Kamis, 30 Desember 2021

Parenting: Peran Pola Asuh Orang Tua

 

Tanggal 20 Desember 2021 ketua KKM memberitahukan bahwa akan ada rihlah ASN Durenan dengan dua orang pengawas Pembina Kecamatan Durenan. Beliau Bapak Haji Nur Muslimin dengan Bapak Agus Salim. Kegiatan yang semula akan dilaksanakan tanggal 29 Desember 2021, mundur menjadi tanggal 30 Desember 2021. Tanggal 30 Desember itu MIM Kamulan akan mengadakan kegiatan parenting dan pembagian rapor. Sejatinya ketua KKM kecamatan Durenan bersiap untuk memintakan izin pada kepala madrasah, namun hati nurani saya tidak nyaman meninggalkan kegiatan yang sangat ditunggu oleh wali kelas dan wali murid. Bertemu membahas kemajuan belajar anak didik dengan orang tuanya. Jikalau saya berdalih dengan amanat  Panca Prasetya  Korps Pegawai Republik Indonesia nomor tiga yang berbunyi “ Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan”. Terasa sok amat!

Tapi saat itu, saya benar-benar merasa berat meninggalkan pertemuan dengan wali murid kelas VI. Maka terpaksa tidak ikut rihlah. Membersamai para wali murid mendengarkan ceramah tentang “Peran Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Anak Berprestasi”. Menurut pemateri dari lembaga Psikologi Lazuardi, Bapak Rachmad Widiarto, Psi, CHA. Usia anak merupakan salah satu masa penting dari serangkaian rentang kehidupan manusia. Masa tersebut ada yang mengatakan sebagai fase kritis, fase di mana banyak terjadi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan  anak. Aspek tersebut meliputi aspek kognisi, aspek afeksi, dan aspek konasi. Aspek kognisi dan afeksi sering kita dengar, sedangkan yang dimaksud aspek konasi adalah salah satu fungsi hidup kejiwaan manusia, dapat diartikan sebagai aktivitas psikis yang mengandung usaha aktif dan berhubungan dengan pelaksanaan tujuan.

Keluarga sebagai salah satu lingkungan dalam kehidupan anak, merupakan sarana utama dan pertama bagi anak dalam belajar untuk berinteraksi, bersosialisasi, berkomunikasi sebelum anak memasuki dunia yang lebih luas lagi. Banyak ketrampilan yang harus dipelajari anak di dalam kehidupan keluarga. Ketrampilan-ketrampilan ini kelak akan bermanfaat  bagi anak. Keberhasilan atau kegagalan anak dalam melatih dan mengembangkan  ketrampilan ini, akan akan menentukan pola dan sikap  perilaku anak saat anak memasuki masa remaja dan dewasa kelak. Oleh sebab itu perlu sekali bagi orang tua  untuk menyiapkan anak-anaknya. Lebih dini  anak dipersiapkan, tentunya hal ini akan lebih baik. Ketramnpilan-ketrampilan  ini hendaknya diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan usianya.

Selain itu pemateri parenting juga memaparkan bahwa perkembangan psiko-sosial anak ditentukan oleh lingkungan masyarakat sebelumnya. Jadi jelas di sini bahwa terdapat interaksi antara satu individu dengan individu yang lain dan dengan lingkungan. Interaksi ini dapat bersifat positif  atau dapat juga negatif. Interaksi yang positif akan merangsang perkembangannya dan yang negatif akan menghambat perkembangannya. Keduanya terjadi bergantian, tergantung mana yang kuat dan mana yang lemah. Ada dua hal penting dalam masa anak-anak yang berkaitan dengan perkembangan psiko-sosialnya. Fase ini mempunyai 2 komponen, yaitu fase percaya lawan fase tidak percaya (usia 2-6 tahun). Fase mandiri lawan fase malu dan ragu-ragu (usia 6-12 tahun).

Ada hal yang sangat tidak kalah pentingnya dalam perkembangan kecakapan anak, yaitu bagaimana perkembangan afeksi atau perkembangan emosionalnya. Ada 3 hal utama dalam perkembangan kecakapan afeksi ini, yaitu dari: (1) ketergantungan total menjadi lebih mandiri, (2) egosentris menjadi toleran terhadap orang lain, (3) seenaknya sendiri menjadi lebih bertanggungjawab atas perilakunya. Jelas bahwa segala perkembangan ketrampilan-perkembangan perilaku anak, tidak terlepas daripada irama komunikasi yang terjadi di dalam keluarga. Sebagai orang yang paling memahami perkembangan anaknya, maka orang tua jugalah yang mampu membuat pola komunikasi dengan anaknya.

Orang tua dapat membatu anak-anaknya dalam mengembangkan ketrampilan ini secara efektif melalui kerelaan orang tua untuk menerima anak-anaknya  dan memberi anak-anaknya kekayaan batin yang orang tua miliki. Jadi berkomunikasilah dengan anak-anak kita. Janganlah mereka dianggap sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Meskipun pendapat ini kurang tepat. Meskipun anak memiliki dunianya sendiri, akan tetapi dalam hal komunikasi, mereka adalah sosok  yang juga ingin dipertimbangkan oleh orang tuanya. Untuk itu orang tua harus meluangkan waktunya secara kontinu untuk membantu  anaknya dalam mengembangkan ketrampilan berkomunikasi.

Seorang pakar kesehatan jiwa yang bernama Batista (1987) mengatakan bahwa “warisan yang paling berharga yang dapat diberikan oleh orang tua (keluarga) kepada anak-anaknya adalah waktu beberapa menit setiap harinya”. Anak-anak dengan banyak pengalaman dalam kehidupan sehari-harinya bersama kedua orang tuanya, merupakan unsur di mana anak membina dan menciptakan realitas. Anak dapat belajar bagaimana sesuatu itu dapat dilihat, diraba, didengar, dicium dan dirasa. Pengalaman-pengalaman ini merupakan pilar tertinggi bagi pembinaan perkembangan ketrampilan emosional dan mental intelektual anak.

Komunikasi yang baik akan menciptakan suasana keluarga yang penuh keakraban, kehangatan, bahagia dan sehat (happy and healthy family). Penelitian Prof. Nick Stinnet dan Prof. John de Frain yang berjudul “ The National Study on Family Strenght”. Mereka menyimpulkan bahwa untuk menciptakan komunikasi dalam sebuah keluarga yang sehat dan bahagia maka sarana-sarana yang penting dilakukan adalah: (1) adanya kehidupan beragama yang baik, (2) tersedianya waktu untuk bersama yang cukup, (3) komunikasi yang baik antar anggota keluarga, (4) saling menghargai antar anggota keluarga, (5) adanya ikatan emosi  yang tidak rapuh dan tidak longgar antar anggota keluarga, (6) setiap konflik yang timbul harus diselesaikan secara positif dan konstruktif.

Pola komunikasi satu arah (one way pattern) adalah ketika orang tua menjadi pemegang kendali utama dalam komunikasi. Komunikasi yang terjadi disertai dengan keinginan-keinginan pribadi yang kuat dan sesuai dengan kehendak orang tua dan anak dapat diperlakukan apa saja. Pola komunikasi yang efektif dari orang tua dalam membangun ketrampilan anak adalah bagaimana orang tua dapat mengerti, dapat merasakan dan dapat mengungkapkan, menerima serta memahami anaknya.

Bahasa penerimaan akan membuat anak semakin terbuka. Anak menjadi bebas mengungkapkan perasaan dan persoalannya. Dari semua akibat penerimaan, tak ada yang lebih penting daripada timbulnya rasa tulus dari anak bahwa ia dicintai. Sebab menerima orang lain dengan apa adanya sesungguhnya merupakan tindakan cinta kasih, merasa diterima adalah merasa dicintai. Proses merasa diterima dan dicintai, bagi anak merupakan sebuah pendorong dan pemacu dalam mengoptimalkan perkembangan jiwa dan raga yang merupakan sarana terapeutis paling efektif untuk mengembangkan ketrampilan anak. Ketrampilan ini tidak dapat digantikan oleh orang lain. Jadi keluarga jugalah sebagai frame of reference anak. Pola asuh keluarga merupakan prototype bagaimana perilaku anak kelak kala dia dewasa dan berkeluarga.

Berikut ada beberapa sikap pola asuh orang tua terhadap anak dan efek dari pola asuh : (1) orang tua yang terlalu khawatir dan terlalu melindungi anak, maka akan tumbuh anak sebagai individu yang penakut, tidak percaya diri, kurang mandiri, merasa was-was bahkan dalam hal ekstrim maka anak menjadi pemberontak, (2) orang tua yang terlalu menuntut, maka anak menjadi tidak realistis. Bila gagal maka anak menjadi frustasi, rasa bersalah dan dosa atau malah sengaja menggagalkan diri, (3) Orang tua terlalu keras (dominan) maka anak akan menkadi penakut, penurut, tidak memiliki inisiatif dan takut salah, (4) orang tua yang terlalu memanjakan, maka akan cenderung tumbuh menjadi individu yang egosi, ingin diperhatikan, banyak menuntut tapi sulit menjadi pemberi yang baik, kurang bertanggung jawab, serta tergantung pada orang lain/kurang mandiri, (5) orang tua yang selalu mengizinkan maka anak menjadi seenaknya sendiri, tidak disiplin, cenderung untuk mengikuti kata hatinya sendiri, (6) orang tua yang menolak anak-anak ini akan menjadi individu yang kurang mempunyai harga diri, merasa serba takut salah, dalam beberapa kasus maka anak ini dapat menjadi depresi, (7) Orang tua yang terlalu banyak mengkritik maka anaknya akan tumbuh semakin pasif, serba canggung dengan tindak tanduknya, (8) Orang tua yang tidak konsisten, maka anak akan menjadi bingung, tidak tahu siapa yang harus ditiru, kurang mengenal nilai-nilai  dan norma yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar