Hujan
rintik-rintik yang turun sejak siang hari, belum juga reda. Sebetulnya mendung
tidak terlalu menghitam. Hanya tidak seputih kapas. Aku duduk di kursi belajarku.
Mager. Terasa ada sesuatu yang membuatku baper. Karena sampai menjelang sore hari,
pertemuan tak terduga dengan Mas Asrom masih membelenggu ingatan. Kok aku jadi
salting banget. Semoga aku bukan koordinator ekstrakurikuler qiraah. Berharap
sangat! Entahlah, kok aku jadi alay banget seperti para ukhti kala itu.
Berpapasan dengannya aja, jadi tremor. Apalagi harus satu frame, satu ruangan. Seketika
kucari surat keputusan pembagian tugas mengajar di sekolahku. Kucermati satu
persatu, sampai akhirnya manik mataku tertuju pada lampiran kelima. Oh My God!
Ternyata aku koordinator ekskul qiraah. Semoga aku besok bisa bersikap wajar.
Wajah terpesonaku tidak terbaca warga sekolah.
“Mbak
Pipit! Dipanggil Bapak sedari tadi lho!,”seru adikku.
Aku
terperanjat. Masak sih kok nggak terdengar, batinku.
“Masak
sih, dik!,”sergahku. "Jangan ngaco ya!”
Adikku
yang paling ganteng itu tertawa ngakak. Bagaimana tidak terganteng. Kami, tiga
bersaudara hanya dia yang cowok.
“Emang
kalau orang lagi ngelamun, dipanggil juga tak mendengar. Gagal fokus,”godanya.
“Iya
Bapak,” sahutku dengan tersipu malu.
“Pit,
kita jadi ke makam?”tanya Bapak.
“Nunggu
hujan reda, Pak!,” jawabku sekenanya.
Terdengar
adikku tertawa lagi.
“Mbak,
fokus,”katanya.
“Hujan
sudah reda, Pit!,”kata Bapak sambil mendekatiku.
Astaghfirullah!
Aku benar-benar butuh aqua, umpatku dalam hati.
“Iya,
Pak! Aku pakai jilbab dulu,” jawabku. Bapak sudah menutup beberapa pintu rumah.
Siap menuju makam.
Ketika
aku keluar mendorong motor matic, Bapak sudah di bonceng adikku. Si bungsu tersenyum lebar penuh selidik seperti
menguliti wajahku.
“Pit,
kamu jalan duluan,”kata Bapak.
Aku
melajukan kendaraan menuju pemakaman umum milik warga desa Sukorame. Berziarah seperti
ini kami lakukan setiap sebulan sekali. Airmataku menetes tak terbendung. Makam
ini terlihat rata dengan tanah. Gundukan tanah ambles akibat hujan turun setiap
hari. Ibu…sudah satu tahun beliau istirahat di sini. Ibu…Pipit kangen. Adikku mengambil
cangkul menutup lagi dengan tanah. Aku sesenggukan sambil mencabuti rumput yang
mulai tumbuh. Bapak mendekatiku, merengkuh bahuku.
“Pit,
kita harus tawakal dan ikhlas,” Bapak menghiburku. Aku menggangguk sambil
tersedu-sedu.
Ingatanku
kembali melukiskan kejadian satu tahun yang lalu. Pandemi covid-19 pada saat
itu sedang pada posisi pucak. Hampir setiap hari ada beberapa warga yang
meninggal dunia. Namun ibuku masih dalam kondisi sehat walafiat.
“Pit!
Antar ibu ke toko Al Afif Kedunglurah,” permintaan
ibuku.
Ibukulah
yang pertama kali memanggil dengan sebutan Pipit. Sebenarnya namaku Mahadewi
Fithrotunni’mah. Di kampus UIN SATU, para bestie memanggilku Nikmah. Di sekolah
aku dipanggil Dewi.
“Beli
apa Bu?
“Beli
mukena. Sekalian membeli baju hari raya untuk kamu dan Ibrahim,” jawab ibuku.
“Pit,
nanti semua tak belikan baju putih. Hari raya sebaiknya pakai baju putih. Jangan
pake baju warna-warni”
Meskipun
hujan turun ibu tetap mengajakku berangkat. Padahal biasanya beliau melarang
berbelanja di waktu hujan deras begini.
Kejadian
itu seperti sebuah firasat, kalau ibu akan meninggalkanku. Keesokkan harinya
ibu mengajak kami nyekar ke makam nenek dan kakekku. Lama ibu berdoa di makam
itu. Beberapa hari berikutnya ibu aktif ikut acara mengaji online one day one juz. Ibu nampak senang mengikuti kegiatan itu. Namun keesokan harinya ibuku sakit. Tepatnya hari Rabu
beliau mulai sakit. Kami sekeluarga mengajak ibu berobat, tapi beliau
menolaknya. Aku dan adik menghiba agar ibu mau berobat, akhirnya ibu luluh. Di
puskesmas Sukarame ibu dinyatakan menderita maag. Kakak pulang dari dinas di
kota Nganjuk. Ia tidak yakin kalau maag. Karena badan ibu panas dingin. Dua hari
tidak ada perubahan, akhirnya dibawa ke puskemas Bendorejo. Dokter di puskesmas Bendorejo
menghendaki ibu diopname, namun ibu menolak. Takut dinyatakan covid dan
diisolasi di RSUD dr Sudomo.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar