Minggu, 03 Oktober 2021

23. Demi Bapak

 


Malam itu keponakan Aisyah, Iib tidak ikut ngaji ke mushola Kang Asrom. Bocah itu tahu Kang Asrom ada kegiatan rapat di Pondok Pesantren Al Falah. Aisyah tetap berangkat sorogan, ngaji di simak istri Kang Asrom. Setelah selesai ngaji, istri Kang Asrom mengajak diskusi tentang fiqih wanita. Ia menuturkan tentang aturan fiqih yang harus diketahui wanita. Aisyah  mendengarkan sambil menatap wajah cantik istri Kang Asrom. Perempuan cantik itu memiliki nama yang indah, Abdai Rifka Rotamya. Aisyah memanggilnya Ning Mya. Ning Mya runtut sekali menjelaskan tentang taharah, air, najis, nifas dan mandi. Sesekali Aisyah bertanya tentang berbagai hal yang ia ingin ketahui.

“Aisyah, kamu serius banget, ya …  diajak diskusi tentang fiqih wanita?”

“Hhhh, pernah menerima materi itu, Ning. Tapi mau nanya sungkan.”

“Bagus lho, tuk bekal nikah”

“Siapa yang mau nikah.”

“Anak gadis yang udah mau digandeng lelaki, sering diapelin calon suaminya, berarti siap diajak nikah.”

“Biar Bapak seneng, Ning.”

Aisyah hampir keceplosan, menceritakan amarah bapaknya. Ning Mya tak perlu terbebani dengan peristiwa itu. Selain itu tidak perlu curhat kepada siapapun. Yang layak mendengar keluhnya hanya Emak dan Allah. Allah Sang pemberi petunjuk.

“Siapa namanya calonmu?”

“Rizaldi, Ning.”

“Sah, sakit itu obatnya gampang ya. Diapelin sembuh.”

Aisyah tersipu. Ning Mya meledeknya terus menerus. Padahal ia tak pernah cerita kalau kemarin jatuh sakit. Mungkin emaknya, Iib atau Zam Zam.

“Cuma kelelahan dan kurang tidur, aja.”

“Kang Asrom itu, cinta pertama Ning Mya, ya?”

Ning Mya hanya tersenyum, mendapat pertanyaan dari Aisyah. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Ning Mya menerawang kembali, masa remajanya yang dihabiskan mondok di berbagai pondok pesantren. Sejak kelas 1 MI, ia sudah mondok. Sampai lulus madrasah aliyah. Madrasah aliyahpun juga dalam naungan pondok pesantren putri. Sebagai santri penghafal Alquran, ia tidak sempat mengenal pacaran. Sampai akhirnya, Bu Nyai pondok putri memintanya ta’aruf dengan Kang Asrom.

“Bisa dibilang begitu, cinta pertama setelah menikah, hhhh” jawab Ning Mya.

Ning Mya benar-benar perempuan salihah yang patut menjadi panutan. Aisyah mengernyitkan dahinya. Ia dapat menyimpulkan Ning Mya tak pernah pacaran, dijodohkan orang tuanya.

“Berapa lama Ning Mya mampu mencintai Kang Asrom?”

“Nggak terasa Aisyah, hhh. Tiba-tiba punya anak tiga. Kapan mulai tumbuh cinta itu, nggak terasa, ngalir begitu saja.”

“Kalau Kang Asrom?”

“Tertarik denganku, maksudmu?”

“Iya, Ning.”

“Hemm, waktu gladi bersih imtihan, di pondok putri.”

“Ning tahu, Kang Asrom jatuh cinta ya. Ada gelagat gitu.”

“Nggaklah, mana berani curi-curi pandang pada para asatidz.”

“Ning, langsung menerima ketika di lamar?”

“Ya, karena ketika itu yang menanyaiku Rama Kyai. Gimana nolaknya?”

Aisyah tersenyum sendiri. Cinta Ning Mya dengan Kang Asrom menurutnya seperti kisah kasih murid dan guru di pondok pesantren.

“Kalau kamu, mulai menyukai Rizal kapan? Sudah bisa melupakan Subkhi?”

Mata Aisyah berkaca-kaca. Ia belum mencintai Rizal. Orang tua Aisyah memaksa dirinya  menerima Rizal. Demi bapaknya, Aisyah mau menerima Rizal. Juga membungkam gunjingan orang, dirinya merusak rumah tangga Subkhi.

“Seperti Ning Mya, nggak terasa juga” jawab Aisyah membeo.

Aisyah meniru jawaban Ning Mya. Meskipun kenyataannya belum siap menerima Rizal, saat ini.

“Dengan Subkhi, gimana?” tanyanya

“Sejak ia menikah, aku sudah tak pernah menanggapi pesannya. Cuma tak anggap teman aja”

Ning Mya manggut-manggut. Ia tersenyum simpul, menatap Aisyah. Aisyah jadi salah tingkah.

“Ada apa, Ning?”

“Ada kesamaan Rizal dengan Kang Asrom“ jawab Ning Mya.

“Kesamaan di bagian mananya, fisiknya?” tanya Aisyah

“Ketelatenan melakukan pendekatan, hhhh” jawab Ning Mya.

“Kang Asrom dulu juga begitu?” tanya Aisyah penasaran.

“Tapi … parah Rizal” jawab Ning Mya. “Rizal, dua hari sekali, hhh.”

Aisyah heran kok Ning Mya tahu. Ketika Rizal datang dan pulang, Aisyah tak melihat tetangganya ada di depan rumah.

“Kok tahu?”

“Banyak yang tahu Aisyah. Nggak siang, nggak malam telaten. Hati-hati lho ya” goda Ning Mya. “Banyak gosip nanti.”

Aisyah malu banget. Padahal ia tak mengira kedatangan Rizal banyak diketahui orang lain.

“Sah! Pulang, ada tamu” panggil emaknya.

“Iya, Mak” jawab Aisyah.

“Sah, pasti itu Rizaldi. Panjang umur ia. Dibicarakan datang, hhhh” ledek Ning Mya.

“Paling Zam Zam, Ning.”

“Berani taruhan aku. Itu Insya Allah Rizal. Lelaki kalau ada maunya glibet, hhhh” ledek  Ning Mya, mungkin berdasarkan pengalamannya. “Jangan malam-malan lo apelnya, bahaya.”

Aisyah bergegas pulang. Penasaran, benarkah Rizal datang lagi. Padahal tadi sore baru ke rumahnya. Waduh, melihat motornya, memang milik Rizal.

Assalamualaikum” sapa Aisyah.

Rizal tengah berbincang dengan Bapak dan Emaknya. Lelaki itu tersenyum. Aisyah membalas senyumannya. Ia ingin belajar seperti Ning Mya. Belajar mencintai calon suami pilihan bapak.

Walaikum salam” jawab mereka.

Bapak dan Emaknya meninggalkan Aisyah dan Rizal. Orang tuanya menginginkan kedua akrab. Segera siap menuju jenjang pernikahan.

“Bapak dan ibu, mau kemana?”

“Mau menghubungi kakak-kakaknya Aisyah. Berbincanglah biar semakin akrab” kata Bapaknya.

Setelah tinggal mereka berdua, Aisyah bertanya Pak Rizal.

“Dari mana Mas?”

“Pertanyaannya nggak enak sama sekali. Kayak nggak ikhlas aku ke sini” jawab Rizal pura-pura tersinggung. Ditekuk wajahnya.

“Maaf, tak pikir dari mana, trus mampir.”

“Nggak lah, cuma kangen kamu aja” ledek Rizal. Rizal ingin melihat ekspresi Aisyah. Diliriknya gadis itu.

“Nggak lucu” jawab Aisyah cemberut, teringat pesan Ning Mya.

“Baru ngaji, ya?”

“Iya, sambil nemenin Ning Mya.”

“Aisyah, besok Minggu kita jalan, yuk!”

“Mas, nggak enak dilihat tetangga.”

“Kita kan mau nikah, menjalin hubungan serius” kilah Rizal dengan tenang.

“Emang kapan, nikah?”

“Kalau kamu siap sekarang” jawab Rizal

“Nih, mulai ngaco, ya.”

“Ibuku, mau tau calon menantunya. Agak siang nggak apa-apa. Setelah kamu selesai membantu ibumu.”

“Mas, aku malu. Lain waktu aja.”

“Tadi aku sudah izin Bapakmu. Sebelum acara lamaran Ibuku mau kenal kamu dulu.”

“Kok secepat ini.”

“Aku tidak muda lagi, Aisyah. Temanku sudah banyak yang menimang anak.”

Aisyah tidak memiliki alasan untuk menolaknya. Mungkin jalan hidupnya mirip kisah hidup Ning Mya. Nyatanya Ning Mya bahagia.

“Besok pukul 09.00 ya? Sekalian nanti ke rumah Pak Yanu.”

“Mas, yang ke Pak Yanu aku nggak siap. Betul.”

“Dekat kok cuma dibatasi pekarangan. Terlihat dari teras rumah.”

“Maaf, aku belum bisa ke Pak Yanu.”

“Oke-lah, padahal kamu kan sudah kenal dekat dengan Pak Yanu” jawab Rizal mengalah.

“Mas, ini nih”Aisyah memperingat Rizal dengan menunjukkan pergelangannya. Memperingatkan bahwa waktu sudah malam.

“Apaan, minta peluk?” goda Rizal. “Sini kalau minta peluk. Kamu bilang bukan muhrim.”

“Ngaco, ya.”

“Terus apa Aisyah” Rizal pura-pura tidak paham.

“Udah jam 20.30. Nggak baik. Ntar didatengin Pak RT.”

“Mau ditangkep Pak RT, silahkan! Malah cepat nikah.”

Aisyah mencubit lengan Rizal. Rizal mengaduh. Ditangkapnya tangan Aisyah. Saking kuatnya tangan Aisyah ditarik, terjerembab ke pelukan Rizal. Hidung Rizal mengenai dahi Aisyah. Cukup lama, kedua terkejut. Saling melepaskan pelukan.

Aisyah tersipu malu. Baru pertama sedekat itu dengan laki-laki. Aisyah memandang Rizal jengkel. Lelaki ini mencari kesempatan, pikirnya.

“Maaf Aisyah, nggak sengaja. Kamu sih, nyubitnya keras banget.”

Aisyah tidak menjawab. Ia  enggan minta maaf meskipun telah mencubit Rizal. Aisyah mau marah. Tapi nanti justru ketahuan bapaknya. Aisyah terliat murung. Rizal jadi khawatir Aisyah ngambek.

“Oke, pamitkan sama Bapak Ibu ya, aku balik dulu. Jangan marah dong. Aku benar-benar nggak sengaja” dalih Rizal.

Aisyah masih diam saja. Rizal berdiri pamit. Aisyah tidak mengantarnya keluar. Rizal memandang Aisyah yang masih cemberut. Aisyah paham isyarat itu, Rizal ingin di hantarkan sampai depan rumah. Rizal keluar disusul Aisyah. Rizal membuka jok motor mengambil sesuatu. Memberikan pada Aisyah.

“Apaan, Mas?” tanya Aisyah.

“Bilang dong, terimakasih” kata Rizal.

“Terimakasih, Mas.”

Rizal menggoda Aisyah. Tidak segera melajukan kendaraannya. Aisyah tahu itu. Maka ia segera masuk rumah. Menunggu di balik pintu. Ia masuk kamarnya setelah yakin Rizal tidak ada di halaman rumahnya.

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar