Senin, 30 Mei 2022

CERBUNG PART 4. Meme Belasungkawa

 


Pagi itu aku berangkat sekolah, ada jam pembelajaran Alquran Hadits dan SKI. Meskipun separuh hatiku ada di rumah, tetap mengajar dengan profesional. Sejenak melupakan kondisi Ibu. Dengan prokes yang ketat menyampaikan pembelajaran dengan baik. Selesai pembelajaran mengikuti kelas mengaji metode UMMI bersama Ustadz Hadi. Mencoba fokus memperhatikan pembelajaran gharib. Namun konsentrasiku telah lenyap, beberapa kali melafalkan bacaan imalah dan isymam tetap salah. Betapa konsentrasiku lenyap. Cukup malu sebagai guru Alquran Hadits banyak salah dalam membaca Alquran. Wajah ini tak mampu mendongak. Terlihat ekspresi kecewa dari Ibu Koordinator UMMI. Ting! Ada notifikasi masuk di Whattsap, dari adik.

[“Mbak… pulang Ibu pelat!”]

Ibu semakin parah, lidahnyapun sudah kelu untuk melafalkan kalimat.

[“Ok… Aku segera pulang!”]

Segera izin dengan Ibu koordinator mengaji UMMI. Melajukan kendaraan 50 km perjam, dengan berurai air mata.

Sampai di rumah semua saudara dekat Ibu, setuju Beliau di rujuk ke RSUD Iskak. Sampai di sana Ibu diswab hasil positif. Kami tidak bisa merawat dan mendampinginya sedekat mungkin. Komunikasi dilakukan dengan melalui Video Call

“ Suster! Kenapa aku terbaring di sini! Aku mau pulang!,” desak Ibu pada perawat yang mendampinginya.

“Iya, Bu. Ibu segera pulang jika sudah sembuh total.”

“Pit, belikan Ibu roti, susu beruang dan air mineral, ya!,” begitu pesan nya via Video Call

Kemudian Ibu dibawa ke Pulmonary Center, ruangan yang disiapkan untuk menjadi tempat perawatan intensif bagi pasien COVID-19 yang memerlukan alat bantu pernafasan mekanik atau ventilator.

Terlihat Ibu tidak melawan ketika dipasang ventilator.

“Mohon maaf, Ibunya Mbak Pipit saturasi oksigennya masih naik turun.”

 “ Iya, Sus! Terimakasih telah merawat Ibu dengan baik.”

Telihat seorang dokter dan perawat yang menggunakan APD lengkap sedang memeriksa Ibu dengan cermat. Ibu nampak gelisah. Tindakan berikutnya Ibu di kejut jantung. Tidak ada hasilnya. Aku mulai khawatir.

“Mohon maaf, Mbak Pipit. Ibu telah tiada.”

Jawaban tidak mampu aku lontarkan dari bibir ini, kecuali hanya mengangguk-angguk. Adik merengkuhku dengan hangat. Air mata tidak terbendung lagi. Ibu di mandikan dan dikafani sebagaimana layaknya seorang muslim oleh petugas perempuan. Ketika saya mengkonfirmasi pada dokter. Ibu telah di kafani 7 lapis. Ketika peti dibuka. Alhamdulillah, Ibu tersenyum terus wajahnya. Wajah itu bersih sekali. Prosesnya sangat cepat, ambulan telah siaga. Sampai di rumah, jenazah Ibu dishalatkan meskipun posisinya tetap dalam ambulans.   

Tidak banyak pelayat yang datang. Sedihku menggunung. Kerabat dekatpun yang datang bisa dihitung dengan jari. Diriku seakan dalam posisi terendah. Ayahku nampak tegar, aku dan adik yang benar-benar terpuruk. Mbak Aghna masih dalam perjalanan pulang dari Nganjuk. Aku kehilangan pegangan. Ayah menasihatiku agar tawakal dan ikhlas. Tawakal pada Allah SWT.

“ Ya, Allah! Tabahkan hatiku. Terimalah seluruh amal ibadah Ibuku.”

Doaku dengan bahu tergoncang dahsyat. Sudah seminggu Ibu berpulang. Calon imamku, tidak juga melayat. Dengan hati tersayat sembilu, kutatap halaman rumah. Menunggunya siapa tahu ia datang dengan sebongkah motivasi, yang menguatkanku. Perih dada ini! Kutatap layar mungil, ia hanya mengucapkan bela sungkawa dengan meme. Mengapa jari-jarinya enggan menuliskan motivasi dan ucapan bela sungkawa. Bukan hanya meneruskan meme bela sungkawa. Astaghfirullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar