Ketika
masih duduk di bangku kuliah, seorang dosen yang bijak memberikan pesan kepada
para guru. Karena saat itu, temanku satu ruangan semua sudah menjadi guru. Baik
guru tetap yayasan maupun pegawai negeri sipil. Pesan tersebut, jika ingin
sekolahmu besar jagalah kekokohan dari dalam. Jangan sampai ada rongrongan dari
para guru dan stakeholder. Jaga kebersamaan, solid dan utamakan kekeluargaan.
Tekanan dari luar yang ingin menurunkan martabat sekolah mudah dihalau. Namun
jika keropos dari dalam maka sekolah tersebut akan mudah gulung tikar.
Untuk
itu harus segera diambil tindakan untuk
mengidentifikasi konflik. Menemukan penyebab terjadinya konflik dan fihak yang
terlibat dalam konflik di sekolah. Konflik ini harus segera diredam agar tidak
menjadi parah. Dan menjurus pada perseteruan yang bersifat negatif. Untuk itu
diperlukan gaya kepemimpinan situasional dari kepala sekolah. Bapak Ahsanul In’am
pada kesempatan itu menjelaskan pentingnya peran pimpinan memberikan arahan, dukungan
emosional serta bimbingan kepada para
guru. Itulah karakter pemimpin situasional.
Meskipun
pesan Beliau sangat bijak, namun banyak kendala yang harus ditemui oleh para
pemimpin. Terutama jika mayoritas dalam sekolah itu perempuan, banyak yang
memiliki ikatan keluarga, pemimpin masih muda. Jika dalam sekolah kebanyakan
perempuan tentu sangat sulit untuk diarahkan, karena lebih mengedepankan emosi.
Bila lebih dari dua guru masih ada ikatan keluarga, konflik di rumah menjadi sarana
perselisihan di sekolah. Pemimpin muda yang hebat sekalipun akan muncul unsur ewuh pakewuh jika yang dihadapi lebih
senior, pemilik sekolah, maupun istri pejabat. Tentu perlu cara yang lebih
bijak dan halus. Saya memakluminya.
Mantab bu..
BalasHapusTerimakasih Pak Imam
BalasHapus