Sabtu, 26 Juni 2021

Dampak Tindakan yang Berlebihan

 

Kita boleh mengatakan bahwa telah melakukan moderasi dalam beragama. Berhasil membuktikan pribadinya telah menggunakan cara beragama jalan tengah. Merasa tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Merasa telah menjahui sifat ekstrem atau berlebihan terhadap sesuatu, seperti tidak menampakkan kesombongan dalam bertindak dan beribadah. Dalam bersosialisasi merasa telah menunjukkan sifat dermawan, sering bersedekah, mengajak teman makan bersama dan menyantuni anak yatim. Bukankah dermawan itu baik karena berada di antara boros dan kikir. Namun jangan lupa orang yang melakukan kedermawanan berlebih-lebihan akan mengarah kesikap boros. Misalkan agar disukai banyak orang kedermawanannya melebihi penghasilan yang dimiliki. Bisa juga ketika seorang pemeluk agama mengafirkan saudaranya sesama pemeluk agama yang sama hanya gara-gara mereka berbeda dalam paham keagamaan.

Hal di atas yang dipesankan bapak Pengawas pada para guru untuk mengontrol sikap baik dalam berderma maupun beribadah. Tidak berlebih-lebihan, namun dalam takaran yang sedang-sedang saja. Terkait mengkafirkan atau menyalahkan ibadah orang lain ini Beliau juga menegaskan agar dihindari oleh para ASN. Karena hanya Tuhan Yang Maha Tahu apakah seseorang sudah masuk kategori kafir atau tidak. Seseorang yang bersembahyang terus-menerus dari pagi hingga malam tanpa mempedulikan problem sosial di sekitarnya bisa disebut berlebihan dalam beragama. Ada cerita yang menyedihkan dari sahabat kecil saya. Beberapa bulan kemarin ia meminta cerai suaminya. Karena suaminya wiridan mulai siang sampai malam, melaksanakan amalan-amalan. Memiliki hobi membeli barang-barang yang bersifat klenik. Usaha jual beli bahan bangunan diserahkan pada anak buahnya, dan mengalami kebangkrutan. Diingatkan agar mengubah karakternya yang tidak peduli dengan istri dan masa depan anaknya, tidak digubris. Tetap kokoh pada pendirian, demi masa depan anaknya ia pulang ke Trenggalek.

Selain hal di atas, contoh lainnya adalah seseorang juga bisa disebut berlebihan dalam beragama ketika ia sengaja merendahkan agama orang lain. Orang yang gemar menghina figur atau simbol suci agama tertentu. Dalam kasus seperti ini ia sudah terjebak dalam ekstremitas yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi beragama. Misalnya seseorang menyantap makanan atau mereguk minuman yang jelas-jelas haram menurut ajaran agamanya hanya karena alasan toleransi kepada umat agama lain. Atau merusak rumah ibadah karena tidak setuju paham keagamaannya. Sikap ekstrem lainnya adalah mengikuti ritual pokok ibadah agama lain karena alasan tenggang rasa. Ini semua tidak bisa dibenarkan. Bersikap moderat cukup dengan menghormati orang lain dan tidak mengganggu satu sama lain. Ia sendiri harus mantap dengan kepercayaannya, tidak perlu menggadaikan keyakinan.

 Orang moderat harus berada di tengah, berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa menghiraukan akal/nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks. Pendek kata, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan manusia. Prinsipnya ada dua: adil dan berimbang. Bersikap adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin. Sedangkan sikap berimbang berarti selalu berada di tengah di antara dua kutub. Dalam hal ibadah, misalnya, seorang moderat yakin bahwa beragama adalah melakukan pengabdian kepada Tuhan dalam bentuk menjalankan ajaranNya yang berorientasi pada upaya untuk memuliakan manusia. Orang yang ekstrem sering terjebak dalam praktek beragama atas nama Allah hanya untuk membela keagunganNya saja seraya mengesampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela membunuh sesama manusia “atas nama Tuhan” padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti moderasi beragam

Jika ada yang mempertanyakan bagaimanakah prilaku dalam memahami dan mengamalkan keagamaan bisa dinilai berlebihan? Ternyata jika kita melanggar tiga hal: nilai kemanusiaan, kesepakatan bersama, ketertiban umum. Prinsip ini juga untuk menegaskan bahwa moderasi beragama berarti menyeimbangkan kebaikan yang berhubungan dengan Tuhan dengan kemaslahatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Jika seseorang atas nama ajaran agama, misalnya, melakukan perbuatan yang merendahkan harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan, atau bahkan menghilangkan eksistensi kemanusiaan itu sendiri, itu sudah bisa disebut melanggar nilai kemanusiaan. Tindakannya jelas berlebihan atau ekstrem. Contoh konkretnya, dengan dalih jihad agama, seseorang meledakkan bom di tengah pasar lalu puluhan bahkan ratusan orang tak bersalah tewas seketika. Ini jelas tindakan ekstrem. Ketika seseorang sedang beribadah, lalu ada orang lain di dekatnya yang hampir mati akibat terjatuh ke dalam sumur, maka dia wajib membatalkan ibadahnya untuk kemudian membantu saudaranya yang terjatuh ke dalam sumur itu. Ibadah kepada Tuhannya bisa ia lakukan setelah menolong saudaranya itu. Contoh lain, seorang dokter harus bergegas menunaikan kewajiban beribadah. Namun di saat yang sama ada pasien dalam kondisi darurat harus segera ditangani dan tidak dapat ditangguhkan. Dalam kondisi seperti itu, sang dokter harus segera menyelamatkan pasiennya dan menunda ibadahnya, untuk kemudian melaksanakan kewajiban agamanya setelah menolong pasien tersebut.

Prilaku  kita dalam memahami dan mengamalkan keagamaan bisa dinilai tidak berlebihan jika tidak melanggar batasan dalam bergama. Contohnya jika seseorang, atas nama ajaran agama, melanggar butir- butir Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan. Republik Indonesia (NKRI), yang telah menjadi kesepakatan bersama bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, itu sudah bisa dinilai ekstrem dan melanggar. Dalam hal kehidupan bermasyarakat, niscaya juga banyak peraturan yang telah disepakati bersama oleh seluruh warga di lingkungan tempat tinggal. Jika seorang warga, atas nama agama yang dianutnya, melanggar kesepakatan bersama yang telah ia setujui tersebut, maka ia pun dapat dianggap berlebih-lebihan. Misalnya jika seseorang, atas nama ajaran agama, melanggar ketertiban umum, itu sudah bisa dinilai beragama secara berlebihan. Misalnya, jika seseorang ingin viral kemudian ia memaksakan diri beribadah di tengah keramaian lalu lintas, yang menyebabkan kemacetan, bahkan rawan menimbulkan kecelakaan, maka ia sudah melanggar batas ketertiban.

Sebagai ASN kita juga harus moderat dalam memahami kemanusiaan. Karena kemanusiaan merupakan salah satu esensi agama. Kemanusiaan diyakini sebagai fitrah agama yang tidak mungkin diabaikan. Agama mengajarkan bahwa menjunjung tinggi kemanusiaan adalah inti pokok agama. Tuhan diyakini menurunkan agama dari langit ke bumi ini justru untuk melindungi kemanusiaan. Pendek kata, inti pokok ajaran agama adalah untuk menjaga kemanusiaan, bukan untuk menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Jadi, kalau ada paham ekstrem atas nama agama yang berakibat menghancurkan kemanusiaan, misalnya mengakibatkan terbunuhnya orang tak bersalah, paham itu jelas bertentangan dengan fitrah agama dan tentu saja tidak bisa dibenarkan. Orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara sesama manusia dan akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara seiman. Orang moderat akan sangat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan di samping kepentingan keagamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan, dalam situasi tertentu, kepentingan kemanusiaan

Sebagai warga negara yang baik tidak boleh menyamakan arti moderasi bergama dengan moderasi agama. Karena sangat jelas berbeda maknanya. Faktanya agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan dan keseimbangan. Jadi bukan agama yang harus dimoderasi, melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itulah yang harus dimoderasi. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit orang yang menjalankan ajaran agama berubah menjadi ekstrem. Misalnya, ajaran agama untuk memuliakan perempuan. Ajaran ini bersifat pasti dan tidak ada yang memperdebatkan, itulah ajaran agama. Tapi, bagaimana cara memuliakan perempuan menurut ajaran agama itu, masing-masing umat beragama melakukan praktik yang berbeda-beda. Itulah yang disebut beragama. Contoh yang mudah terlihat misalnya ada paham dan amalan agama yang ekstrem membatasi aktivitas sosial perempuan, seperti larangan keluar. Faham melarangan keluar rumah bagi perempuan meski untuk menuntut ilmu. Namun, ada juga paham dan amalan agama yang memberi ruang kebebasan ekstrem bagi perempuan untuk beraktifitas sosial sehingga menyepelekan tanggung jawab mengurus keluarga. Di antara keduanya itu, ada juga paham dan amalan agama yang cenderung moderat, dengan memberikan hak-hak kesetaraan gender kepada perempuan, tetapi tetap membatasinya dengan etika dan adat istiadat lokal yang berlaku.

Yang  terpenting kita terapkan adalah sikap toleransi. Toleran itu adalah hasil yang diakibatkan oleh sikap moderat dalam beragama. Moderasi adalah proses, toleransi adalah hasilnya. Seorang yang moderat bisa jadi tidak setuju atas suatu tafsir ajaran agama, tapi ia tidak akan menyalah- nyalahkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Begitu juga seorang yang moderat niscaya punya keberpihakan atas suatu tafsir agama, tapi ia tidak akan memaksakannya berlaku untuk orang lain. Namun jangan sampai ingin bersikap moderat tapi justru tidak teguh dalam bergama. Seorang yang moderat juga harus memiliki pendirian teguh dan semangat beragama yang tinggi. Ia harus mampu memilah mana pokok ajaran agama, di mana ia harus berpendirian teguh, dan mana tafsir ajaran agama, di mana ia perlu toleran, menghormati pendirian orang lain, dan tidak menyalah-nyalahkan. Terkait urusan pokok agama, tidak boleh ada kompromi dalam hal meyakini dan mempraktikkannya. Tapi untuk urusan agama yang sifat hukumnya diperdebatkan, dan ada beragam pandangan, seorang moderat akan mengambil sikap hukum tertentu untuk dirinya, tapi tidak memaksakan hukum itu berlaku untuk orang lain. Itulah makna toleran.

Untuk itu perlu kemampuan membedakan pokok agama dengan tafsir agama. Supaya dapat memilah mana wilayah pokok agama yang harus dibela secara teguh, dan mana wilayah tafsir ajaran agama yang terbuka untuk berbeda, seorang umat beragama harus mempelajari ajaran agamanya dengan baik dan secara mendalam. Ia harus mencari ilmu melalui guru atau sumber yang tepercaya. Sikap moderat dalam beragama akan lebih mudah diterapkan jika seseorang memiliki pengetahuan agama yang baik dan memadai. Pengetahuan luas akan menghantarkannya menjadi orang yang bijaksana. Berpengetahuan itu penting karena untuk dapat berdiri di tengah, seorang yang moderat perlu tahu tafsir agama yang ada di ujung ekstrem kiri dan ujung ekstrem kanan. Sikap hanya melihat kebenaran satu tafsir agama dan buta terhadap kebenaran tafsir lainnya dapat menjerumuskan seseorang pada sikap ekstrem dan cenderung mengklaim kebenaran menurut versi dirinya saja. Pendek kata, untuk moderat, seseorang perlu berilmu

Seorang ASN yang moderat harus berilmu, mampu mengendalikan emosi, berakhlak baik, pemaaf, menjadi teladan, dan sanggup berempati. Dalam menyikapi masalah keagamaan, ia harus mampu mendahulukan rasa daripada emosi, dan harus mengedepankan akal ketimbang otot. Moderasi beragama harus dibarengi dengan sikap berbudi. Dengan begitu, maka seorang yang moderat dalam beragama akan senantiasa berhati-hati dalam bertindak, tidak gegabah, melirik ke kiri dan ke kanan, dan selalu mempertimbangkan baik buruknya setiap pilihan. Konsisten berada di tengah bukan berarti diam saja, melain- kan dinamis bergerak merespons situasi dengan cermat. Alhasil, moderasi berag- ama dapat diwujudkan jika seseorang telah memenuhi syarat berilmu, berbu- di, pemaaf, bijaksana dan berhati-hati. mengapa moderasi beragama diperlukan.

Kesimpulannya moderasi beragama diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama juga sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci, intoleransi, dan bahkan peperangan yang memusnahkan peradaban. Sikap- sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi. Moderasi beragama adalah upaya mengembalikan pemahaman dan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, yakni untuk menjaga harkat, martabat, dan peradaban manusia, bukan sebaliknya. Agama tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang justru merusak peradaban, sebab sejak diturunkan, agama pada hakikatnya ditujukan untuk membangun peradaban itu. Selamat malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar