Kita boleh mengatakan bahwa telah
melakukan moderasi dalam beragama. Berhasil membuktikan pribadinya telah
menggunakan cara beragama jalan
tengah. Merasa tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Merasa telah menjahui sifat ekstrem atau
berlebihan terhadap sesuatu, seperti tidak menampakkan kesombongan dalam
bertindak dan beribadah. Dalam bersosialisasi merasa telah menunjukkan sifat
dermawan, sering bersedekah, mengajak teman makan bersama dan menyantuni anak
yatim. Bukankah dermawan itu baik karena berada di antara boros dan kikir. Namun
jangan lupa orang yang melakukan kedermawanan berlebih-lebihan akan mengarah kesikap
boros. Misalkan agar disukai banyak orang
kedermawanannya melebihi penghasilan yang dimiliki. Bisa juga ketika seorang
pemeluk agama mengafirkan saudaranya sesama pemeluk agama yang sama hanya
gara-gara mereka berbeda dalam paham
keagamaan.
Hal di atas yang
dipesankan bapak Pengawas pada para guru untuk mengontrol sikap baik dalam
berderma maupun beribadah. Tidak berlebih-lebihan, namun dalam takaran yang
sedang-sedang saja. Terkait mengkafirkan atau menyalahkan ibadah orang lain ini
Beliau juga menegaskan agar dihindari oleh para ASN. Karena hanya Tuhan Yang Maha Tahu apakah
seseorang sudah masuk kategori kafir atau tidak. Seseorang yang bersembahyang terus-menerus dari pagi hingga malam tanpa mempedulikan problem
sosial di sekitarnya bisa disebut berlebihan dalam beragama.
Ada cerita yang menyedihkan dari sahabat kecil saya. Beberapa bulan kemarin ia
meminta cerai suaminya. Karena suaminya wiridan mulai siang sampai malam,
melaksanakan amalan-amalan. Memiliki hobi membeli barang-barang yang bersifat
klenik. Usaha jual beli bahan bangunan diserahkan pada anak buahnya, dan
mengalami kebangkrutan. Diingatkan agar mengubah karakternya yang tidak peduli
dengan istri dan masa depan anaknya, tidak digubris. Tetap kokoh pada
pendirian, demi masa depan anaknya ia pulang ke Trenggalek.
Selain hal di atas, contoh
lainnya adalah seseorang juga bisa disebut
berlebihan dalam beragama
ketika ia sengaja
merendahkan agama orang lain. Orang yang gemar menghina figur atau simbol suci agama tertentu. Dalam kasus seperti
ini ia sudah terjebak dalam ekstremitas yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi beragama. Misalnya
seseorang menyantap makanan atau mereguk minuman
yang jelas-jelas haram menurut ajaran
agamanya hanya karena alasan
toleransi kepada umat agama lain.
Atau merusak rumah ibadah karena
tidak setuju paham keagamaannya. Sikap ekstrem lainnya adalah mengikuti ritual pokok
ibadah agama lain karena alasan tenggang rasa. Ini
semua tidak bisa dibenarkan. Bersikap moderat
cukup dengan menghormati orang lain
dan tidak mengganggu satu sama lain. Ia sendiri
harus mantap dengan kepercayaannya, tidak perlu
menggadaikan keyakinan.
Orang moderat harus berada di tengah, berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu.
Ia tidak berlebihan dalam beragama,
tapi juga tidak berlebihan
menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem
mengagungkan teks-teks keagamaan
tanpa menghiraukan akal/nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks. Pendek kata, moderasi
beragama bertujuan untuk menengahi
serta mengajak kedua kutub ekstrem
dalam beragama untuk bergerak ke
tengah, kembali pada esensi ajaran
agama, yaitu memanusiakan manusia.
Prinsipnya ada dua: adil dan berimbang. Bersikap adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya
seraya melaksanakannya secara baik
dan secepat mungkin. Sedangkan sikap berimbang berarti
selalu berada di tengah di antara
dua kutub. Dalam hal
ibadah, misalnya, seorang
moderat yakin bahwa beragama adalah
melakukan pengabdian kepada Tuhan dalam bentuk menjalankan ajaranNya yang berorientasi pada upaya untuk memuliakan manusia. Orang yang ekstrem sering terjebak dalam praktek beragama
atas nama Allah hanya
untuk membela keagunganNya saja seraya mengesampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan
cara ini rela membunuh sesama
manusia “atas nama Tuhan” padahal menjaga
kemanusiaan itu sendiri
adalah bagian dari inti
moderasi beragam
Jika ada yang mempertanyakan
bagaimanakah prilaku dalam memahami dan mengamalkan keagamaan bisa dinilai berlebihan? Ternyata jika kita melanggar tiga hal: nilai kemanusiaan, kesepakatan
bersama, ketertiban umum. Prinsip ini
juga untuk menegaskan bahwa moderasi beragama
berarti menyeimbangkan
kebaikan yang berhubungan dengan Tuhan dengan kemaslahatan yang bersifat sosial
kemasyarakatan. Jika seseorang
atas nama ajaran
agama, misalnya, melakukan perbuatan yang merendahkan harkat,
derajat, dan martabat
kemanusiaan, atau bahkan
menghilangkan eksistensi kemanusiaan itu sendiri, itu sudah bisa disebut melanggar nilai kemanusiaan. Tindakannya jelas berlebihan atau ekstrem. Contoh konkretnya, dengan
dalih jihad agama, seseorang meledakkan bom di tengah pasar lalu puluhan
bahkan ratusan orang tak bersalah tewas
seketika. Ini jelas tindakan ekstrem. Ketika
seseorang sedang beribadah, lalu ada
orang lain di dekatnya yang hampir
mati akibat terjatuh ke dalam sumur,
maka dia wajib membatalkan ibadahnya
untuk kemudian membantu saudaranya yang terjatuh ke dalam sumur itu. Ibadah kepada Tuhannya
bisa ia lakukan setelah menolong saudaranya itu. Contoh
lain, seorang dokter harus bergegas menunaikan kewajiban beribadah.
Namun di saat yang sama ada
pasien dalam kondisi darurat harus segera
ditangani dan tidak dapat
ditangguhkan. Dalam kondisi seperti itu, sang dokter
harus segera menyelamatkan pasiennya dan
menunda ibadahnya, untuk kemudian melaksanakan kewajiban
agamanya setelah menolong pasien tersebut.
Prilaku kita dalam memahami dan mengamalkan keagamaan bisa dinilai tidak berlebihan jika
tidak melanggar batasan dalam bergama. Contohnya jika seseorang, atas nama ajaran
agama, melanggar butir-
butir Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan.
Republik Indonesia (NKRI),
yang telah menjadi
kesepakatan bersama bangsa
Indonesia dalam berbangsa
dan bernegara, itu sudah bisa dinilai ekstrem dan melanggar. Dalam hal kehidupan
bermasyarakat, niscaya juga banyak peraturan
yang telah disepakati
bersama oleh seluruh warga di lingkungan tempat
tinggal. Jika seorang
warga, atas nama agama yang dianutnya, melanggar
kesepakatan bersama yang telah ia setujui tersebut, maka ia pun dapat dianggap
berlebih-lebihan. Misalnya jika
seseorang, atas nama ajaran agama, melanggar ketertiban umum, itu sudah bisa dinilai beragama secara berlebihan. Misalnya, jika seseorang ingin viral kemudian ia memaksakan diri beribadah di tengah keramaian lalu lintas, yang menyebabkan kemacetan, bahkan rawan menimbulkan kecelakaan, maka
ia sudah melanggar batas ketertiban.
Sebagai
ASN kita juga harus moderat dalam memahami kemanusiaan. Karena kemanusiaan merupakan
salah satu esensi agama. Kemanusiaan diyakini sebagai fitrah agama yang tidak mungkin diabaikan.
Agama mengajarkan bahwa menjunjung tinggi kemanusiaan adalah inti pokok agama. Tuhan diyakini menurunkan agama dari langit ke bumi ini justru untuk melindungi kemanusiaan. Pendek kata,
inti pokok ajaran agama adalah untuk menjaga kemanusiaan, bukan untuk menghancurkan
kemanusiaan itu sendiri. Jadi, kalau ada
paham ekstrem atas nama agama yang berakibat menghancurkan kemanusiaan,
misalnya mengakibatkan
terbunuhnya orang tak bersalah, paham itu jelas bertentangan dengan fitrah agama dan tentu saja tidak bisa dibenarkan. Orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara
sesama manusia dan
akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara seiman. Orang moderat akan sangat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan di samping kepentingan keagamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan,
dalam situasi tertentu, kepentingan
kemanusiaan
Sebagai warga negara yang
baik tidak boleh menyamakan arti moderasi bergama dengan moderasi agama. Karena
sangat jelas berbeda maknanya. Faktanya agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan
dan keseimbangan. Jadi bukan
agama yang harus dimoderasi, melainkan
cara penganut agama dalam menjalankan agamanya
itulah yang
harus dimoderasi. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit orang yang menjalankan ajaran agama berubah menjadi
ekstrem. Misalnya, ajaran agama untuk memuliakan perempuan. Ajaran ini bersifat pasti dan tidak ada yang memperdebatkan, itulah
ajaran agama. Tapi, bagaimana cara
memuliakan perempuan menurut
ajaran agama itu, masing-masing umat beragama melakukan praktik yang berbeda-beda. Itulah
yang disebut beragama. Contoh yang mudah terlihat
misalnya ada paham dan amalan
agama yang ekstrem membatasi
aktivitas sosial perempuan, seperti larangan keluar. Faham melarangan
keluar rumah bagi perempuan meski untuk menuntut ilmu. Namun, ada juga paham dan amalan agama yang memberi ruang kebebasan ekstrem bagi perempuan untuk beraktifitas sosial sehingga menyepelekan tanggung jawab mengurus
keluarga. Di antara keduanya itu, ada
juga paham dan amalan agama yang
cenderung moderat, dengan memberikan
hak-hak kesetaraan gender kepada
perempuan, tetapi tetap membatasinya
dengan etika dan adat istiadat
lokal yang berlaku.
Yang terpenting kita terapkan adalah sikap
toleransi. Toleran itu adalah hasil yang diakibatkan oleh sikap moderat dalam beragama. Moderasi adalah proses, toleransi
adalah hasilnya. Seorang yang moderat
bisa jadi tidak setuju atas
suatu tafsir ajaran agama, tapi ia
tidak akan menyalah- nyalahkan orang
lain yang berbeda pendapat dengannya.
Begitu juga seorang yang moderat
niscaya punya keberpihakan atas suatu tafsir
agama, tapi ia tidak akan memaksakannya berlaku
untuk orang lain.
Namun jangan sampai ingin bersikap moderat tapi justru tidak teguh dalam
bergama. Seorang yang moderat
juga harus memiliki pendirian teguh
dan semangat beragama yang tinggi. Ia harus mampu
memilah mana pokok ajaran
agama, di mana ia harus berpendirian
teguh, dan mana tafsir ajaran agama,
di mana ia perlu toleran, menghormati
pendirian orang lain, dan tidak menyalah-nyalahkan. Terkait urusan pokok agama, tidak boleh ada kompromi dalam hal
meyakini dan mempraktikkannya. Tapi untuk urusan agama yang sifat hukumnya diperdebatkan, dan ada beragam pandangan, seorang moderat akan mengambil sikap hukum tertentu untuk dirinya, tapi tidak memaksakan hukum itu berlaku untuk orang lain. Itulah makna toleran.
Untuk itu perlu kemampuan membedakan pokok agama dengan tafsir agama. Supaya dapat memilah mana wilayah pokok agama yang harus dibela secara teguh, dan mana wilayah tafsir ajaran agama yang terbuka untuk berbeda, seorang umat beragama harus mempelajari ajaran agamanya dengan baik dan secara mendalam. Ia harus mencari ilmu melalui guru atau sumber yang tepercaya. Sikap moderat dalam beragama akan lebih mudah diterapkan jika seseorang memiliki pengetahuan agama yang baik dan memadai. Pengetahuan luas akan menghantarkannya menjadi orang yang bijaksana. Berpengetahuan itu penting karena untuk dapat berdiri di tengah, seorang yang moderat perlu tahu tafsir agama yang ada di ujung ekstrem kiri dan ujung ekstrem kanan. Sikap hanya melihat kebenaran satu tafsir agama dan buta terhadap kebenaran tafsir lainnya dapat menjerumuskan seseorang pada sikap ekstrem dan cenderung mengklaim kebenaran menurut versi dirinya saja. Pendek kata, untuk moderat, seseorang perlu berilmu
Seorang ASN yang moderat
harus berilmu, mampu mengendalikan
emosi, berakhlak baik, pemaaf, menjadi
teladan, dan sanggup berempati.
Dalam menyikapi masalah
keagamaan, ia harus
mampu mendahulukan rasa daripada emosi, dan harus mengedepankan akal ketimbang
otot. Moderasi beragama harus
dibarengi dengan sikap berbudi.
Dengan begitu, maka seorang yang moderat dalam beragama
akan senantiasa berhati-hati dalam bertindak,
tidak gegabah, melirik ke kiri dan ke kanan, dan selalu mempertimbangkan baik buruknya setiap pilihan. Konsisten
berada di tengah bukan berarti
diam saja, melain-
kan dinamis bergerak merespons situasi
dengan cermat. Alhasil, moderasi berag- ama dapat diwujudkan jika seseorang telah memenuhi syarat berilmu, berbu- di, pemaaf, bijaksana
dan berhati-hati. mengapa
moderasi beragama diperlukan.
Kesimpulannya moderasi
beragama diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran
agama itu sendiri.
Perilaku ekstrem atas nama agama juga sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci,
intoleransi, dan bahkan peperangan
yang memusnahkan peradaban. Sikap- sikap seperti
itulah yang perlu dimoderasi.
Moderasi beragama adalah upaya mengembalikan
pemahaman dan praktik beragama
agar sesuai dengan esensinya, yakni untuk menjaga harkat, martabat, dan peradaban manusia, bukan sebaliknya. Agama tidak boleh
digunakan untuk hal-hal yang justru merusak
peradaban, sebab sejak diturunkan,
agama pada hakikatnya ditujukan
untuk membangun peradaban
itu. Selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar