Kemarin, tanggal 22 Juni 2021 mendapat undangan mengikuti sosialisasi tentang
Moderasi Beragama (MB). Undangan pukul 08.00 di MI Pakis, sudah siap sejak
pagi. Namun namanya ibu yang mendapat jatah libur. Inginnya meninggalkan rumah
dalam kondisi sudah rapi dan aman (kompor dipastikan sudah mati dan rumah
terkunci). Apalagi semua akan meninggalkan rumah ke tujuan masing-masing.
Akhirnya menuju tempat rapat dengan terburu-buru. Sialnya ada mobil mewah
berwarna putih yang melaju di tengah-tengah jalan desa dan enggan berada di
jalur kiri. Sampailah di tempat acara pukul 08.50, sangat menyedihkan. Meski
agak jengkel juga harus tetap menyimak sosialisasi dengan baik. Apalagi saya
paling suka dengan kata kunci tema sosialisasi hari ini: ‘moderat’.
Menurut
penjelasan Bapak Pengawas, kata ‘moderat’ adalah sebuah kata sifat, turunan
dari kata moderation, yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang.
Dalam bahasa Indonesia, kata ini kemudian diserap menjadi 'moderasi', yang
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai 'pengurangan
kekerasan', atau 'penghindaran keekstreman'. Dalam KBBI juga dijelaskan bahwa
kata ‘moderasi’ berasal dari bahasa Latin moderâtio, yang berarti
ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Jadi kesimpulannya moderat itu tidak
berlebih-lebihan atau sedang.
Beliau
menjelaskan, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata 'beragama', menjadi
moderasi beragama, maka merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau
menghindari keesktreman dalam praktik beragama. Moderasi beragama harus
dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di
mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan
politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih
kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka. Jadi jelas bahwa
moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan
memiliki sikap ‘tenggang rasa’, sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita
untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda dengan kita.
Seringkali kita mendengarkan
istilah Islam Moderat. Islam Moderat adalah sebuah pemahaman yang mengedepankan
demokrasi, menjamin kemurnian ideologi nasional (Pancasila) dan kesatuan
konstitusi. Karakteristiknya adalah mengacu pada nilai-nilai kebudayaan dan
agama, yang mendukung pembangunan. Pendapat di atas
menurut Gus Dur, sedangkan menurut Cak Nur, Islam Moderat adalah yang menjunjung nilai-nilai inklusivisme dan pluralisme. Sedangkan
menurut menteri agama periode lalu (Bapak Lukman Hakim Saifuddin), Moderasi beragama adalah cara
pandang kita dalam beragama, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan
tidak ekstrem, baik ekstrem kanan (eka) maupun ekstrem kiri (eki).
Kesimpulannya Islam Moderat
adalah pandangan Islam yang akomodatif, terbuka, toleran, teguh pendirian,
mengakui keberagaman, menerima konstitusi nasional dan anti kekerasan.
Sebenarnya
tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit orang yang
memahami dan menjalankan ajaran agamanya secara ekstrem. Terdapat 4 indikator
moderasi beragama: (1) Komitmen kebangsaan :Pancasila,
Bhinneka, NKRI & UUD 1945 (2) Toleransi, (3) Anti
kekerasan, (4) Adaptif
terhadap kebudayaan lokal. Dalam toleransi mengandung dua makna kunci yang
sekaligus berperan sebagai prinsip, yaitu; (1) “kesengajaan” (intent),(2)
“tidak-mengganggu” (Non–interference). Antara intent dan non-interference
merupakan element yang sama penting
dalam moderasi beragama. Jika muncul pertanyaan: apakah perbedaan moderasi dan
toleransi? Jadi moderasi merupakan prosesnya, sedangkan toleransi adalah hasilnya.
Jadi toleransi merupakan sikap saling
pengertian, saling menghormati, dan menghargai perbedaan keyakinan.
Pesan Bapak Pengawas penerapan moderasi beragama dimulai dari diri kita sendiri dan dalam keluarga. Meskipun kelihatan sederhana semoga kita bisa menerapkannya dalam membimbimg anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar