Rabu, 23 Juni 2021

Moderasi Beragama

 


Kemarin, tanggal 22 Juni 2021 mendapat undangan mengikuti sosialisasi tentang Moderasi Beragama (MB). Undangan pukul 08.00 di MI Pakis, sudah siap sejak pagi. Namun namanya ibu yang mendapat jatah libur. Inginnya meninggalkan rumah dalam kondisi sudah rapi dan aman (kompor dipastikan sudah mati dan rumah terkunci). Apalagi semua akan meninggalkan rumah ke tujuan masing-masing. Akhirnya menuju tempat rapat  dengan terburu-buru. Sialnya ada mobil mewah berwarna putih yang melaju di tengah-tengah jalan desa dan enggan berada di jalur kiri. Sampailah di tempat acara pukul 08.50, sangat menyedihkan. Meski agak jengkel juga harus tetap menyimak sosialisasi dengan baik. Apalagi saya paling suka dengan kata kunci tema sosialisasi hari ini: ‘moderat’.

Menurut penjelasan Bapak Pengawas, kata ‘moderat’ adalah sebuah kata sifat, turunan dari kata moderation, yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang. Dalam bahasa Indonesia, kata ini kemudian diserap menjadi 'moderasi', yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai 'pengurangan kekerasan', atau 'penghindaran keekstreman'. Dalam KBBI juga dijelaskan bahwa kata ‘moderasi’ berasal dari bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan).  Jadi kesimpulannya moderat itu tidak berlebih-lebihan atau sedang.

Beliau menjelaskan, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata 'beragama', menjadi moderasi beragama, maka merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman dalam praktik beragama. Moderasi beragama harus dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka. Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap ‘tenggang rasa’, sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda dengan kita.

Seringkali kita mendengarkan istilah Islam Moderat. Islam Moderat adalah sebuah pemahaman yang mengedepankan demokrasi, menjamin kemurnian ideologi nasional (Pancasila) dan kesatuan konstitusi. Karakteristiknya adalah mengacu pada nilai-nilai kebudayaan dan agama, yang mendukung pembangunan. Pendapat di atas menurut Gus Dur, sedangkan menurut Cak Nur, Islam Moderat adalah yang menjunjung nilai-nilai  inklusivisme dan pluralisme. Sedangkan menurut menteri agama periode lalu (Bapak Lukman Hakim Saifuddin), Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan (eka) maupun ekstrem kiri (eki). Kesimpulannya Islam Moderat adalah pandangan Islam yang akomodatif, terbuka, toleran, teguh pendirian, mengakui keberagaman, menerima konstitusi nasional dan anti kekerasan.

Sebenarnya tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit orang yang memahami dan menjalankan ajaran agamanya secara ekstrem. Terdapat 4 indikator moderasi beragama: (1) Komitmen kebangsaan :Pancasila, Bhinneka, NKRI & UUD 1945 (2) Toleransi, (3) Anti kekerasan, (4) Adaptif terhadap kebudayaan lokal. Dalam toleransi mengandung dua makna kunci yang sekaligus berperan sebagai prinsip, yaitu; (1) “kesengajaan” (intent),(2) “tidak-mengganggu” (Non–interference). Antara intent dan non-interference merupakan  element yang sama penting dalam moderasi beragama. Jika muncul pertanyaan: apakah perbedaan moderasi dan toleransi? Jadi moderasi merupakan prosesnya, sedangkan toleransi adalah hasilnya. Jadi toleransi merupakan sikap saling pengertian, saling menghormati, dan menghargai perbedaan keyakinan. 

Pesan Bapak Pengawas penerapan moderasi beragama dimulai dari diri kita sendiri dan dalam keluarga. Meskipun kelihatan sederhana semoga kita bisa menerapkannya dalam membimbimg anak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar