Pagi
itu aku berangkat sekolah, ada jam pembelajaran Alquran Hadits dan SKI.
Meskipun separuh hatiku ada di rumah, tetap mengajar dengan profesional.
Sejenak melupakan kondisi Ibu. Dengan prokes yang ketat menyampaikan
pembelajaran dengan baik. Selesai pembelajaran mengikuti kelas mengaji metode
UMMI bersama Ustadz Hadi. Mencoba fokus memperhatikan pembelajaran gharib. Namun konsentrasiku telah
lenyap, beberapa kali melafalkan bacaan imalah dan isymam tetap salah. Betapa
konsentrasiku lenyap. Cukup malu sebagai guru Alquran Hadits banyak salah dalam
membaca Alquran. Wajah ini tak mampu mendongak. Terlihat ekspresi kecewa dari Ibu Koordinator UMMI. Ting! Ada notifikasi masuk di Whattsap, dari adik.
[“Mbak… pulang Ibu pelat!”]
Ibu semakin parah, lidahnyapun sudah
kelu untuk melafalkan kalimat.
[“Ok… Aku segera pulang!”]
Segera
izin dengan Ibu koordinator mengaji UMMI. Melajukan kendaraan 50 km perjam,
dengan berurai air mata.
Sampai
di rumah semua saudara dekat Ibu, setuju Beliau di rujuk ke RSUD Iskak. Sampai di
sana Ibu diswab hasil positif. Kami tidak bisa merawat dan mendampinginya
sedekat mungkin. Komunikasi dilakukan dengan melalui Video Call.
“
Suster! Kenapa aku terbaring di sini! Aku mau pulang!,” desak Ibu pada perawat
yang mendampinginya.
“Iya,
Bu. Ibu segera pulang jika sudah sembuh total.”
“Pit,
belikan Ibu roti, susu beruang dan air mineral, ya!,” begitu pesan nya via
Kemudian Ibu dibawa
ke Pulmonary Center, ruangan yang disiapkan untuk menjadi tempat perawatan intensif
bagi pasien COVID-19 yang memerlukan alat bantu pernafasan mekanik atau
ventilator.
Terlihat Ibu tidak melawan ketika dipasang
ventilator.
“Mohon
maaf, Ibunya Mbak Pipit saturasi oksigennya masih naik turun.”
“ Iya, Sus! Terimakasih telah merawat Ibu
dengan baik.”
Telihat
seorang dokter dan perawat yang menggunakan APD lengkap sedang memeriksa Ibu
dengan cermat. Ibu nampak gelisah. Tindakan berikutnya Ibu di kejut jantung.
Tidak ada hasilnya. Aku mulai khawatir.
“Mohon
maaf, Mbak Pipit. Ibu telah tiada.”
Jawaban
tidak mampu aku lontarkan dari bibir ini, kecuali hanya mengangguk-angguk. Adik
merengkuhku dengan hangat. Air mata tidak terbendung lagi. Ibu di mandikan dan dikafani sebagaimana
layaknya seorang muslim oleh petugas perempuan. Ketika saya mengkonfirmasi pada
dokter. Ibu telah di kafani 7 lapis. Ketika peti dibuka. Alhamdulillah, Ibu
tersenyum terus wajahnya. Wajah itu bersih sekali. Prosesnya sangat cepat,
ambulan telah siaga. Sampai di rumah, jenazah Ibu dishalatkan meskipun
posisinya tetap dalam ambulans.
Tidak
banyak pelayat yang datang. Sedihku menggunung. Kerabat dekatpun yang datang
bisa dihitung dengan jari. Diriku seakan dalam posisi terendah. Ayahku nampak tegar,
aku dan adik yang benar-benar terpuruk. Mbak Aghna masih dalam perjalanan
pulang dari Nganjuk. Aku kehilangan pegangan. Ayah menasihatiku agar tawakal
dan ikhlas. Tawakal pada Allah SWT.
“
Ya, Allah! Tabahkan hatiku. Terimalah seluruh amal ibadah Ibuku.”
Doaku
dengan bahu tergoncang dahsyat. Sudah seminggu Ibu berpulang. Calon imamku,
tidak juga melayat. Dengan hati tersayat sembilu, kutatap halaman rumah. Menunggunya
siapa tahu ia datang dengan sebongkah motivasi, yang menguatkanku. Perih dada
ini! Kutatap layar mungil, ia hanya mengucapkan bela sungkawa dengan meme. Mengapa
jari-jarinya enggan menuliskan motivasi dan ucapan bela sungkawa. Bukan hanya
meneruskan meme bela sungkawa. Astaghfirullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar