Sesuatu
yang ingin saya jauhi adalah menulis tentang pandemi covid-19. Membaca atau
melihat berita tentang paparan covid-19. Namun melihat penyebarannya yang
mengganas, sehingga tergelitik untuk mengamatinya. Faktanya virus itu semakin
dekat dengan masyarakat pedesaan. Mengalir bak hembusan angin yang tak terlihat
namun dapat dirasakan.Virus mewabah dengan cepat, karena masyarakat tetap
berkerumun meskipun ia terpapar. Masyarakat tetap melangsungkan hajatan, warga
tetap mendatangi hajatan meskipun dalam kondisi terpapar. Badannya terlihat
sehat namun ia orang tanpa gejala. Masyarakat tetap WFO meskipun ia dalam
kondisi mengalami gejala sedang ataupun ringan. Anak-anak tetap mengaji
meskipun ia batuk, pilek, tidak mampu membau. Kenyataan ini menjadikan covid-19
mencemari udara pedesaan yang sejuk.
Sebuah
keluarga yang terpapar semuanya, karena sang ayah tertular dari temannya satu
kantor. Anaknya yang terinfeksi dari temannya yang bergejala sedang. Ibunya
yang tertular ketika rewang di pesta
hajatan. Demikianlah faktanya, sehingga pedesaanpun mulai tercemar. Patutlah
bersyukur jika hanya menderita gejala sedang. Namun akan sangat fatal jika
mengalami gejala tingkat tinggi. Demam sampai berminggu-minggu, badan panas,
dan sulit bernapas (sesak). Apalagi jika yang diserang lambung, memiliki gejala
seperti tipes. Lidah merasakan pahit dan nafsu makan menurun. Akhirnya badan
lemas karena tidak ada asupan yang bisa dicerna oleh organ pencernaan.
Ketika
menyerang virus ini tidak mengenal usia. Dulu yang dianggap rentan adalah
orang-orang tua yang memiliki penyakit bawaan. Kini virus ini menyerang
anak-anak, remaja, ibu hamil dan orang lanjut usia. Sebuah kisah nyata, salah
satu wali murid MIM Kamulan yang sedang hamil tua. Ia berobat ke bidan. Setelah
diperiksa bumil ini positif. Dampak setelah diberitahu ia positif, kondisi
tubuhnya melemah. Merasakan hendak melahirkan. Ia dibawa ke rumah sakit untuk
proses melahirkan. Namun bayi tidak bisa keluar sempurna hanya sebatas leher
saja. Karena sang bunda telah berhenti bernapas. Bayi dikeluarkan paksa dengan penanganan
khusus. Sang bayi dirawat di rumah sakit. Bundanya segera dimakamkan dengan protokol
kesehatan (layaknya jenzah yang terpapar). Ayahnya selalu berdoa semoga bayinya
mendapat mukjizat. Allah memberikan limpahan kesehatan sehingga bisa tumbuh
menjadi dewasa. Namun takdir Allah berkehendak lain, bayi tersebut juga
meninggal dunia.
Memang
pada pertengahan hingga akhir bulan Juli, warga Kamulan dalam kondisi
berkabung. Saat itu hampir setiap hari ada warga yang meninggal. Hingga 2 orang
sampai empat orang warga meninggal dunia dalam satu hari. Kebanyakan meninggalnya karena
paparan covid-19. Bulan Agustus ini sejatinya waktunya pembimbingan KSM bagi 2 siswa
MIM Kamulan. Karena kondisi darurat seperti ini. Kamulan dalam zona merah tua,
maka pendampingan dilakukan setiap dua hari sekali. Semoga pandemi ini segera
berakhir. Semua atas kehendak Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali
pertolongan dari-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar