Selamatan keempat puluh hari meninggalnya Ibu, dilaksanakan di masjid dekat rumah. Semua makanan dan minuman pesan dari catering. Mbak Aghna pesan dari catering ‘Raos’ Sukorame. Semua kami lakukan agar para jamaah yang melaksanakan doa bersama merasa ikhlas dan lega hati. Karena memang keluarga kami dinyatakan positif covid-19. Pihak katering meminta semua beaya untuk menu selamatan dikirim via transfer. Hal itu untuk menjaga kesehatan semua fihak.
Ting! Gawaiku bergetar. Ada pesan masuk. Senyumku merekah. Seperti bunga yang terguyur air hujan. Mas Yanu ....
[“Assalamualaikum,
Dik!”]
Mas
Yanu mengirim pesan. Alhamdulillah! Telah lama aku menunggu kabar darinya.
Sudah hampir dua bulan sejak Ibu tiada. Baru kali ini ada pesan untukku. Semoga
petanda baik.
[“Waalaikum
salam, Apa kabar Mas?”]
Pertanyaanku
untuk membuka perbincangan.
[“Alhamdulillah
baik. Dik, ini hasil diskusi keluarga hubungan kita tidak bisa lanjut. Maaf…”]
Bak
tersambar petir! Aku tercekat. Kok bisa jadi begini.
[“Apa Mas? Adakah
salahku, Mas!”]
[“Tidak
ada. Hubungan ini tidak bisa dilanjutkan karena pamanku menikah dengan orang
Trenggalek juga! Ini pantangan bagi keluargaku”]
[“Kok,
aku belum pernah dengar ya Mas. Adat beginian!”]
Larangan menikah anak pertama dengan anak ketiga, menikahnya anak petama dengan anak pertama, menghindari pernikahan di bulan Sura/Muharam, larangan menikah dengan tetangga berseberangan, perhitungan weton jodoh. Mitos begitu pernah dengar. Tapi jika paman dan keponakan sama-sama menikah dengan warga sekabupaten, mitos ini kayaknya baru dengar.
Hampir satu jam, menunggu pesanku terjawab. Kualihkan perhatianku dengan mempersiapkan materi mengajar daring untuk anak-anak. Besok kepala madrasah menghendaki aku mengajar via zoom. Ku tengok ulang gawaiku.
Tidak ada jawaban. Akupun diblokirnya. Layaknya aku telah jatuh ketimpa tangga pula. Air mataku berderai.
Ibu…
andai dirimu ada. Pastinya aku akan menangis dipelukanmu. Ibu…setiap hati akan
berubah seiring waktu, kecuali hati ibu. Ia adalah surga selamanya.
Perbincangan via Whatsapp kemarin,
akhir dari hubunganku dengan Mas Yanu. Ghosting!! Ia benar-benar menghilang.
Hubungan kami yang seharusnya menuju ke ijab kabul, tiba-tiba hangus. Batal!
Tiada berharganya hubungan selama 3 tahun. Kedua fihak telah melakukan lamaran,
sisetan dan kini tinggal selangkah. Covid-19 benar-benar telah merenggut asaku…
“Pit, kamu harus tetap berdiri
tegak. Usia telah 22 tahun. Masak dengan masalah begini saja kamu terpuruk. Ayo
bangkit! Tidakkah kamu kasihan dengan bapak dan adikmu? Keduanya butuh kamu,
Pit!”
“Ibu…,” teriakku. Aku segera
bangun, terduduk! Ibu menasehatiku, dalam mimpi. Allahu Akbar! Ternyata pukul
00.15, dini hari. Kuambil air wudhu. Di atas sajadah tangisku tumpah.
“Pit, ambil wudhu kembali, gih,”
kata Bapak sambil mengusap pundakku.
Bapak telah khusuk shalat malam ketika aku
kembali dari kamar mandi. Akupun segera melaksanakan dengan khusuk. Dengan
gigih kutahan agar air mata ini agar tidak tumpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar