esai dan naskah dramanya telah
terpublikasi dalam media lokal, nasional maupun regional. Menjadi juri dan
tutor di berbagai ajang lomba kepenulisan kreatif, essay dan pidato maupun
menulis dalam Bahasa Inggris. Menjadi pemakalah di berbagai pelatihan
kepenulisan. Sejak tahun 2008 hingga saat ini, Beliau masih mengajar kreatif
writing dari tingkat SMP hingga universitas.
Beliau telah menerbitkan empat
buku tunggal antara lain: (1)Resepsi Kematian (2005), (2) Orang Gila Dilarang
Tertawa (2007, dan mengalami terbit ulang di penerbit berbeda 2014), (3) Perempuan
Berlipstik Kapur (2012), mendapat penghargaan dan pengukuhan sebagai sastrawan
Yogya dari Yasayo (2012), lulus UGM tingkat master atas minat Sastra Inggris
(2015), (4) Buku Puisi Perjodohan Matahari (2015). Maret tahun 2019, buku
kumpulan naskah dramanya Tembang Nusantara telah diterbitkan. Selain itu,
hingga akhir tahun 2019, Bu Esti telah membersamai, membimbing dan mengeditori
buku murid-muridnya untuk ke-16 kalinya dari 6 sekolah yang selama ini menjadi
tempatnya berbagi. Buku pertama Beliau yang berjudul Resepsi Kematian, berisi kumpulan
cerpen yang sudah dimuat dan di banyak surat kabar harian seIndonesia, dapat penghargaan
Yasayo dan UGM tahun 2012. Buku kedua, Orang Gila Dilarang Tertawa, dapat
penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta, berisi kumpulan cerpen yang sudah
dimuat di berbagai Koran. Sedangkan buku ketiga, Perempuan Berlipstik Kapur,
memuat novelet dan cerpen. Buku keempat kumpulan puisi, masuk 18 besar buku
puisi Indonesia terbaik 2016. Kemudian Beliau membuat buku
kelima, yang berisi kumpulan naskah drama yang sudah dipentaskan dalam lomba,
dan 7 dari 11 naskah drama yang ditulisnya, masuk 3 besar. Menjadi pemenang
tiap tahun sehingga Beliau sekaligus menjadi sutradaranya.
Selain Beliau kuliah S1 dan
S2 dari hasil menulis, juga menghantarkannya melalang buana keliling dunia. Sampai
tahun 2019 sudah menginjakkan kaki ke 15 negara Asia, Eropa dan Australia, dan
nyaris negara ke 16 waktu tanggal 22 Maret lalu Beliau gagal terbang ke
NewZealand karena pandemi covid-19. Perjalanan sudah tiba di Jakarta dan tidak
bisa terbang ke Sydney untuk transit, akhirnya balik lagi ke Yogyakarta. Beliau
memotivasi para guru untuk meluruskan niat menulis. Bahwasannya menulis untuk
berbagi dan juga niatkan untuk bisa belajar dan mengenal berbagai negara hingga
bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah sang pemberi nikmat.
Pengalaman Beliau yang
sangat menginspirasi adalah di bulan Desember tahun lalu ketika berada di
Australia. Beliau mengajar di 3 tempat, antara lain: (a) Balai Bahasa Indonesia
di Canberra. Anggotanya para calon dan mantan diplomat Australia di Negara-negara
Asia yang kebanyakan berlatar belakang tentara. (b) Mengajar di kementrian
pertahanan Australia yang muridnya semua perwira menengah dan tinggi.(c) Mengajar
di Australian National University, untuk mahasiswa S2 dan S3 yang belajar
budaya dan sastra Indonesia. Ketika Beliau berkunjung ke setiap museum yang
mengandung sejarah perang, termasuk ketika berada di War Memorial di Canberra, hal
itu membuatnya merasa mendapat energi yang buruk. Perang selalu menyisakan
luka. Namun demikian, Beliau meyakini, ada ajaran perang dari bapaknya yang
menyisakan rasa bangga.
Beliu sedikit menceritakan
kisah hidupnya, kala usianya menginjak belasan tahun. Beliau memiliki kedekatan
batin yang mendalam dengan Ayahnya, kendati kedekatan tersebut bukan tanpa
konflik. Suatu ketika Bu Esti bersama Sang Ayah hanya berdua, Ayahnya
menitikkan air mata di tepian kebun. Ayahnya meminta maaf, telah hadir di muka
bumi ini sebagai orang tua miskin yang tidak mampu menghantar putra-putrinya
sampai sekolah tinggi. Beliau menyampaikan, “Tak setitik pun itu kesalahan,
sebab Bu Esti sudah melihat dan merasakan kegigihan Ayahnya bekerja dan
mendidik anaknya. Ini agaknya suratan takdir.” Namun begitu, Beliau tak pernah mengutarakan
dengan perkataan bahwa akan meneruskan perjuangannya; sekecil apa pun itu.
Hanya sekitar 3 Minggu sebelum Bu Esti mengutarakan telah mendaftarkan diri untuk kuliah dengan bermodalkan uang tabungannya. Uang tabungan yang dikumpulkannya dari menulis dan kerja serabutan, Ayah telah berpulang ke Rahmatullah. Saat di mana beliau berhasrat mengutarakan langkah besar yang sudah diputuskan. Sinar matanya menyuarakan luka, barangkali membayangkan bagaimana Bu Esti menelan ludah untuk menekan keinginan makan makanan enak atau berpakaian bagus yang mengundang sanjung puji. Sementara Bu Esti mencurahkan jiwa raga demi sebuah impian perbaikan. Namun demikian Beliau sempat bersyukur Ayahnya mengetahuinya. Tahu putrinya telah membuat buku dan terbang ke seberang pulau karena tulisan. Itu salah satu kejutan yang Bu Esti persembahkan.
Bu Esti yakin sudah demikian
banyak tuturan kalimat yang menekankan betapa pentingnya makna tulisan yang
digoreskan para tokoh dunia. Beliau sering menukil sebuah filsafat Yunani; Verba
Vallent Scripta Manent; perkataan cepat hilang, tulisan akan abadi.
Juga ada kalimat Pramoedya; orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Atau kalimat Winston Churchil; “Hanya
ada dua cara untuk menjadi penting; ialah berbuat sesuatu yang penting untuk
ditulis, atau menulis sesuatu yang penting untuk dibaca”. Dan akhir-akhir
ini, Bu Esti terpesona oleh kalimat Malala Yousafzei (12 Juli 1997); gadis
belia yang nekat pergi ke sekolah di bawah ancaman Taliban dan nyaris meninggal
karena sebuah peluru menancap di kepalanya. Sebagaimana kita tahu para
radikalist mengharamkan perempuan menjadi terdidik dan mampu menjadi manfaat
bagi kemanusiaan. Katanya: “Bukan meriam dan tank yang diperlukan untuk
memperbaiki dunia, tetapi buku dan pena, senjata ampuh yang mampu mencegah
kerusakan alam semesta.” Barangkali, lalu kita bertanya, buku seperti
apa dan pena yang menulis apa yang memperbaiki alam semesta seisinya?
Orang-orang dengan hati nurani
dan akal sehat yang terawat, memiliki jawabnya. Buku dan pena yang menyuarakan
perlawanan terhadap ketidakadilan. Demikian banyak ketidakadilan yang kita
sudah anggap biasa sehingga ketidakadilan tersebut telah menjadi hal normal
yang tidak perlu diperangi. Ketidakadilan manusia terhadap sesama umat mereka
sendiri sehingga merusak lingkungan hidup dan menghasilkan udara, air dan tanah
beracun. Ketidakadilan manusia dengan mengambil hak orang lain dengan
melahirkan para koruptor, opportunist termasuk pelaku kolusi. Semuanya atas
nama pemuasan nafsu kerakusan. Ketidakadilan para pemimpin, orang-orang berusia
tua, para orang tua terhadap rakyat awam, generasi muda, anak-anak mereka
dengan merantai perasaan dan pikiran mereka dengan kata “durhaka” dan “surga”
yang digelembungkan menjadi kata sakti demi nafsu keangkuhan mereka. Demikian
tuturan Bu Esti yang menyentuh relung hatinya saya.
Seiring waktu, semakin jelas
kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan penggunaan zat-zat kimia. Semakin parah kerusakan karakter manusia
karena nafsu duniawi sekaligus surgawi. Bu Esti mencoba mengajarkan diri
sendiri dan orang lain untuk perang terhadap penggunaan zat-zat kimia dalam
makanan dan perlengkapan hidup sehari-hari yang tidak darurat. Sejak usia
belasan, Beliau juga perang terhadap usaha pembungkaman suaranya sebagai
manusia yang kebetulan dalam posisi anak perempuan. Terutama kata “durhaka dan
surga” yang belakangan dituangkan dalam pikiran manusia, khususnya dalam posisi
sebagai anak perempuan, lebih khusus lagi perempuan miskin dan sangat lebih
khusus lagi, perempuan tidak terdidik. Beliau tidak lagi ingin berbuat baik
demi surga yang difantasikan sebagai rumah yang meminta tumbal kematian dan
kejahatan. Beliau berbuat baik demi kebahagiaan untuk kesehatan jiwa dan raga,
agar dengan kesehatannya lebih bermanfaat untuk perbaikan kemanusiaan.
Beliau menuliskan kalimat
bijak ini ketika masih di Canberra pada
tanggal 16 Desember 2019. Seorang humanis muda Indonesia berasal dari Cina; Soe
Hok Gie, berkata, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan!” Beliau
senantiasa berterima kasih pada Ayahnya yang mengajarkan keberanian melawan
kepura-puraan menikmati kebodohan, membanggakan keangkuhan orang-orang tua, bahkan
pada ibunya sendiri, ketika seorang anak ingin dilenakan oleh kebodohan dan kemiskinan.
Itulah sekian perang hari ini yang Bu Esti tegakkan. Alam semesta demikian
menderita bukan hanya karena perbuatan orang-orang jahat, tetapi juga karena
ketidakpedulian orang-orang berhati dan berpikiran bersih.
Beliau berpesan untuk
membangun masyarakat yang berperadaban tinggi itu sebaiknya kita mengasah
ketrampilan: (a) mendengar, (b)bicara, (c) melihat, (d) membaca, (e) menulis. Masyarakat yang peduli akan dokumentasi (tulisan)
adalah negara/masyarakat dalam tingkatan peradaban paling sempurna. Ingatlah! Verba
vallent scripta manent: Perkataan cepat hilang / gugur / jatuh, tetapi script /
tulisan akan tetap abadi. Jika manusia
ingin tetap hidup bahkan setelah wafat; raga kita dikubur atau dibakar, tetapi
dengan tulisan, karya kita itu masih tetap menebar amal mengajar. Menulis itu
pada dasarnya sedang menyebar manfaat, antara lain: (1) Pendidikan. Menulis
adalah mendidik, (2) Kejiwaan. Menulis itu melepaskan stress kejiwaan ( daya
katarsis), (3) Financial. Beliau bisa kuliah S1 + S2 dari menulis. JK Rolling
yang menulis Harry Potter jadi triliuner sempat dalam kurun waktu 3 tahun
tertentu mengalahkan kekayaan ratu Inggris. Sampai sekarang dia punya Mansion
dan beberapa jet pribadi, (4) Manfaat filsafat atau ajaran hidup bijak, (5)
Manfaat populeritas. Andrea Heratta dicari Susilo Bambang Yudoyono untuk
diminta tanda tangan-nya, bukan Andre Herata yang mint tanda tangan SBY.
Semangat literasi!
Mantab sekali Ibu Muslikah. Memotivasi sekali untuk giat menggerakkan jemari.
BalasHapusTerimakasih Mbak Zuna. Salam literasi.
HapusInspiratif Bu Muslikah. Saya selalu terpukau dengan konsistensi ibu dalam menulis.
BalasHapusTerimakasih Bu Doktor. Saya justru selalu menunggu tulisan Ibu untuk vitamin saya.
Hapus