Malam itu keponakan Aisyah, Iib tidak ikut ngaji
ke mushola Kang Asrom. Bocah itu tahu Kang Asrom ada kegiatan rapat di Pondok
Pesantren Al Falah. Aisyah tetap berangkat sorogan,
ngaji di simak istri Kang Asrom. Setelah selesai ngaji, istri Kang Asrom
mengajak diskusi tentang fiqih wanita. Ia menuturkan tentang aturan fiqih yang
harus diketahui wanita. Aisyah
mendengarkan sambil menatap wajah cantik istri Kang Asrom. Perempuan
cantik itu memiliki nama yang indah, Abdai Rifka Rotamya. Aisyah memanggilnya
Ning Mya. Ning Mya runtut sekali menjelaskan tentang taharah, air, najis, nifas
dan mandi. Sesekali Aisyah bertanya tentang berbagai hal yang ia ingin ketahui.
“Aisyah, kamu serius banget, ya … diajak diskusi tentang fiqih wanita?”
“Hhhh, pernah menerima materi itu, Ning. Tapi
mau nanya sungkan.”
“Bagus lho, tuk bekal nikah”
“Siapa yang mau nikah.”
“Anak gadis yang udah mau digandeng lelaki, sering
diapelin calon suaminya, berarti siap diajak nikah.”
“Biar Bapak seneng, Ning.”
Aisyah hampir keceplosan, menceritakan amarah bapaknya.
Ning Mya tak perlu terbebani dengan peristiwa itu. Selain itu tidak perlu
curhat kepada siapapun. Yang layak mendengar keluhnya hanya Emak dan Allah.
Allah Sang pemberi petunjuk.
“Siapa namanya calonmu?”
“Rizaldi, Ning.”
“Sah, sakit itu obatnya gampang ya. Diapelin
sembuh.”
Aisyah tersipu. Ning Mya meledeknya terus
menerus. Padahal ia tak pernah cerita kalau kemarin jatuh sakit. Mungkin
emaknya, Iib atau Zam Zam.
“Cuma kelelahan dan kurang tidur, aja.”
“Kang Asrom itu, cinta pertama Ning Mya, ya?”
Ning Mya hanya tersenyum, mendapat pertanyaan
dari Aisyah. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Ning Mya menerawang kembali, masa
remajanya yang dihabiskan mondok di berbagai pondok pesantren. Sejak kelas 1
MI, ia sudah mondok. Sampai lulus madrasah aliyah. Madrasah aliyahpun juga
dalam naungan pondok pesantren putri. Sebagai santri penghafal Alquran, ia
tidak sempat mengenal pacaran. Sampai akhirnya, Bu Nyai pondok putri memintanya
ta’aruf dengan Kang Asrom.
“Bisa dibilang begitu, cinta pertama setelah
menikah, hhhh” jawab Ning Mya.
Ning Mya benar-benar perempuan salihah yang
patut menjadi panutan. Aisyah mengernyitkan dahinya. Ia dapat menyimpulkan Ning
Mya tak pernah pacaran, dijodohkan orang tuanya.
“Berapa lama Ning Mya mampu mencintai Kang
Asrom?”
“Nggak terasa Aisyah, hhh. Tiba-tiba punya anak
tiga. Kapan mulai tumbuh cinta itu, nggak terasa, ngalir begitu saja.”
“Kalau Kang Asrom?”
“Tertarik denganku, maksudmu?”
“Iya, Ning.”
“Hemm, waktu gladi bersih imtihan, di pondok
putri.”
“Ning tahu, Kang Asrom jatuh cinta ya. Ada gelagat
gitu.”
“Nggaklah, mana berani curi-curi pandang pada
para asatidz.”
“Ning, langsung menerima ketika di lamar?”
“Ya, karena ketika itu yang menanyaiku Rama
Kyai. Gimana nolaknya?”
Aisyah tersenyum sendiri. Cinta Ning Mya dengan
Kang Asrom menurutnya seperti kisah kasih murid dan guru di pondok pesantren.
“Kalau kamu, mulai menyukai Rizal kapan? Sudah bisa
melupakan Subkhi?”
Mata Aisyah berkaca-kaca. Ia belum mencintai
Rizal. Orang tua Aisyah memaksa dirinya
menerima Rizal. Demi bapaknya, Aisyah mau menerima Rizal. Juga
membungkam gunjingan orang, dirinya merusak rumah tangga Subkhi.
“Seperti Ning Mya, nggak terasa juga” jawab
Aisyah membeo.
Aisyah meniru jawaban Ning Mya. Meskipun
kenyataannya belum siap menerima Rizal, saat ini.
“Dengan Subkhi, gimana?” tanyanya
“Sejak ia menikah, aku sudah tak pernah menanggapi
pesannya. Cuma tak anggap teman aja”
Ning Mya manggut-manggut. Ia tersenyum simpul,
menatap Aisyah. Aisyah jadi salah tingkah.
“Ada apa, Ning?”
“Ada kesamaan Rizal dengan Kang Asrom“ jawab
Ning Mya.
“Kesamaan di bagian mananya, fisiknya?” tanya
Aisyah
“Ketelatenan melakukan pendekatan, hhhh” jawab
Ning Mya.
“Kang Asrom dulu juga begitu?” tanya Aisyah
penasaran.
“Tapi … parah Rizal” jawab Ning Mya. “Rizal, dua
hari sekali, hhh.”
Aisyah heran kok Ning Mya tahu. Ketika Rizal datang
dan pulang, Aisyah tak melihat tetangganya ada di depan rumah.
“Kok tahu?”
“Banyak yang tahu Aisyah. Nggak siang, nggak malam
telaten. Hati-hati lho ya” goda Ning Mya. “Banyak gosip nanti.”
Aisyah malu banget. Padahal ia tak mengira
kedatangan Rizal banyak diketahui orang lain.
“Sah! Pulang, ada tamu” panggil emaknya.
“Iya, Mak” jawab Aisyah.
“Sah, pasti itu Rizaldi. Panjang umur ia.
Dibicarakan datang, hhhh” ledek Ning Mya.
“Paling Zam Zam, Ning.”
“Berani taruhan aku. Itu Insya Allah Rizal.
Lelaki kalau ada maunya glibet, hhhh” ledek Ning Mya, mungkin berdasarkan pengalamannya. “Jangan
malam-malan lo apelnya, bahaya.”
Aisyah bergegas pulang. Penasaran, benarkah
Rizal datang lagi. Padahal tadi sore baru ke rumahnya. Waduh, melihat motornya,
memang milik Rizal.
“Assalamualaikum”
sapa Aisyah.
Rizal tengah berbincang dengan Bapak dan
Emaknya. Lelaki itu tersenyum. Aisyah membalas senyumannya. Ia ingin belajar
seperti Ning Mya. Belajar mencintai calon suami pilihan bapak.
“Walaikum
salam” jawab mereka.
Bapak dan Emaknya meninggalkan Aisyah dan Rizal.
Orang tuanya menginginkan kedua akrab. Segera siap menuju jenjang pernikahan.
“Bapak dan ibu, mau kemana?”
“Mau menghubungi kakak-kakaknya Aisyah.
Berbincanglah biar semakin akrab” kata Bapaknya.
Setelah tinggal mereka berdua, Aisyah bertanya
Pak Rizal.
“Dari mana Mas?”
“Pertanyaannya nggak enak sama sekali. Kayak
nggak ikhlas aku ke sini” jawab Rizal pura-pura tersinggung. Ditekuk wajahnya.
“Maaf, tak pikir dari mana, trus mampir.”
“Nggak lah, cuma kangen kamu aja” ledek Rizal.
Rizal ingin melihat ekspresi Aisyah. Diliriknya gadis itu.
“Nggak lucu” jawab Aisyah cemberut, teringat
pesan Ning Mya.
“Baru ngaji, ya?”
“Iya, sambil nemenin Ning Mya.”
“Aisyah, besok Minggu kita jalan, yuk!”
“Mas, nggak enak dilihat tetangga.”
“Kita kan mau nikah, menjalin hubungan serius”
kilah Rizal dengan tenang.
“Emang kapan, nikah?”
“Kalau kamu siap sekarang” jawab Rizal
“Nih, mulai ngaco, ya.”
“Ibuku, mau tau calon menantunya. Agak siang
nggak apa-apa. Setelah kamu selesai membantu ibumu.”
“Mas, aku malu. Lain waktu aja.”
“Tadi aku sudah izin Bapakmu. Sebelum acara
lamaran Ibuku mau kenal kamu dulu.”
“Kok secepat ini.”
“Aku tidak muda lagi, Aisyah. Temanku sudah
banyak yang menimang anak.”
Aisyah tidak memiliki alasan untuk menolaknya.
Mungkin jalan hidupnya mirip kisah hidup Ning Mya. Nyatanya Ning Mya bahagia.
“Besok pukul 09.00 ya? Sekalian nanti ke rumah
Pak Yanu.”
“Mas, yang ke Pak Yanu aku nggak siap. Betul.”
“Dekat kok cuma dibatasi pekarangan. Terlihat
dari teras rumah.”
“Maaf, aku belum bisa ke Pak Yanu.”
“Oke-lah, padahal kamu kan sudah kenal dekat
dengan Pak Yanu” jawab Rizal mengalah.
“Mas, ini nih”Aisyah memperingat Rizal dengan
menunjukkan pergelangannya. Memperingatkan bahwa waktu sudah malam.
“Apaan, minta peluk?” goda Rizal. “Sini kalau minta
peluk. Kamu bilang bukan muhrim.”
“Ngaco, ya.”
“Terus apa Aisyah” Rizal pura-pura tidak paham.
“Udah jam 20.30. Nggak baik. Ntar didatengin Pak
RT.”
“Mau ditangkep Pak RT, silahkan! Malah cepat
nikah.”
Aisyah mencubit lengan Rizal. Rizal mengaduh.
Ditangkapnya tangan Aisyah. Saking kuatnya tangan Aisyah ditarik, terjerembab ke
pelukan Rizal. Hidung Rizal mengenai dahi Aisyah. Cukup lama, kedua terkejut.
Saling melepaskan pelukan.
Aisyah tersipu malu. Baru pertama sedekat itu
dengan laki-laki. Aisyah memandang Rizal jengkel. Lelaki ini mencari kesempatan,
pikirnya.
“Maaf Aisyah, nggak sengaja. Kamu sih, nyubitnya
keras banget.”
Aisyah tidak menjawab. Ia enggan minta maaf meskipun telah mencubit
Rizal. Aisyah mau marah. Tapi nanti justru ketahuan bapaknya. Aisyah terliat
murung. Rizal jadi khawatir Aisyah ngambek.
“Oke, pamitkan sama Bapak Ibu ya, aku balik
dulu. Jangan marah dong. Aku benar-benar nggak sengaja” dalih Rizal.
Aisyah masih diam saja. Rizal berdiri pamit.
Aisyah tidak mengantarnya keluar. Rizal memandang Aisyah yang masih cemberut.
Aisyah paham isyarat itu, Rizal ingin di hantarkan sampai depan rumah. Rizal
keluar disusul Aisyah. Rizal membuka jok motor mengambil sesuatu. Memberikan
pada Aisyah.
“Apaan, Mas?” tanya Aisyah.
“Bilang dong, terimakasih” kata Rizal.
“Terimakasih, Mas.”
Rizal menggoda Aisyah. Tidak segera melajukan
kendaraannya. Aisyah tahu itu. Maka ia segera masuk rumah. Menunggu di balik
pintu. Ia masuk kamarnya setelah yakin Rizal tidak ada di halaman rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar