Setelah pulang sekolah segera ganti baju, siap-siap berangkat ke rumah Pak Mario Akopo untuk mengantar pengantin. Pak Mario penduduk asli Timor Leste yang menikah dengan warga Ngadirejo. Namun rombonganku menghendaki menunggu di gang depan tidak perlu ke rumah Pak Mario. Keponakan yang baru duduk di kelas 2 SD mengatakan rombongan pengiring temanten sudah berangkat sejak tadi. Akhirnya rombongan kami meluncur ke arah barat. Ketika menengok ke arah timur/rumah pengantin putri nampak sepi. Yakin dengan info yang kuterima langsung tancap gas menuju ke desa Sugihan Kampak. Tanpa aral melintang sampai ke tempat tujuan. Karena memang sudah menanyakan lokasi kepada teman yang rumahnya di Sugihan Kampak. Sesampainya di sana masih sepi, hanya rombonganku saja. Setelah rombonganku turun dari kendaraan berdatangan juga tamu undangan yang mengendarai sepeda motor. Kendaraan lain belum ada, apalagi mobil elf keluarga mempelai putri. Wah, ini akibat jika percaya dengan anak belum cukup umur.
Setelah satu jam
menunggu, mobil mempelai dan elf keluarganya datang. Mobil elf terlambat datang
karena salah arah, hampir 5 km terus melaju ke arah barat. Untung segera bertanya
kepada warga setempat. Matahari sangat
terik, para pengiring pengantin berteduh di bawah pohon pisang. Untuk menunggu
tuan rumah menyiapkan prosesi menyambut kedatangan mempelai. Kemudian tuan rumah mempersilahkan tamu undangan
duduk pada tenda yang dipasang di gang jalan masuk. Tamu undangan duduk tanpa
social distanching namun tetap pakai masker. Memang kondisi tempat agak darurat
jadi tidak bisa jaga jarak. Alhamdulillah prosesi cukup singkat, sehingga bisa segera meninggalkan lokasi kirab pengantin. Warga desa Ngadirejo terlihat mematuhi
prokes, sesudah keluar dari tenda banyak yang cuci tangan, tetap menggunakan
masker, dan ada pula yang menggunakan handsanitizer.
Proses mengantar
pengantin selesai, selanjutnya hendak mendatangi
hajatan pernikahan putra Mbak Sri Yuhani di Siyotobagus Besuki. Karena ada
undangan walimatul aqiqah, disepakati buwuh ba'da isya. Berangkatlah
menuju lokasi dengan denah tempat sudah ditanyakan kepada teman yang sudah
buwuh terlebih dahulu. Namun karena malam hari tersesat juga sampai desa
Nglampir. Bapak sopirnya lebih dari 20 tahun tidak pernah lagi ke
Siyotobagus. Ke sana pertama kali ketika menghadiri nikahan Mbak Si Yuhani. Akhirnya
putar balik ke arah semula, hanya berdasarkan insting saja belok kiri. Ketika
ada cabang jalan, bertanya kepada warga ternyata rumah Mbak Sri kurang lebih
1km lagi. Segera meluncur ke lokasi, sesampainya di sana kami sangat takjub. Masjid
yang dulu masih mungil sederhana, kini berdiri megah. Ikut bangga sekaligus
bersyukur melihat bangunan itu.
Rombonganku sempat
bercengkerama lama karena tamu tidak terlalu banyak. Bercerita tentang masa
kecil, kala belajar bersama di Pondok Pesantren milik Kyai Musni Zaini. Begitu
pula waktu sekolah menengah, juga pada satuan pendidikan yang sama. Kenangan yang
indah bagi mereka. Mbak Sri Yuhani sangat akrab dengan keluarga kami. Setiap
ada acara reuni santri di pondhok Hidayatul Mubtadiin, ia selalu mampir ke
rumah kakak. Dengan membawa oleh-oleh hasil sawah seperti terong, kacang maupun
mentimun, dan lain-lain. Buwuh dan temu kangen selesai sudah, segera bergegas
pulang.
Tak ingin melewati jalan sama dan sulitnya putar balik, maka langsung melaju ke depan. Ternyata banyak cabang jalan, banyak perempatan. Malam yang telah larut, lampu penerangan yang minim serta hujan rintik-rintik menjadikan situasi terasa senyap. Merasa jalanan yang dilalui asing dan horor. Hendak bertanya belum menemukan warga yang berada di luar rumah. Tetap berkendara lambat sambil mencari warga yang bisa ditanyai arah menuju Bandung Tulungagung. Akhirnya ada warung kopi, seorang pemuda menunjukkan arah menuju desa Bandung. Setelah berkendara lurus ternyata sampai juga ke RS Zidan dan menemukan perempatan Bandung. Berarti arah menuju rumah sudah dekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar