Kamis, 31 Maret 2022

CERBUNG PART 2: PUSARA


Hujan rintik-rintik yang turun sejak siang hari, belum juga reda. Sebetulnya mendung tidak terlalu menghitam. Hanya tidak seputih kapas. Aku duduk di kursi belajarku. Mager. Terasa ada sesuatu yang membuatku baper. Karena sampai menjelang sore hari, pertemuan tak terduga dengan Mas Asrom masih membelenggu ingatan. Kok aku jadi salting banget. Semoga aku bukan koordinator ekstrakurikuler qiraah. Berharap sangat! Entahlah, kok aku jadi alay banget seperti para ukhti kala itu. Berpapasan dengannya aja, jadi tremor. Apalagi harus satu frame, satu ruangan. Seketika kucari surat keputusan pembagian tugas mengajar di sekolahku. Kucermati satu persatu, sampai akhirnya manik mataku tertuju pada lampiran kelima. Oh My God! Ternyata aku koordinator ekskul qiraah. Semoga aku besok bisa bersikap wajar. Wajah terpesonaku tidak terbaca warga sekolah.

“Mbak Pipit! Dipanggil Bapak sedari tadi lho!,”seru adikku.

Aku terperanjat. Masak sih kok nggak terdengar, batinku.

“Masak sih, dik!,”sergahku. "Jangan ngaco ya!”

Adikku yang paling ganteng itu tertawa ngakak. Bagaimana tidak terganteng. Kami, tiga bersaudara hanya dia yang cowok.

“Emang kalau orang lagi ngelamun, dipanggil juga tak mendengar. Gagal fokus,”godanya.

“Iya Bapak,” sahutku dengan tersipu malu.

“Pit, kita jadi ke makam?”tanya Bapak.

“Nunggu hujan reda, Pak!,” jawabku sekenanya.

Terdengar adikku tertawa lagi.

“Mbak, fokus,”katanya.

“Hujan sudah reda, Pit!,”kata Bapak sambil mendekatiku.

Astaghfirullah! Aku benar-benar butuh aqua, umpatku dalam hati.

“Iya, Pak! Aku pakai jilbab dulu,” jawabku. Bapak sudah menutup beberapa pintu rumah. Siap menuju makam.

Ketika aku keluar mendorong motor matic, Bapak sudah di bonceng adikku. Si bungsu  tersenyum lebar penuh selidik seperti menguliti wajahku.

“Pit, kamu jalan duluan,”kata Bapak.

Aku melajukan kendaraan menuju pemakaman umum milik warga desa Sukorame. Berziarah seperti ini kami lakukan setiap sebulan sekali. Airmataku menetes tak terbendung. Makam ini terlihat rata dengan tanah. Gundukan tanah ambles akibat hujan turun setiap hari. Ibu…sudah satu tahun beliau istirahat di sini. Ibu…Pipit kangen. Adikku mengambil cangkul menutup lagi dengan tanah. Aku sesenggukan sambil mencabuti rumput yang mulai tumbuh. Bapak mendekatiku, merengkuh bahuku.

“Pit, kita harus tawakal dan ikhlas,” Bapak menghiburku. Aku menggangguk sambil tersedu-sedu.

Ingatanku kembali melukiskan kejadian satu tahun yang lalu. Pandemi covid-19 pada saat itu sedang pada posisi pucak. Hampir setiap hari ada beberapa warga yang meninggal dunia. Namun ibuku masih dalam kondisi sehat walafiat.

“Pit! Antar ibu ke toko Al Afif  Kedunglurah,” permintaan ibuku.

Ibukulah yang pertama kali memanggil dengan sebutan Pipit. Sebenarnya namaku Mahadewi Fithrotunni’mah. Di kampus UIN SATU, para bestie memanggilku Nikmah. Di sekolah aku dipanggil Dewi. 

“Beli apa Bu?

“Beli mukena. Sekalian membeli baju hari raya untuk kamu dan Ibrahim,” jawab ibuku.

“Pit, nanti semua tak belikan baju putih. Hari raya sebaiknya pakai baju putih. Jangan pake baju warna-warni”

Meskipun hujan turun ibu tetap mengajakku berangkat. Padahal biasanya beliau melarang berbelanja di waktu hujan deras begini.

Kejadian itu seperti sebuah firasat, kalau ibu akan meninggalkanku. Keesokkan harinya ibu mengajak kami nyekar ke makam nenek dan kakekku. Lama ibu berdoa di makam itu. Beberapa hari berikutnya ibu aktif ikut acara mengaji online one day one juz. Ibu nampak senang mengikuti kegiatan itu. Namun keesokan harinya ibuku sakit. Tepatnya hari Rabu beliau mulai sakit. Kami sekeluarga mengajak ibu berobat, tapi beliau menolaknya. Aku dan adik menghiba agar ibu mau berobat, akhirnya ibu luluh. Di puskesmas Sukarame ibu dinyatakan menderita maag. Kakak pulang dari dinas di kota Nganjuk. Ia tidak yakin kalau maag. Karena badan ibu panas dingin. Dua hari tidak ada perubahan, akhirnya dibawa ke puskemas Bendorejo. Dokter di puskesmas Bendorejo menghendaki ibu diopname, namun ibu menolak. Takut dinyatakan covid dan diisolasi di RSUD dr Sudomo.

Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar